Sangat setuju!
Alasannya?
Banyak! Tapi saya cuma akan mengajukan satu alasan yang paling mendasar; terutama sehubungan dengan pernyataan mereka baru-baru ini. Dahulu, saya tidak setuju mereka dibubarkan. Sekadar diusik pun, saya tidak setuju; karena waktu itu saya masih berpikir bahwa mereka adalah bagian dari umat Islam. Kita dengan mereka hanya berbeda sedikit. Kalau bersama mereka Islam bisa maju, apa salahnya? Tapi itu dahulu! Sekarang penilaian saya atas mereka berubah.
Penyebabnya?
Tahun 2008 mereka melontarkan tuduhan bahwa Majelis Ulama dan semua pihak yang menyesatkan mereka pada dasarnya ingin mendirikan negara Syari'ah!
Apa yang salah dari tuduhan mereka?
Mereka, dengan cerdik atau licik, memainkan isu sensitif untuk menyelamatkan diri. Sejak saat itulah saya sadar bahwa mereka memang bukan bagian dari umat Islam.
Jelasnya?
Kalau mereka memang umat Islam, mengapa harus anti Syari'ah?
Karena mereka – mungkin – berpegang pada UUD kita, yang mengisyaratkan bahwa negara kita tidak akan menjadi negara agama apa pun.
Nah! UUD kita adalah satu hal, dan Syari'ah – lengapnya Syari'ah Islam – adalah hal yang lain. Di antara kedua hal ini ada perbedaan yang sangat besar dan mendasar.
Bisa anda uraikan?
UUD kita itu adalah peraturan yang dibuat manusia. Syari'ah itu adalah peraturan Allah. Yang pertama, UUD, bersifat relatif. Tidak mutlak. Sedangkan yang kedua, peraturan Allah, itu bersifat mutlak.
Saya sering mendengar jawaban seperti itu. Tapi, terus terang, saya tidak memahami maksudnya. Misalnya, kalau "peraturan Allah" itu bersifat mutlak, apakah itu berarti bahwa dia mutlak bisa mewujudkan kesejahteraan rakyat?
Pertanyaan bagus! Jawabannya, pertama, kita mengatakan peraturan Allah itu bersifat mutlak, karena berasal dari Dia Yang Mutlak. Jadi, logikanya, Dia tidak mungkin mem-berikan peraturan yang keliru atau salah kan?
Jawaban seperti itu juga sering saya dengar. Tapi, tampaknya itu hanya bersifat asumsi!
Ya, ya, bolehlah itu dikatakan ber-sifat asumsi. Hanya anggapan, khu-susnya anggapan orang Islam. Tapi, itu baru jawaban pertama. Yang kedua, sesuatu yang anda sebut sebagai asumsi itu sebenarya sudah teruji dalam sejarah. Rasulullah pernah menerapkannya, dan berhasil.
Jadi, maksud anda, UUD kita sebaiknya diganti saja dengan Syari'ah Islam, begitu?
Bila itu diperlukan, dan bisa memenuhi harapan rakyat tentang keadilan, kesejahteraan, dan lain-lain, mengapa tidak?
Tapi, banyak orang mengatakan bahwa UUD itu sudah final. Sudah mewakili kehendak hakiki kita sebagai bangsa. Sebaliknya, Syari'ah Islam, itu kan hanya mewakili kehendak umat Islam. Itu juga tidak semua. Sebagian orang Islam kan juga tidak setuju penerapan Syari'ah Islam di negara kita ini.
Kalau memang UUD sudah final, mengapa harus diamandemen (= direvisi)? Dan ternyata sekali amandemen saja tidak cukup. Sekarang, kalau tak salah, sudah empat kali diamandemen! Itu adalah bukti bahwa peraturan yang dibuat manusia tidak akan pernah mencapai final. Masalah-masalah baru akan menuntut peraturan-peraturan baru. Sebaliknya, peraturan Allah, kita semua sepakat bahwa ia sudah final. Terlepas dari setuju atau tidak tentang penerapan Syari'ah Islam di negara kita, semua orang Islam sepakat bahwa peraturan Allah tidak boleh diamandemen. Dan, saya juga harus ingatkan keinginan (sebagian) orang Islam untuk menegakkan Syari'ah itu adalah hak asasi! Itu tidak bertentangan dengan undang-undang.
Tapi, keinginan itu kan bisa jadi ancaman bagi orang lain!
Tentu saja. Saya juga mengerti soal itu. Tapi, camkan! Umat Islam Indonesia yang ingin menegakkan Syari'ah itu tidak akan melakukan kudeta. Tidak akan merebut kekuasaan!
Tapi, dengan jumlahnya yang besar, kan tetap saja suatu ketika mereka bisa memegang kekuasaan.
Ha ha! Sekali lagi saya katakan, saya mengerti soal itu. Sebaliknya, anda mengerti tidak bahwa pemikiran itu sebenarnya timbul di tengah orang-orang yang memahami hakikat demokrasi tapi takut kalah melalui aturan main demokrasi itu sendiri; sehingga mereka putar otak supaya bisa menang?
Maksud anda?
Bukankah dalam demokrasi kemenangan itu ditentukan oleh suara terbanyak? Bukankah, kenyataannya, umat Islam itu adalah bagian terbanyak dari bangsa ini? Jadi, apa salahnya bila umat Islam memegang kekuasaan melalui jalur demokrasi? Melalui kehendak mayoritas rakyat negara ini?
Oh! Saya mengerti. Jadi, yang tidak bisa menerima kenyataan itu sebenarnya adalah orang-orang yang tidak demokratis?
Ya. Mereka adalah orang-orang yang hanya ingin membuat demokrasi sebagai sesuatu yang harus diresmikan sebagai aturan main. Tapi, di balik itu, mereka sebenarnya hanya melihat demokrasi sebagai sebuah kiat pemenangan.
O, ya? Bagaimana pula penjelasan asumsi anda itu?
Itu bukan asumsi tapi kenyataan yang mudah dilihat dengan mata telanjang. Sayangnya, mata kita telanjang tapi otak kita terhalang tirai kegelapan.
Saya tidak mengerti maksud anda?
Sederana saja. Mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam. Bila semua sepakat mau menerapkan demokrasi, dan bila semua rakyat yang beragama Islam, misalnya, setuju dengan penegakan syari'ah Islam, bukankah mereka sudah pasti menang?
Ya, ya, pasti!
Nah! Untuk menggagalkan kemenangan demokratis itulah, pihak-pihak yang benci dan takut pada Islam pasti melakukan berbagai kampanye negatif (black campaigne), untuk menjelek-jelekkan Islam, secara langsung maupun tidak; secara terangan-terangan maupun terselubung.
O, begitu ya?
Ya, di satu pihak begitu. Di pihak lain, umat Islam sendiri, para pemimpin dan mubalig Islam sendiri, kebanyakan tidak mampu mengkampanyekan Islam sebagai agama yang mampu melahirkan konsep-konsep pembangunan yang praktis dan bisa menyelamatkan bangsa. Kebanyakan mereka hanya berputar-putar di sekitar doktrin, dogma, dan masalah-masalah ritual. Mungkin karena mereka memang tidak mengerti, maka mereka jarang membahas konsep politik dan ekonomi Islam, misalnya, yang sebenarnya potensial untuk menyejahterakan rakyat.
Apakah menurut anda orang-orang Ahmadiyah juga tidak memahami hal itu?
Saya yakin tidak. Kalau mereka memahami, mengapa harus memainkan isu penegakan syari'ah Islam sebagai kiat untuk melawan umat Islam; yaitu dengan mengadu domba pendukung penegakan syari'ah dengan kaum nasionalis dan sekularis yang anti syari'ah Islam?
Mungkin karena mereka panik. Biasanya orang panik kan suka menggunakan cara apa saja, mungkin secara reflek, untuk menyelamatkan diri.
Ya. Tapi itu justru menegaskan pada saya bahwa mereka memang tidak layak mengaku umat Islam.
Mengapa?
Sejelek-jeleknya orang yang mengaku Islam, ia tetap mengakui bahwa ajaran Islam itu, dengan segala aspeknya, adalah benar. Dan sebaliknya, orang Islam yang baik, dalam keadaan apa pun, dia tetap memelihara harapan untuk menegakkan syari'ah Islam.
Benar juga. Saya juga merasakan hal yang anda sebutkan terakhir itu; yang bila dihubungkan dengan sebuah hadis, hal itu adalah gambaran dari iman yang lemah; karena hanya berbentuk harapan.
Sebuah harapan, hanya harapan, memang bisa dikatakan sebagai sesuatu yang lemah. Tapi, bukankah harapan itu adalah dasar kekuatan hidup?
Artinya, bila harapan itu bukan harapan kosong, suatu saat bisa muncul menjadi kenyataan?
Kenapa tidak?
Jadi, menurut anda, umat Islam bisa muncul sebagai penguasa negeri ini?
Mengapa tidak? Umat Islam adalah umat mayoritas. Sejak awal perjalanan sejarah kemerdekaan bangsa ini, umat Islam adalah penanam saham terbesar. Bila umat Islam tidak bisa tampil melalui jalur demokrasi formal, bisa jadi akan muncul lewat jalur yang lain. Mungkin lewat jalur hukum alam.
Maksud anda?
Mungkin melalui hukum alam seperti yang dikatakan Darwin: survival of the fittes. Siapa yang paling tangguh, dialah yang bisa bertahan. Maksud saya, bila semua konsep kenegaraan sudah dicoba dan terbukti gagal – dalam menyejahte-rakan rakyat, misalnya – dan yang belum dicoba adalah Syari'ah Islam, apakah tidak ada kemungkinan bahwa Syari'ah Islam, pada akhirnya, akan atau harus dicoba juga?
Ya, ya, bisa jadi! Tapi mungkin waktunya lama sekali ya, karena Setan akan selalu membisikkan konsep-konsep lain untuk menjegalnya kan?
Anda benar. Tapi pada saat orang-orang shalih sudah muncul ke permukaan, mampu membuka mata rakyat yang selama ini selalu dibuta-kan, dan mereka bisa memegang kendali kekuasaan, Setan akan tidak berdaya lagi.
Siapa yang anda maksud orang-orang shalih itu? Apakah semacam satria piningitnya orang Jawa, atau imam mahdinya Syi'ah dan Ahmadiyah, atau malah seperti messiasnya Yahudi?
Pada dasarnya, seperti dikatakan Rasulullah dalam sebuah hadis, mereka adalah orang-orang yang melakukan perbaikan di tengah orang-orang yang melakukan pengrusakan. …
Kedengarannya kok seperti begitu umum?
Tidak juga. Karena, masih dalam hadis yang sama, Rasulullah juga menegaskan bahwa mereka itu adalah orang-orang yang menegak-kan Sunnah Rasul di tengah orang-orang yang berusaha mematikannya.
Kalau begitu, berarti mereka itu dari kalangan umat Islam juga ya?
Tentu saja. Memangnya ada pihak lain yang ingin menyelamatkan umat Islam, sehingga umat Islam bisa berhadap kepada mereka?
Tentu tidak. Tapi, sipakah mereka itu dari kalangan ulama?
Seharusnya begitu. Karena, kata Rasulullah pula, ulama adalah penerima warisan para nabi. Dan, kata beliau pula, para nabi tidak mewariskan harta. Mereka hanya mewariskan ilmu.
Wow, berarti mereka itu – yang anda sebut orang-orang shalih itu – adalah orang-orang yang menguasai ilmu warisan para nabi?
Ya!
Tapi, sebenarnya ilmu para nabi itu apa?
Banyak. Tapi yang terutama adalah ilmu yang berkaitan dengan akhlak dan penataan masyarakat.
Wah, nampaknya itu yang kita butuhkan sekarang! Tapi, kapan mereka akan muncul?
Kapan? Kalau menyebut waktu, saya tidak tahu apakah waktunya masih lama sekali atau malah sudah dekat sekali. Tapi, pertanyaan itu seharusnya diresapkan oleh mereka yang merasa mengemban amanah Rasulullah, amanah Allah. Kapan mereka bisa muncul sebagai penye-lamat umat yang sebenarnya sudah begitu lama merintih dan berteriak minta pertolongan.
Ya, ya. Mudah-mudahan mereka segera muncul. Tapi, obrolan kita sudah melebar nih!
Tidak juga; karena intinya saya hanya ingin menegaskan bahwa kebenaran ajaran Allah itu tidak terpisah dari hukum alam. Tidak terpisah dari hukum sebab-akibat. Karena itu, jangan terus menerus menyepelekannya, apalagi memper-mainkannya.
Apa hubungannya dengan obrolan kita tentang Ahmadiyah?
Mereka memainkan isu Syari'ah, menjadikannya sebagai tameng. Bisa jadi itu akan menyelamatkan mereka dari pembubaran. Tapi, seiring deng-an itu, luka lama akan berdarah lagi.
Maksud anda?
Kasarnya, umat Islam Indonesia akan berhadapan lagi dengan peme-rintah, sebagai lawan! Dengan kata lain, ini isyarat disintegrasi bangsa! Inilah yang membuat saya sangat marah pada Ahmadiyah. Dengan memainkan isu itu, taring kolonialis mereka jadi kelihatan kan?
Apa yang anda maksud taring kolonialis?
Gigi penjajah, yang kerjanya mengoyak persatuan. Divide et impera! Pecah-belah dan jajah!
O, begitu. Tapi, bukankah mereka dan para pembela mereka justru berpikir bahwa pembubaran Ahmadi-yah itulah yang mengancam integrasi bangsa?
Ya. Mereka berpikir bahwa penen-tangan kita terhadap Ahmadiyah berarti penentangan terhadap prula-ritas bangsa. Kata mereka, nanti setiap perbedaan paham akan dibasmi.
Menurut anda, itu tidak benar?
Sama sekali tidak. Kasus Ahmadiyah adalah kasus perusakan asas sebuah agama, bukan kasus perbedaan paham atau perbedaan tafsir seperti yang sering diocehkan mereka dan para pembela mereka.
Tapi intinya kan tetap sama. Ahmadiyah berbeda dengan kita, lalu kita menyalahkan mereka.
Bung! Ahmadiyah itu salah, bukan kita menyalahkan. Para pembela mereka yang tampil di televisi, seperti Moqsih Ghazali dari JIL dan Usman Hamid dari Kontras, misalnya; mere-ka menolak pembubaran Ahmadiyah, tapi tetap mengakui bahwa secara teologi mereka tidak setuju dengan Ahmadiyah. Artinya, dari segi teologinya, pada dasarnya mereka juga memandang Ahmadiyah itu salah.
Nah! Bukankah itu kehebatan mereka? Mereka mempunyai jiwa toleransi yang tinggi! Tidak bisakah kita bersikap seperti mereka?
Ha ha! Jiwa toleransi yang tinggi, atau malah kehilangan rasa memiliki Islam, sehingga merasa tak harus memelihara dan membelanya? Jika sinyalemen saya yang benar, pantas-lah mereka tidak merasa terancam oleh teologi Ahmadiyah. Mereka tidak peduli apakah Islam mau tegak atau hancur di dunia ini! Dan, kalau bicara toleransi, hati-hatilah dengan istilah ini. Jangan sampai anda menyebut sikap permisif sebagai toleransi!
Maksud anda?
Coba anda perhatikan para pendu-kung Ahmadiyah itu. Orang-orang persnya, para anggota JIL, Wahid Institute, Kontras, dan banyak lagi lembaga serta LSM, yang tergabung dalam AKKBB, misalnya; bukankah mereka juga yang gigih menentang undang-undang antipornografi? Apa alasan mereka? Toleransi. Menen-tang UUAPP, alasannya toleransi. Membela Ahmadiyah, alasannya toleransi. Lama-lama, membiarkan koruptor berkeliaran juga bisa dibilang toleransi!
Lalu, menurut anda, toleransi itu apa?
Kita akan membiarkan apa pun yang baik dan benar menurut Islam. Kita akan mendukung siapa pun, lembaga apa pun, agama apa pun, yang berbuat baik dan benar menurut Islam. Bagi kita, bertoleransi (= membiarkan) saja itu belum cukup. Kita bertoleransi plus mendukung dan membela yang baik dan benar. Bila sebaliknya, otomatis kita tidak akan membiarkan dan akan menentang.
Jadi, menurut anda, toleransi Islam tidak bisa diberikan kepada Ahmadiyah?
Ya.
Mengapa?
Klaim (pernyataan; pengakuan) mereka bahwa Mirza Gulam Ahmad (MGA) adalah nabi; adalah masalah serius, masalah besar dan mendasar sekali.
Tapi, mereka kan ada dua aliran. Ada yang mengklaim MGA sebagai nabi, dan ada yang 'hanya' mengk-laim MGA sebagai pembaru.
Sama saja. Dalam ajaran mereka, apakah diklaim sebagai nabi atau pembaru, posisi MGA itu sentral. Sangat menentukan. Sama seperti sentralnya peran Nabi Muhammad bagi kita. Dengan kata lain, MGA menggeser posisi Nabi Muhammad. Dan inilah kesalahan asasi (menda-sar) mereka.
Bisa anda gambarkan lebih jelas?
Gambaran sederhananya begini. Allah mengutus Nabi Muhammad untuk mengajarkan Al-Qurãn kepada kita. Selain itu, beliau juga bertugas memberikan contoh bagaimana penerapan Al-Qurãn itu dalam berbagai segi kehidupan. Beliau menjadi teladan bagi kita mulai dari bagaimana menjadi satu pribadi yang Qurãni, suami yang Qurãni, ayah yang Qurãni, tetangga yang Qurãni, anggota masyarakat yang Qurãni, pemimpin yang Qurãni dan …
Tunggu! Tunggu! Saya sering mendengar Nabi Muhammad disebut sebagai Al-Qurãn berjalan atau the living Qurãn. Selama ini saya hanya membayangkan satu sosok pribadi yang eksklusif (khas; istimewa). Satu gambaran pribadi yang hanya bisa dimiliki oleh seorang rasul, dan tidak bisa dimiliki oleh orang-orang biasa seperti kita. Tapi yang anda sebut barusan kok terdengar lain. Anda seperti hendak mengatakan bahwa apa yang melekat pada diri Rasulullah juga bisa ada pada diri kita!
Memang! Saya berani mengatakan bawa "hampir" seluruh kepribadian Rasulullah – yang tidak lain merupa-kan perwujudan dari Al-Qurãn – sebenarnya bisa menjadi milik kita, bakan sebenarnya memang harus menjadi milik kita.
Benarkah?
Bukankah Allah sendiri menegas-kan – misalnya dalam surat Al-Ahzab ayat 21 – bahwa Rasulullah itu adalah uswah hasanah alias contoh terbaik?
Contoh terbaik dalam hal apa?
Dalam satu hal saja. Yaitu penerapan Al-Qurãn ke dalam berbagai segi kehidupan!
Itu sih banyak hal, bukan satu hal!
Ha ha! Yang saya maksud satu hal itu adalah Al-Qurãn, yang berfungsi sebagai pedoman hidup. Nah, kalau kita bicara pedoman atau petunjuk, kita harus ingat bahwa ini adalah sesuatu yang gaib atau abstrak.
Gaib atau abstrak? Maksud anda?
Karena pedoman itu adalah teori.
Saya belum mengerti.
Allah menurunkan Al-Qurãn sebagai pedoman hidup, sebagai teori untuk menjalani kehidupan.
Soal itu saya mengerti. Tapi tadi anda mengatakan pedoman itu abstrak, atau teori itu abstrak. Bila teori yang anda maksud adalah Al-Qurãn, maka Al-Qurãn itu abstrak. Begitu?
Persis! Tapi, harap dicatat bahwa yang saya maksud abstrak di sini bukan kabur atau samar, tapi pasang-an dari konkret.
Pasangan? Bukan lawan?
Lawan yang juga berarti pasang-an! Seperti lawan jenis kita adalah pasangan kita kan?
Oh, ya, ya! Terus, dalam konteks Al-Qurãn?
Al-Qurãn sebagai sebuah teori – yang otomatis abstrak – diajarkan kepada kita lengkap dengan pasangannya, yaitu Rasulullah.
Jadi, maksud anda Rasulullah itu pasangan Al-Qurãn?
Ya, karena beliau itu konkret (nyata) kan?
Oh begitu. Jadi, Al-Qurãn yang abstrak berpasangan dengan Rasulullah yang konkret, sehingga keduanya saling melengkapi, seperti kita dengan pasangan jenis kita?
Benar! Di situ kita bisa melihat dengan jelas betapa pentingnya posisi Rasulullah. Karena beliau adalah pasangan Al-Qurãn, maka tentu saja Al-Qurãn tidak bisa dipisahkan dari beliau, dan beliau tidak bisa dipisah-kan dari Al-Qurãn. Bila hal ini kita tinjau dari sudut pandang teori ilmu (epistemologi), Al-Qurãn itu adalah gagasan, dan Rasulullah adalah pembuktiannya.
Oooh. Jadi karena itulah rupanya orang menyebut Rasulullah sebagai Al-Qurãn berjalan atau Al-Qurãn yang hidup!
Benar. Karena tanpa Rasulullah, Al-Qurãn tidak bisa jalan, tidak bisa hidup; karena hanya akan tinggal menjadi sebuah teori, menjadi sesuatu yang abstrak.
Ya, ya. Sekarang saya mengerti. Tapi, dari mana anda mendapat pengetahuan ini? Maksud saya, apa rujukan anda? Kalau tadi anda menyebut teori ilmu atau epistemo-logi, yang setahu saya dipelajari terutama oleh para mahasiswa di jurusan filsafat, apakah anda juga menjadikan filsafat sebagai rujukan?
Ha ha! Saya memang belajar filsafat, sedikit. Dan itu membantu saya untuk menyadari bahwa Al-Qurãn, pada satu sisi, adalah juga sebentuk filsafat. Dan sebagai sebentuk filsafat, Al-Qurãn memiliki keistimewaan yang tidak tertandingi filsafat-filsafat lain.
O, ya? Di mana letak keistimewa-annya?
Harap dicatat. Saya bicara dalam konteks studi banding. Yaitu mem-bandingkan Al-Qurãn sebagai seben-tuk filsafat dengan filsafat-filsafat lain. Sebutlah mulai dari filsafat idealis yang dikomandani Plato, dan filsafat naturalis yang dirintis Aristoteles. Semua sibuk dan seru berdebat. Katakanlah sejak abad ke-5 sebelum Masehi sampai sekarang; mereka terus berdebat tentang permasalahan di seputar teori pengetahuan. Mereka jungkir balik membahas definisi pengetahuan dan konsep-konsep yang berkaitan dengannya; sumber-sumber dan kriteria pengetahuan; jenis-jenis pengetahuan yang mungkin dan sampai tingkat mana masing-masing menjadi pasti; dan hubungan yang pasti antara orang yang tahu dan obyek yang diketahuinya. Dan seterusnya. Dan, mungkin karena kesibukan itulah, mereka lupa satu hal yang terpenting. Yaitu bahwa pengetahuan (ilmu) harus bisa menjadi pedoman hidup. Bahkan lebih dari itu!
Lebih dari itu? Maksud anda?
Lebih dari sekadar pedoman hidup! Ilmu juga harus menjadi sebuah sistem.
Menjadi sistem? Maksud anda sistem apa?
Anda bisa sebut dia sistem peradaban, atau sistem kebudayaan, atau apa lah. Itulah Islam.
Bila konteksnya adalah peradaban atau kebudayaan, apakah Islam bisa melahirkan sistem sosial, politik, dan ekonomi, misalnya?
Bisa, dan sudah. Rasulullah sudah menerapkannya di Madinah.
O, ya? Anda tahu dari mana?
Dari Al-Qurãn, Hadîts, buku-buku sejarah Islam, dan lain-lain. Khusus tentang sejarah, anda bisa kaji satu dokumen penting yang menggam-barkan bagaimana Rasulullah merancang sebuah sistem sosial dan politik.
Dokumen apa itu?
Piagam Madinah.
Piagam Madinah? Apakah itu yang menghilhami Piagam Jakarta?
Soal itu saya tidak tahu. Tapi Piagam Madinah itu sebuah dokumen otentik, yang dibuat Rasulullah. Di situ Rasulullah memberi contoh bahwa Islam bisa melahirkan sebuah sistem politik.
O, begitu ya? Tapi sekali lagi, kita sedang membicarakan Ahmadiyah. Apa hubungan pembahasan anda tentang Rasulullah itu dengan Ahmadiyah?
Saya hanya ingin menegaskan betapa pentingnya posisi Rasulullah, Nabi Muhammad saw, dalam Islam. Beliau tidak bisa digantikan oleh siapa pun, bahkan digeser sedikit saja pun, tidak bisa! Sementara itu, Ahmadiyah, apa yang mereka lakukan?Mereka menawarkan Mirza Ghulam Ahmad sebagai pengganti atau penggeser posisi Nabi Muhammad!
Menurut anda, itu kesalahan besar?
Sangat besar, mendasar, dan kare-na itu mereka tidak bisa ditoleransi! Lebih-lebih lagi bila diingat sejarah mereka yang berjalin berkelindan dengan politik pecah-belah dan jajah. Mereka itu penyakit yang ditebarkan penjajah di tengah umat Islam.
Meskipun, misalnya atau kenyata-annya, mereka itu berperilaku baik dalam masyarakat, bahkan seperti ditulis dalam buku Tuanku Rao, mereka berjasa besar, misalnya, dalam menerjemahkan Al-Qurãn ke banyak bahasa dunia?
Harap anda catat! Kebaikan itu – apa pun bentuknya – harus berpijak pada kebenaran. Saya kasih contoh yang ekstrim ya! Ada orang yang mengatakan Iblis tidak mau sujud kepada Adam karena – katanya! – jiwa tauhidnya sangat tinggi. Sepintas, alasan itu bagus. Tapi, kalau benar alasannya begitu, alasan itu bersifat subyektif. Tegasnya, alasan itu pada dasarnya tetap saja bernapaskan pembangkangan, pemberontakan. Padahal, jiwa tauhid hanya cenderung pada kepatuhan terhadap Allah. Selain itu, harap dicatat juga bahwa alasan Iblis menolak perintah Allah bukanlah karena jiwa tauhidnya, tapi semata-mata karena dia menilai Adam lebih rendah dari dirinya. Itu jelas disebut-kan Allah dalam surat Al-A'raf ayat 12.
Sekali lagi, apa hubungannya dengan Ahmadiyah?
Mereka harus punya argumen yang amat sangat kuat untuk bisa memak-zulkan Nabi Muhammad dari kedudukan beliau sebagai Al-Qurãn berjalan, dan sebagai uswatun hasanah bagi kita. Artinya, cobang doong bikin studi banding yang ilmiah dan matang dalam menimbang posisi Nabi Muhammad dan Mirza Ghulam Ahmad. Jangan hanya mengandalkan zhann (praduga; perasaan), yang kata Allah tidak akan mampu menyampaikan kita pada kebenaran. (Surat Yunus ayat 36).***
(sumber: http://ahmadhaes.wordpress.com/2010/07/31/mengapa-ahmadiah-harus-dibubarkan/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar