menyamakan irshad mandji dgn ulama sekaliber ibnu rusyd jelas cara berfikir yg keliru. irshad mandji adalah seorang lesbi dgn segudang hujatan di buku yg di tulisnya, sedang ibnu rusyd adalah ulama yg diakui keilmuwannya melebihi irshad mandji sendiri.
pribadi said aqiel siradj memang kontroversil, tapi kalau sudah begini apa yg mau diambil dari beliau? keteladanan? cara berfikirnya saja sangat sulit diterima oleh akal sehat, sekali pun orang awam.
berikut tulisan aqiel siradj di harian Republika
Menyikapi Kontroversi
Said Aqil Siradj ; Ketua Umum PBNU
Sumber : REPUBLIKA, 28 Juni 2012
Alkisah, Ibnu Rusyd, seorang filsuf Muslim kesohor, tengah shalat di sebuah masjid di Cordoba. Seusai shalat, Ibnu Rusyd asyik berzikir. Tak ada hujan tak ada angin, tiba-tiba seseorang berjalan mendekatinya dan cuuh, melempar ludah hingga mengenai tubuh Ibnu Rusyd. Ibnu Rusyd tetap diam meneruskan tafakurnya dan tak bereaksi apapun.
Kisah ini telah terekam dalam sejarah yang bisa menjadi `pengungkit' kisah pergulatan pemikiran antara `substansialisme' dan `skripturalisme'. Ya, Ibnu Rusyd yang dipuja-puja sebagai jawara dalam sejarah peradaban Islam yang multitalenta, serta inspirator kebangkitan peradaban Eropa dan Arab Islam kontemporer harus bernasib `dinistakan' oleh mereka yang berbeda pemikiran.
Membentang Kontroversi
Kita sedang jamak dihadapkan pada gesekan pemikiran. Barangkali yang masih hangat kasus geger di Salihara pada 4 Mei lalu manakala terjadi penggerudukan dan penghentian acara diskusi buku bertajuk “Iman, Cinta, dan Kebebasan“ yang menghadirkan langsung penulisnya, Irsyad Manji. Perempuan asal Kanada yang dikenal sebagai tokoh feminis-liberal ini harus menanggung nasib dicokok oleh FPI dan polisi.
Irsyad Manji masih hidup dan terus berkiprah. Betapa pun ada adangan dan hujatan yang sekeras apa pun, yakinlah bahwa Irsyad Manji masih akan tetap `garang' dalam mengobarkan semangat dan pemikiran liberalnya.
Kita sudah membaca sejarah pemikiran kontroversial. Mereka selalu berada dalam posisi dikagumi dan dicemooh. Ibnu Arabi yang berjuluk “Syaikh al-Akbar“ (mahaguru) juga harus menerima beragam tuduhan kafir, musyrik, dan murtad. Abu Yazid al-Bustami diusir dari rumahnya dan disiksa. Dzunnun al-Mishri digiring dan diseret dengan tangan dirantai dari Mesir menuju Baghdad.
Membaca `nasib' Irsyad Manji kali ini serasa sebagai `panjatan' untuk membuka kembali `kotak pandora' yang mungkin sekian waktu tersimpan rapat oleh sejarah. Bukan rahasia lagi sebenarnya bahwa sejarah telah mewartakan selalu ada gesekan yang secara kontinu merengsek pergumulan pemikiran.
Penghakiman terhadap pemikiran terus berjalan seiring waktu, betapa pun dunia kini tengah menggeliat-geliat menuju `bandul baru' kemanusiaan. Kembali kita dihadapkan pada `benturan klasik' seputar akal dan wahyu yang sepanjang masa telah menjadi tarikmenarik di arasy pemikiran. Rasionalitas berhadap-hadapan dengan tekstualitas. Liberalisme bertatap wajah dengan skripturalisme-fundamental isme.
Beradu Nasib
Kita tahu di bumi Indonesia saat ini tengah menghadapi `gelombang pasang' menguatnya kembali puritanisme dan fundamentalisme keagamaan. Reformasi menuju demokrasi tak hanya menghadirkan suasana baru menuju impian kemapanan, tetapi `kebebasan berekspresi' di berbagai pihak.
Liberalisme pemikiran keagamaan muncul bersahut-sahutan dengan puritanisme dan fundamentalisme agama sembari saling berpacu di arena publik. Yang satu hendak `menoleh ke Barat' dengan menggelorakan kebebasan, termasuk dalam soal tafsir keagamaan dan yang satu lagi hendak `menoleh ke Arab' dengan menyerukan pemurnian keagamaan seraya berupaya menyuguhkan dalam wujud simbol-simbol keagamaan yang begitu gahar.
Kebangkitan kembali pemikiran, baik liberal maupun fundamentalis, sepertinya menabalkan lagi `dikotomi' pemikiran keislaman yang sesungguhnya telah tampil sedemikian menyejarah. Penyebutan ada `komunitas liberal' dan ada `kelompok fundamentalis' merupakan fakta yang tampak paling mengemuka di kancah dunia pemikiran keislaman dewasa ini. Sering kali orang akan mudah melabelkan julukan liberal atau fundamentalis terhadap sekelompok tertentu.
Ini tampaknya seperti fenomena gunung es. Sebenarnya dalam realitas yang lebih `membumi', saat ini di rerimbunan kehidupan keagamaan sudah bermekaran pemikiran, khususnya di kalangan anak muda yang beraroma liberalisme. Mereka yang dulunya belajar di pesantren, atau mereka yang tadinya taat menjalankan ritual keagamaan, kemudian mengalami ‘konversi’ yang akhirnya enggan mengamalkan ritual keagamaan. Pemikiran mereka sudah banyak yang ‘melampaui’ ajaran baku agama dan bahkan ada yang beralih menjadi ateis.
Di sebelah fakta lain, muncul pula fakta mereka yang tadinya longgar dalam keagamaan, tiba-tiba berubah sangat taat. Bahkan pula, secara revolusioner mereka ini lantas mengubah penampilan, yang tadinya klimis berubah berjanggut atau memakai simbol-simbol keagamaan yang lebih jelas pandang. Karena itu, jangan kaget bila pelaku terorisme ada yang tadinya berasal dari lingkungan yang abai dalam pengamalan keagamaan.
Begitulah, dalam kehidupan keagamaan terlihat adanya ‘pergeseran mata baca’ untuk memaknai pemikiran keagamaan, baik yang liberal maupun fundamentalis. Seruan untuk mengatur volume suara azan di masjid-masjid belakangan ini bisa menjadi contoh bagai mana pergeseran pemikiran keagamaan tengah berlangsung secara menderas.
Isu-isu ‘peka’ yang menyangkut keislaman terasa akan terus menyeruak di belantika masyarakat Muslim di Indonesia. Begitu pun, pemikiran berwujud ‘formalisme keagamaan’ tak kalah cepat melaju. Perjuangan penegakan syariat Islam bisa menjadi contoh betapa pemikiran literalisme keagamaan pun sulit terbendung. Ya, kalangan liberal maupun fundamentalis akan terus merapat kan barisan dan berjuang untuk menancapkan pengaruh di ‘pasar bebas’ keumatan.
Nah, yang diperlukan kini, penyadaran yang tak kenal lelah perlunya sikap saling tenggang rasa dan antikekerasan. Mungkin ini panjang ceritanya, tapi inilah proses. Tapi, percayalah bahwa demokrasi yang dipayungi hukum dan dijalani secara konsisten, maka ini dambaan mampu menjadi ‘amunisi’ untuk mengadang tindakan main hakim terhadap perbedaan pemikiran. ●
pribadi said aqiel siradj memang kontroversil, tapi kalau sudah begini apa yg mau diambil dari beliau? keteladanan? cara berfikirnya saja sangat sulit diterima oleh akal sehat, sekali pun orang awam.
berikut tulisan aqiel siradj di harian Republika
Menyikapi Kontroversi
Said Aqil Siradj ; Ketua Umum PBNU
Sumber : REPUBLIKA, 28 Juni 2012
Alkisah, Ibnu Rusyd, seorang filsuf Muslim kesohor, tengah shalat di sebuah masjid di Cordoba. Seusai shalat, Ibnu Rusyd asyik berzikir. Tak ada hujan tak ada angin, tiba-tiba seseorang berjalan mendekatinya dan cuuh, melempar ludah hingga mengenai tubuh Ibnu Rusyd. Ibnu Rusyd tetap diam meneruskan tafakurnya dan tak bereaksi apapun.
Kisah ini telah terekam dalam sejarah yang bisa menjadi `pengungkit' kisah pergulatan pemikiran antara `substansialisme' dan `skripturalisme'. Ya, Ibnu Rusyd yang dipuja-puja sebagai jawara dalam sejarah peradaban Islam yang multitalenta, serta inspirator kebangkitan peradaban Eropa dan Arab Islam kontemporer harus bernasib `dinistakan' oleh mereka yang berbeda pemikiran.
Membentang Kontroversi
Kita sedang jamak dihadapkan pada gesekan pemikiran. Barangkali yang masih hangat kasus geger di Salihara pada 4 Mei lalu manakala terjadi penggerudukan dan penghentian acara diskusi buku bertajuk “Iman, Cinta, dan Kebebasan“ yang menghadirkan langsung penulisnya, Irsyad Manji. Perempuan asal Kanada yang dikenal sebagai tokoh feminis-liberal ini harus menanggung nasib dicokok oleh FPI dan polisi.
Irsyad Manji masih hidup dan terus berkiprah. Betapa pun ada adangan dan hujatan yang sekeras apa pun, yakinlah bahwa Irsyad Manji masih akan tetap `garang' dalam mengobarkan semangat dan pemikiran liberalnya.
Kita sudah membaca sejarah pemikiran kontroversial. Mereka selalu berada dalam posisi dikagumi dan dicemooh. Ibnu Arabi yang berjuluk “Syaikh al-Akbar“ (mahaguru) juga harus menerima beragam tuduhan kafir, musyrik, dan murtad. Abu Yazid al-Bustami diusir dari rumahnya dan disiksa. Dzunnun al-Mishri digiring dan diseret dengan tangan dirantai dari Mesir menuju Baghdad.
Membaca `nasib' Irsyad Manji kali ini serasa sebagai `panjatan' untuk membuka kembali `kotak pandora' yang mungkin sekian waktu tersimpan rapat oleh sejarah. Bukan rahasia lagi sebenarnya bahwa sejarah telah mewartakan selalu ada gesekan yang secara kontinu merengsek pergumulan pemikiran.
Penghakiman terhadap pemikiran terus berjalan seiring waktu, betapa pun dunia kini tengah menggeliat-geliat menuju `bandul baru' kemanusiaan. Kembali kita dihadapkan pada `benturan klasik' seputar akal dan wahyu yang sepanjang masa telah menjadi tarikmenarik di arasy pemikiran. Rasionalitas berhadap-hadapan dengan tekstualitas. Liberalisme bertatap wajah dengan skripturalisme-fundamental
Beradu Nasib
Kita tahu di bumi Indonesia saat ini tengah menghadapi `gelombang pasang' menguatnya kembali puritanisme dan fundamentalisme keagamaan. Reformasi menuju demokrasi tak hanya menghadirkan suasana baru menuju impian kemapanan, tetapi `kebebasan berekspresi' di berbagai pihak.
Liberalisme pemikiran keagamaan muncul bersahut-sahutan dengan puritanisme dan fundamentalisme agama sembari saling berpacu di arena publik. Yang satu hendak `menoleh ke Barat' dengan menggelorakan kebebasan, termasuk dalam soal tafsir keagamaan dan yang satu lagi hendak `menoleh ke Arab' dengan menyerukan pemurnian keagamaan seraya berupaya menyuguhkan dalam wujud simbol-simbol keagamaan yang begitu gahar.
Kebangkitan kembali pemikiran, baik liberal maupun fundamentalis, sepertinya menabalkan lagi `dikotomi' pemikiran keislaman yang sesungguhnya telah tampil sedemikian menyejarah. Penyebutan ada `komunitas liberal' dan ada `kelompok fundamentalis' merupakan fakta yang tampak paling mengemuka di kancah dunia pemikiran keislaman dewasa ini. Sering kali orang akan mudah melabelkan julukan liberal atau fundamentalis terhadap sekelompok tertentu.
Ini tampaknya seperti fenomena gunung es. Sebenarnya dalam realitas yang lebih `membumi', saat ini di rerimbunan kehidupan keagamaan sudah bermekaran pemikiran, khususnya di kalangan anak muda yang beraroma liberalisme. Mereka yang dulunya belajar di pesantren, atau mereka yang tadinya taat menjalankan ritual keagamaan, kemudian mengalami ‘konversi’ yang akhirnya enggan mengamalkan ritual keagamaan. Pemikiran mereka sudah banyak yang ‘melampaui’ ajaran baku agama dan bahkan ada yang beralih menjadi ateis.
Di sebelah fakta lain, muncul pula fakta mereka yang tadinya longgar dalam keagamaan, tiba-tiba berubah sangat taat. Bahkan pula, secara revolusioner mereka ini lantas mengubah penampilan, yang tadinya klimis berubah berjanggut atau memakai simbol-simbol keagamaan yang lebih jelas pandang. Karena itu, jangan kaget bila pelaku terorisme ada yang tadinya berasal dari lingkungan yang abai dalam pengamalan keagamaan.
Begitulah, dalam kehidupan keagamaan terlihat adanya ‘pergeseran mata baca’ untuk memaknai pemikiran keagamaan, baik yang liberal maupun fundamentalis. Seruan untuk mengatur volume suara azan di masjid-masjid belakangan ini bisa menjadi contoh bagai mana pergeseran pemikiran keagamaan tengah berlangsung secara menderas.
Isu-isu ‘peka’ yang menyangkut keislaman terasa akan terus menyeruak di belantika masyarakat Muslim di Indonesia. Begitu pun, pemikiran berwujud ‘formalisme keagamaan’ tak kalah cepat melaju. Perjuangan penegakan syariat Islam bisa menjadi contoh betapa pemikiran literalisme keagamaan pun sulit terbendung. Ya, kalangan liberal maupun fundamentalis akan terus merapat kan barisan dan berjuang untuk menancapkan pengaruh di ‘pasar bebas’ keumatan.
Nah, yang diperlukan kini, penyadaran yang tak kenal lelah perlunya sikap saling tenggang rasa dan antikekerasan. Mungkin ini panjang ceritanya, tapi inilah proses. Tapi, percayalah bahwa demokrasi yang dipayungi hukum dan dijalani secara konsisten, maka ini dambaan mampu menjadi ‘amunisi’ untuk mengadang tindakan main hakim terhadap perbedaan pemikiran. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar