apakah sikap kita terhadap sesuatu harus selalu menampakan bahasa tubuh reaktif, agresif, simpati, dan lain-lain. respon tidak selalu melulu itu, ada banyak hal yg bisa kita tampakkan dalam menghadapi resesi macam bencana, musibah dan momen-momen buruk atau bahagia lainnya.
jujur, saya selalu menampakkan sikap santai alias tidak terlalu reaktif juga tidak terlalu bersedih... itu semua bukan karena saya menginginkan orang disekitar saya memperhatikan tingkah polah saya yg seperti patung hidup. itu semua karena memang saya tidak ingin orang-orang di sekitar saya justru terprovokasi atau terintervensi.
kalau pun akhirnya terprovokasi dan terintervensi dgn tingkah polah yg agak netral atau dingin-dingin saja, yah... memang itu mungkin yg bisa saya buat. di banding dengan sebagian kawan-kawan satu asrama saya yg ketika mendengar teriakan "wadai" (kue, bhs banjar) sontak terperangah, seperti orang gila mendekati objeknya.
bukannya menghina, tapi memang demikianlah watak kita sebagai manusia, selalu "naik" jika mendengar sesuatu yg sangat menarik, apalagi kalau itu menyangkut makanan, uang, wanita, dan "barang-barang" menarik lainnya.
tapi yg menarik adalah, justru itulah bedanya kita dengan hewan atau binantang (lalu apa bedanya??) hewan tidak ada bedanya, contohnya ayam, sebarkanlah biji-biji jagung di depan matanya, pasti mereka akan berebut atau kalo bisa di bilang "berlomba", saya tidak pernah melihat ada ayam ketika di sodori makanan di depan batang hidungnya, hanya bisa diam membisu --kecuali lagi sakit.
nah, itu lah saya, keinginan itu justru memenjarakan, keinginan itu justru memberikan legitimasi perilaku yg kadang-kadang tidak masuk akal, keinginan itu kadang-kadang memang sulit di cerna oleh perasaan, maka itu lah keinginan.
maka, saya hanya ingin mencoba menahan "keinginan" tersebut untuk mencari sebuah hikmah di balik keinginan itu sendiri. ah, jangan samakan saya dgn cerita ayam sakit di atas... oke?!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar