saya hanyalah manusia biasa, yg banyak dipenuhi oleh salah dan khilaf, oleh karena itu jikalau ada postingan saya yg kurang berkenan di hati saudara pembaca sekalian, mohon dimaafkan lahir bathin, karena kebenaran hanya berasal dari Allah, dan kesalahana sepenuhnya ada diri saya...

Jumat, 05 Juli 2013

arabic is not islam, islam is not arabic

Pendahuluan
 
orang-orang mengatakan kalau islam di arab saudi adalah islam representatif yg bisa dijadikan rujukan di sluruh dunia. oleh karena itu ketika ada orang yg mencela syariat islam, mereka akan mengukurnya hanya dari arab saudi. seperti pakaian, hukum yg diterapkan, sosial, ekonomi dan seluruh aspek yg bisa dijadikan bahan ejekan.

tapi, ternyata ketika ditanya apakah anda sudah mengerti syariat islam itu. anehnya mereka enggan membalas dan langsung hilang dari peredaraan. seperti maling teriak maling!

islam diturunkan pada faktanya memang turun di gurun arab yg tandus lagi gersang, islam menyemai manusia2 tangguhnya di mana dunia arab sebagai persinggahannya. Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al Buthy memberikan penjelasan yg amat baik dalam Sirah Nabawi yang ditulisnya.


Dia mengatakan bahwa untuk menjelaskan hal tersebut pertama2 kita perlu ketahui karakteristik bangsa Arab dan tabiat mereka sebelum Islam, juga menggambarkan letak geografis tempat mereka hidup dan posisinya di antara negar2 di sekitarnya.

Jadi pada waktu, dunia sedang dikuasai oleh dua negara adidaya: Persia dan Romawi, lalu menyusul India dan Yunani. Persia adalah bangsa yang dipenuhi oleh faham keagamaan yang sesat dan saling bertentangan. Semisal saja, di sana diutamakan perkawinan seseorang dg ibunya, anak perempuannya atau saudaranya. Shg salah satu rajanya -Yazdasir II- mengawini anak perempuannya.

Selain ajaran Zoroaster yg biasanya dianut oleh para penguasa, ada juga ajaran Mazdakia yg mempromosikan pengumbaran nafsu atas harta, wanita dan perendahan pada manusia. Sementara itu Romawi telah dikuasai sepenuhnya oleh semangat kolonialisme dengan kekuatan militernya untuk mengembangkan agama kristen dg memperturutkan hawa nafsu yg serakah.

Negara ini, pada waktu itu, tidak kalah bejatnya dg Persia. Kehidupan nista, kebejatan moral dan pemerasan ekonomi telah menyebar ke seluruh penduduk negeri, akibat melimpahnya penghasilan dan menumpuknya pajak.

Sementara Yunani sedang tenggelam dalam lautan pemikiran dan mitos2 verbal yang tidak pernah memberinya manfaat. Demikian juga dg India yang sedang berada di puncak kebejatan dari segi agama, akhlak maupun sosial, yg dimulai sejak abad keenam Masehi.

Seluruh kemerosotan itu berakar pada perihal yang sama, yakni mengacunya peradaban dan kebudayaan itu pada nilai2 materialistik semata, tanpa ada nilai-nilai moral yang mengarahkan peradaban dan kebudayaan tersebut ke jalan yg benar.

Sementara itu, di jazirah Arabia, bangsa Arab hidup dg tenang, jauh dari segala keguncangan tsb. Jika kita amati, maka jazirah Arab secara geografis terletak di antara umat2 yg sedang dilanda pergolakan, dan tidak mendapat pengaruh dari semua itu.

Mereka tidak memiliki kemewahan dan peradaban Persia, yg memungkinkan mereka kreatif & pandai menciptakan beragam kemerosotan, filsafat keserbabolehan dan kebejatan moral yg dikemas dalam bentuk agama. Mereka jg tidak memiliki kekuatan militer Romawi, yg bisa mendorong mereka untuk melakukan ekspansi ke negara2 tetangga.

Merka tidak memiliki kemegahan filosofis dan dialektika romawi Yunani, yg bisa menjerat mereka mjd bangsa penuh mitos dan khayalan pemikiran. Karakteristik mereka seperti bahan baku yg belum dioleh dg bahan lain; masih menampakkan fitrah kemanusiaan dan kecenderungan yg sehat dan kuat, serta cenderung kepada kemanusiaan yg mulia, seperti setia, penolong, dermawan, rasa harga diri dan kesucian.

Kegigihan, keuletan, dan daya tahan bangsa Arab sudah sedemikian teruji mengingat mereka telah dapat survive di alam yang mana hanya ada sedikit kehidupan di sana. Mereka dikenal memiliki loyalitas dan kemurahan yg amat tinggi khususnya pada ikatan persaudaraan.Hanya saja, mereka tidak memiliki pengetahuan yang bisa membantu mereka mengungkapkan jalan ke arah itu.

Karena mereka mereka hidup di dalam kegelapan, kebodohan dan alam fitrah yg pertama. Akibatnya, mereka sesat jalan dan tidak menemukan nilai2 kemanusiaan tersebut. Maka mereka membunuh anak dg dalih kemanusiaan dan kesucian; memusnahkan harta kekayaan dg alasan kedermawanan; dan membangkitkan peperangan di antara mereka dg alasan harga diri dan kepahlawanan.

Hikmah pilihan ini sama dg hikmah dijadikannya Rasulullah seorang ummi, tidak bisa menulis dg tangan kanannya (istilah Allah) dan tidak pula bisa membaca. Hal ini agar manusia tidak menjadi ragu akan kenabiannya, dan agar manusia tidak memiliki banyak sebab keraguan terhadap kebenaran da’wahnya.

Sehingga jazirah arab memang adl lokasi yg pas untuk dipilih sbg tempat kelahiran & pertumbuhan Islam.
Tentunya akan banyak manusia yg akan ragu bila mereka melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adl seseorang yg terpelajar dan pandai bergaul dg kitab2, sejarah umat2 terdahulu, dan semua peradaban di sekitarnya.

Sementara itu, bila dibandingkan dg umat2 lain di sekitarnya, bangsa Arab tidak terjangkau sama sekali oleh peradaban2 tetangganya. Demikian juga sistem pemikirannya, tidak tersentuh sama sekali oleh filsafat2 membingungkan yg ada di sekitarnya.

Bila tidak demikian, tentunya banyak orang yg akan merasa ragu dan bahkan menolak serta menuduh dakwah Islam sbg mata rantai pengalaman budaya dan pemikiran2 filosofis yg akhirnya melahirkan peradaban yg unik serta perundang2an yg sempurna.

Selain itu, Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy juga menambahkan catatan lain yg perlu kita perhatikan. Yang pertama; Allah telah menjadikan Baitul-Haram sbg tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yg aman (QS 2: 125) dan rumah yg pertama kali dibangun bagi manusia untuk beribadah dan menegakkan syi’ar2 agama.

Allah juga menjadikan dakwah Bapak dari para Nabi, yakni Ibrahim as, di lembah tersebut. Maka merupakan suatu kelaziman dan kesempurnaan bila lembah yang diberkahi ini juga menjadi tempat lahirnya dakwah Islam yg notabene adl millah Ibrahim, dan menjadi tempat diutus dan lahirnya pamungkas para Nabi.

Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam termasuk keturunan Ibrahim as. Yang kedua; secara Geografis, jazirah Arab sangat kondusif untuk mengamban tugas dakwah karena letaknya yg amat strategis di antara umat2 sekitarnya. Posisi ini akan menjadikan penyebaran dakwah Islam ke semua bangsa dan negara di sekitarnya berjalan dengan mudah dan lancar.

Yang ketiga; bukan hanya terkait perihal tempat, Allah juga telah menjadikan bahasa Arab sbg bahasa dakwah Islam serta media langsung untuk menerjemahkan kalam Allah dan penyampaiannya kpd kita. Jika kita kaji karakteristik semua bahasa, lalu kita bandingkan antara yg satu dg yg lain, niscaya akan kita temukan keistimewaan bhw bahasa Arab banyak memiliki keistimewaan yg tidak dimiliki oleh bahasa lainnya.

Khilafah Kepemimpinan Umum Umat Islam

Umat islam berdiri di kaki sendiri dgn negara kepemimpinan pemersatunya yakni khilafah. Khilafah, secara etimologis, adalah kedudukan pengganti yang menggantikan orang sebelumnya. Menurut terminologi syar’i, khilafah diartikan sebagai kepimpinan umum, yang menjadi hak seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum syariat Islam (hukum Allah) dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.

Batasan “kepimpinan umum” mempunyai konotasi, bahwa khilafah Islam bertugas mengurusi seluruh urusan, yang meliputi pelaksanaan semua hukum syara’ terhadap rakyat, tanpa terkecuali meliputi muslim dan non-muslim. Mulai dari masalah akidah, ibadah, ekonomi, sosial, pendidikan, politik dalam dan luar negeri, semuanya diurus oleh khilafah Islam.

Bentuk dan sistem pemerintahan Islam adalah sebagai berikut:
a. Negara Islam tidak berbentuk federasi ataupun persemakmuran (commonwealth), tetapi berbentuk kesatuan (union).

b. Sistem pemerintahan Islam tidak berbentuk kerajaan (monarki), baik absolut, seperti kerajaan Saudi Arabia, maupun perlementer, seperti kerajaan Malaysia. Juga tidak berbentuk republik, baik presidensial, seperti Indonesia, maupun parlementer, seperti Rusia. Tetapi sistem pemerintahan Islam adalah sistem khilafah, dimana khalifah tidak seperti presiden, juga tidak seperti perdana menteri, atau raja.

c. Sistem pemerintahan Islam juga tidak berbentuk demokrasi, teokrasi, ataupun autokrasi. Tetapi, sistem pemerintahan Islam adalah sistem khilafah yang tidak sama dengan model pemerintahan yang ada di dunia saat ini.

d. Sistem pemerintahan Islam berbentuk sentralisasi, sedangkan administrasi atau birokrasinya menganut sistem desentralisasi.

e. Bentuk negara Islam yang sesungguhnya juga bukanlah bentuk negara bangsa (nation-state) seperti yang digagas oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewiryo dengan Negara Islam Indonesianya. Tetapi bentuk negara Islam adalah bentuk negara global internasional, sebagai bentuk persatuan umat Islam sedunia.
Sistem khilafah adalah sistem pemerintahan Islam global yang menerapkan hukum-hukum Allah Tuhan Semesta Alam yang diperuntukkan bagi manusia. Banyak hukum yang mengatur masalah khilafah Islam ini telah dibahas oleh ulama fiqih, yang sudah tidak terhitung jumlahnya, baik yang ditulis ulama klasik maupun kontemporer.

• Pemerintahan Islam Bukan Monarki
Sistem pemerintahan Islam tidak berbentuk monarki. Bahkan, Islam tidak mengakui sistem monarki, maupun yang sejenis dengan sistem monarki.

Dalam sistem monarki, pemerintahannya menerapkan sistem waris (putra mahkota), dimana singgasana kerajaan akan diwarisi oleh seorang putra mahkota dari orang tuanya, seperti kalau mereka mewariskan harta warisan. Sedangkan sistem pemerintahan Islam tidak mengenal sistem waris. Namun, pemerintahan akan dipegang oleh orang yang dibaiat oleh umat dengan penuh ridha dan bebas memilih.

Sistem monarki telah memberikan hak tertentu serta hak-hak istimewa khusus untuk raja saja, yang tidak akan bisa dimiliki oleh yang lain. Sistem ini juga telah menjadikan raja di atas undang-undang, dimana secara pribadi raja memiliki kekebalan hukum. Dan kadangkala raja/ratu hanya simbol bagi rakyat, dan tidak memiliki kekuasaan apa-apa, sebagaimana raja-raja di Eropa, seperti yang terjadi di Inggris. 

Atau kadangkala, ada yang menjadi raja dan sekaligus berkuasa penuh, bahkan menjadi sumber hukum. Dimana raja bebas mengendalikan negeri dan rakyatnya dengan sesuka hatinya, sebagaimana raja di Saudi, Maroko, dan Yordania. Termasuk juga, raja-raja Hindu pada zaman dahulu.

Lain halnya dengan sistem Islam. Sistem Islam tidak pernah memberikan kekhususan kepada khalifah atau imam (kepala negara) dalam bentuk hak-hak istimewa atau hak-hak khusus. Khalifah tidak memiliki hak, selain hak yang sama dengan hak rakyat biasa. Khalifah juga bukan hanya sebuah simbol bagi rakyat namun tidak memiliki kekuasaan apa-apa. 

Khalifah juga bukan sebuah simbol yang berkuasa dan bisa memerintah serta mengendalikan negara beserta rakyatnya dengan sesuka hatinya. Tetapi, khalifah adalah pihak yang mewakili umat/rakyat dalam masalah pemerintahan dan kekuasaan, yang mereka pilih dan mereka baiat agar menerapkan syariat Allah. Sehingga khalifah juga tetap harus terikat dengan hukum-hukum Islam dalam semua tindakan, hukum. serta pelayanannya terhadap kepentingan umat/rakyat.

Di samping itu, dalam pemerintahan Islam tidak mengenal wilayatul ahdi (putra mahkota). Justru Islam menolak adanya putra mahkota, bahkan Islam juga menolak mengambil pemerintahan dengan cara waris. Islam telah menentukan cara mengambil pemerintahan yaitu dengan baiat dari umat kepada khalifah atau imam, dengan penuh ridha dan bebas memilih.

Adapun yang terjadi pada masa Bani Umayyah, Abbasiyah, dan Usmaniyah, maka sebenarnya hal itu adalah penyimpangan terhadap syariat, yang tidak akan mempengaruhi sedikit pun hukum wajib tidaknya menerapkan syariat Islam.

Namun, perlu diingat, bahwa para putra mahkota yang diangkat, juga melalui proses baiat. Bukan semata-mata diangkat menjadi pemimpin. Oleh karena itu, sekalipun terjadi penyimpangan dalam menjalankan negara khilafah pada masa dulu, tetapi tetap bisa disebut sebagai negara khilafah, dengan adanya baiat itu.

Lagipula, pada umumnya orang yang menyatakan bahwa kekuasaan umat Islam zaman dulu bukanlah sistem kekhalifahan tetapi kerajaan, adalah orang yang menentang khilafah dan lebih pro terhadap sistem selain sistem Islam, seperti demokrasi atau yang lainnya. 

Tetapi masalahnya, ketidakadilan muncul di sini. Jika mereka adil, seharusnya buruknya penerapan sistem demokrasi, juga tidak bisa membuat negara yang menerapkan sistem demokrasi disebut sebagai negara demokrasi. 

Contohnya Amerika dan Indonesia. Bagi pegiat demokrasi, sekalipun Amerika dan Indonesia mengalami penyimpangan dalam penerapan demokrasi, tetap disebut sebagai negara demokrasi. Lalu mengapa, jika terjadi penyimpangan sedikit saja terhadap sistem pemerintahan Islam, langsung dikatakan bahwa itu bukanlah sistem khilafah? 

Sesungguhnya, sikap seperti ini hanya muncul dari orang-orang bermental penjajah, tidak bangga dengan keislamannya, dan memiliki sikap tidak adil dalam dirinya.

• Pemerintahan Islam bukan Republik
Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem republik. Dimana sistem republik berdiri di atas pilar sistem demokrasi, yang kedaulatannya jelas di tangan rakyat. Rakyatlah yang memiliki hak untuk memerintah serta membuat aturan, termasuk rakyatlah yang kemudian memiliki hak untuk menentukan seseorang untuk menjadi penguasa, dan sekaligus hak untuk memecatnya. 

Rakyat juga berhak membuat aturan berupa undang-undang dasar serta perundang-undangan, termasuk berhak menghapus, mengganti serta mengubahnya.

Rakyatlah yang menjadikan khamr legal dan tidak legal. Rakyatlah yang menjadikan klun-klub malam dinilai legal dan tidak legal. Rakyatlah yang menentukan Ahmadiyah itu diakui atau tidak diakui. Sementara sistem pemerintahan Islam berdiri di atas pilar akidah Islam, serta hukum-hukum syara’. 

Dimana kedaulatannya di tangan syara’, bukan di tangan umat/rakyat. Dalam hal ini, baik umat maupun khalifah tidak berhak membuat aturan sendiri. Karena yang berhak membuat aturan adalah Allah SWT. semata.

Sedangkan khalifah hanya memiliki hak untuk mengadopsi hukum-hukum untuk dijadikan sebagai undang-undang dasar serta perundang-undangan dari kitabullah dan sunah Rasul-Nya. Begitu pula umat tidak berhak untuk memecat khalifah. 

Karena yang berhak memecat khalifah adalah syara’ semata. Akan tetapi, umat tetap berhak untuk mengangkatnya. Sebab Islam telah menjadikan kekuasaan di tangan umat. Sehingga umat berhak mengangkat orang yang mereka pilih dan mereka baiat untuk menjadi wakil mereka.

Dalam sistem republik dengan bentuk presidensiilnya, seorang presiden memiliki wewenang sebagai seorang kepala negara serta wewenang sebagai seorang perdana menteri, sekaligus. Karena tidak ada perdana menteri dan yang ada hanya para menteri, semisal presiden Amerika. 

Sedangkan dalam sistem republik dengan bentuk parlementer, terdapat seorang presiden sekaligus dengan perdana menterinya. Dimana wewenang pemerintahan dipegang oleh perdana menteri, bukan presiden. Seperti republik Prancis dan Jerman Barat.

Sedangkan di dalam sistem khilafah tidak ada menteri, maupun kementerian bersama seorang khalifah seperti halnya dalam konsep demokrasi, yang memiliki spesialisasi serta departemen-departemen tertentu. Yang ada dalam sistem khilafah Islam hanyalah para mu’awin yang senantiasa dimintai bantuan oleh khalifah. 

Tugas mereka adalah membantu khalifah dalam tugas-tugas pemerintahan. Mereka adalah para pembantu dan sekaligus pelaksana. Ketika khalifah memimpin mereka, maka khalifah memimpin mereka bukan dalam kapasitasnya sebagai perdana menteri atau kepala lembaga eksekutif, melainkan hanya sebagai kepala negara.

Sebab, dalam Islam tidak ada kabinet menteri yang bertugas membantu khalifah dengan memiliki wewenang tertentu. Sehingga mu’awin tetap hanyalah pembantu khalifah untuk melaksanakan wewenang-wewenangnya.

Selain dua bentuk tersebut –baik presidensiil maupun parlementer– dalam sistem republik, presiden bertanggung jawab di depan rakyat atau yang mewakili suara rakyat. Dimana rakyat beserta wakilnya berhak untuk memberhentikan presiden, karena kedaulatan di tangan rakyat.

Kenyataan ini berbeda dengan sistem kekhilafahan. Karena seorang amirul mukminin (khalifah), sekalipun bertanggungjawab di hadapan umat dan wakil-wakil mereka, termasuk menerima kritik dan koreksi dari umat serta wakil-wakilnya, namun umat termasuk para wakilnya tidak berhak untuk memberhentikannya. 

Amirul mukminin juga tidak akan diberhentikan kecuali apabila menyimpang dari hukum syara’ dengan penyimpangan yang menyebabkan harus diberhentikan. Adapun yang menentukan pemberhentiannya adalah hanya mahkamah mazhalim.

Kepemimpinan dalam sistem republik, baik yang menganut presidensiil maupun parlementer, selalu dibatasi dengan masa jabatan tertentu, yang tidak mungkin bisa melebihi dari masa jabatan tersebut. Sementara di dalam sistem khilafah, tidak terdapat masa jabatan tertentu. Namun, batasannya hanyalah apakah masih menerapkan hukum syara’ atau tidak. 

Karena itu, selama khalifah melaksanakan hukum syara’, dengan cara menerapkan hukum-hukum Islam kepada seluruh manusia di dalam pemerintahannya, yang diambil dari kitabullah serta sunah Rasul-Nya maka dia tetap menjadi khalifah, sekalipun masa jabatannya amat panjang. Dan apabila dia telah meninggalkan hukum syara’ serta menjauhkan penerapan hukum-hukum tersebut, maka berakhirlah masa jabatannya, sekalipun baru sehari semalam. Sehingga tetap wajib diberhentikan.

Dari pemaparan di atas, maka nampak jelas perbedaan yang sedemikian jauh antara sistem kekhilafahan dengan sistem republik, antara presiden dalam sistem republik dengan khalifah dalam sistem Islam. Karena itu, sama sekali tidak diperbolehkan untuk mengatakan bahwa sistem pemerintahan Islam adalah sistem republik, atau mengeluarkan statemen: “Republik Islam”. 

Sebab, terdapat perbedaan yang sedemikian besar antara kedua sistem tersebut pada aspek asas yang menjadi dasar tegaknya kedua sistem tersebut, serta adanya perbedaan di antara keduanya baik dari segi bentuk maupun substansi-substansi masalah berikutnya.

• Pemerintahan Islam bukan Kekaisaran
Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem kekaisaran, bahkan sistem kekaisaran jauh sekali dari ajaran Islam. Sebab wilayah yang diperintah dengan sistem Islam –sekalipun ras dan sukunya berbeda serta sentralisasi pada pemerintah pusat, dalam masalah pemerintahan– tidak sama dengan wilayah yang diperintah dengan sistem kekaisaran. 

Bahkan, berbeda jauh dengan sistem kekaisaran, sebab sistem ini tidak menganggap sama antara ras satu dengan yang lain dalam hal pemberlakuan hukum di dalam wilayah kekaisaran. Dimana sistem ini telah memberikan keistimewaan dalam bidang pemerintahan, keuangan dan ekonomi di wilayah pusat.

Sedangkan tuntunan Islam dalam bidang pemerintahan adalah menganggap sama antara rakyat yang satu dengan rakyat yang lain dalam wilayah-wilayah negara. Islam juga telah menolak ikatan-ikatan kesukuan (ras). Bahkan, Islam memberikan semua hak-hak rakyat dan kewajiban mereka kepada orang non Islam yang memiliki kewarganegaraan. 

Dimana mereka memperoleh hak dan kewajiban sebagaimana yang menjadi hak dan kewajiban umat Islam. Lebih dari itu, Islam senantiasa memberikan hak-hak tersebut kepada masing-masing rakyat –apapun mazhabnya– yang tidak diberikan kepada rakyat negara lain, meskipun muslim. Dengan adanya pemerataan ini, jelas bahwa sistem Islam berbeda jauh dengan sistem kekaisaran.

Dalam sistem Islam, tidak ada wilayah-wilayah yang menjadi daerah kolonial, maupun lahan ekploitasi serta lahan subur yang senantiasa dikeruk untuk wilayah pusat. Dimana wilayah-wilayah tersebut tetap menjadi satu kesatuan, sekalipun sedemikian jauh jaraknya antara wilayah tersebut dengan ibu kota negara Islam. Begitu pula masalah keragaman ras warganya. 

Sebab, setiap wilayah dianggap sebagai satu bagian dari tubuh negara. Rakyat yang lainnya juga sama-sama memiliki hak sebagaimana hak rakyat yang hidup di wilayah pusat, atau wilayah-wilayah lainnya. Dimana otoritas pejabatnya, sistem serta perundang-undangannya sama semua dengan wilayah-wilayah yang lain.

• Pemerintahan Islam bukan Federasi
Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem federasi, yang membagi wilayah-wilayahnya dalam otonominya sendiri-sendiri, dan bersatu dalam pemerintahan secara umum. Tetapi sistem pemerintahan Islam adalah sistem kesatuan. 

Yang mecakup seluruh negeri seperti Marakis di bagian barat dan Khurasan di bagian timur. Seperti halnya yang dinamakan dengan mudiriyatul fuyum ketika ibu kota Islam berada di Kairo. Harta kekayaan seluruh wilayah negera Islam dianggap satu.

Begitu pula anggaran belanjanya akan diberikan secara sama untuk kepentingan seluruh rakyat, tanpa melihat daerahnya. Kalau seandainya ada wilayah telah mengumpulkan pajak, sementara kebutuhannya kecil, maka wilayah tersebut akan diberi sesuai dengan tingkat kebutuhannya, bukan berdasarkan hasil pengumpulan hartanya.

Kalau seandainya ada wilayah, yang pendapatan daerahnya tidak bisa mencukupi kebutuhannya, maka negara Islam tidak akan mempertimbangkannya. Tetapi, wilayah tersebut tetap akan diberi anggaran belanja dari anggaran belanja secara umum, sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Baik pajaknya cukup untuk memenuhi kebutuhannya atau tidak.

Sistem pemerintahan Islam juga tidak berbentuk federasi, melainkan berbentuk kesatuan. Karena itu, sistem pemerintahan Islam adalah sistem yang berbeda sama sekali dengan sistem-sistem yang telah populer lainnya saat ini. Baik dari aspek landasannya maupun substansi-substansinya. Sekalipun dalam beberapa prakteknya hampir ada yang menyerupai dengan praktek dalam sistem yang lain.

Di samping hal-hal yang telah dipaparkan sebelumnya, sistem pemerintahan Islam adalah sistem pemerintahan sentralisasi, dimana penguasa tertinggi cukup di pusat. Pemerintahan pusat mempunyai otoritas yang penuh terhadap seluruh wilayah negara, baik dalam masalah-masalah yang kecil maupun yang besar. 

Negara Islam juga tidak akan sekali-kali mentolelir terjadinya pemisahan salah satu wilayahnya, sehingga wilayah-wilayah tersebut tidak akan lepas begitu saja. Negaralah yang akan mengangkat para panglima, wali dan amil, para pejabat dan penanggung jawab dalam urusan harta dan ekonomi. Negara juga yang akan mengangkat para qadli di setiap wilayahnya. 

Negara juga yang mengangkat orang yang bertugas menjadi pejabat (hakim). Disamping negara yang akan mengurusi secara langsung seluruh urusan yang berhubungan dengan pemerintahan di seluruh negeri.
Pendek kata, sistem pemerintahan di dalam Islam adalah sistem khilafah. Dan ijma’ sahabat telah sepakat terhadap kesatuan khilafah dan kesatuan negara serta ketidakbolehan berbaiat selain kepada satu khalifah. 

Sistem ini telah disepakati oleh para imam mujtahid serta jumhur fuqaha’. Yaitu apabila ada seorang khalifah dibaiat, padahal sudah ada khalifah yang lain atau sudah ada baiat kepada seorang khalifah, maka khalifah yang kedua harus diperangi, sehingga khalifah yang pertama terbaiat. Sebab secara syar’i, baiat telah ditetapkan untuk orang yang pertama kali dibaiat dengan baiat yang sah.

Menjadikan Arab sebagai representatif islam kaffah?

Untuk menjelaskan faktor penyebab kemunduran umat Islam secara eksternal kita rujuk paparan al-Hassan yang secara khusus menyoroti kasus kekhalifahan Turkey Uthmani, kekuatan Islam yang terus bertahan hingga abad ke 20 sbg benteng terakhir negara umat islam. Faktor-faktor tersebut adalah sbb:

1.    Faktor ekologis dan alami
Kondisi tanah di mana negara-negara Islam berada adalah gersang, atau semi gersang, sehingga penduduknya tidak terkonsentrasi pada suatu kawasan tertentu. Kondisi ekologis ini memaksa mereka untuk bergantung kepada sungai-sungai besar, seperti Nil, Eufrat dan Tigris. 

Secara agrikultural kondisi ekologis seperti ini menunjukkan kondisi yang miskin. Kondisi ini juga rentan dari sisi pertahanan dari serangan luar. Faktor alam yang cukup penting adalah Pertama, Negara-negara Islam seperti Mesir, Syria, Iraq dan lain-lain mengalami berbagai bencana alam. Antara tahun 1066-1072 di Mesir terjadi paceklik (krisis pangan) disebabkan oleh rusaknya pertanian mereka. 

Demikian pula di tahun 1347-1349 terjadi wabah penyakit yang mematikan di Mesir, Syria dan Iraq. Kedua, letak geografis yang rentan terhadap serangan musuh. Iraq, Syria, Mesir merupakan target serangan luar yang terus menerus. Sebab letak kawasan itu berada di antara Barat dan Timur dan sewaktu-waktu bisa menjadi terget invasi pihak luar.

2.    Faktor eksternal.
Faktor eksternal yang berperan dalam kajatuhan peradaban Islam adalah Perang Salib, yang terjadi dari 1096 hingga 1270, dan serangan Mongol dari tahun 1220-1300an. “Perang Salib”, menurut Bernard Lewis, “pada dasarnya merupakan pengalaman pertama imperialisme barat yang ekspansionis, yang dimotivasi oleh tujuan materi dengan menggunakan agama sebagai medium psikologisnya.” 

Sedangkan tentara Mongol menyerang negara-negara Islam di Timur seperti Samarkand, Bukhara dan Khawarizm, dilanjutkan ke Persia (1220-1221). Pada tahun 1258 Mongol berhasil merebut Baghdad dan diikuti dengan serangan ke Syria dan Mesir. Dengan serangan Mongol maka kekhalifahan Abbasiyah berakhir.

3.    Hilangnya Perdagangan Islam Internasional dan munculnya kekuatan Barat
Pada tahun 1492 Granada jatuh dan secara kebetulan Columbus mulai petualangannya. Dalam upayanya mencari rute ke India ia menempuh jalur yang melewati negara-negara Islam. Pada saat yang sama Portugis juga mencari jalan ke Timur dan juga melewati negara-negara Islam. Di saat itu kekuatan ummat Islam baik di laut maupun di darat dalam sudah memudar. 

Akhirnya pos-pos pedagangan itu dengan mudah dikuasai mereka. Pada akhir abad ke 16 Belanda, Inggris dan Perancis telah menjelma menjadi kekuatan baru dalam dunia perdagangan. Selain itu, ternyata hingga abad ke 19 jumlah penduduk bangsa Eropa telah meningkat dan melampaui jumlah penduduk Muslim diseluruh wilayah kekhalifahan Turkey Uthmani. 

Penduduk Eropa Barat waktu itu berjumlah 190 juta, jika ditambah dengan Eropa timur menjadi 274 juta; sedangkan jumlah penduduk Muslim hanya 17 juta. Kuantitas yang rendah inipun tidak dibarengi oleh kualitas yang tinggi.
Sebagai tambahan, meskipun Barat muncul sebagai kekuatan baru, Muslim bukanlah peradaban yang mati seperti peradaban kuno yang tidak dapat bangkit lagi. Peradaban Islam terus hidup dan bahkan berkembang secara perlahan-lahan dan bahkan dianggap sebagai ancaman Barat. Sesudah kekhalifahan Islam jatuh, negara-negara Barat menjajah negara-negara Islam. 

Pada tahun 1830 Perancis mendarat di Aljazair, pada tahun 1881 masuk ke Tunisia. Sedangkan Inggris memasuki Mesir pada tahun 1882. Akibat dari jatuhnya kekhalifahan Turki Uthmani sesudah Perang Dunia Pertama, kebanyakan negara-negara Arab berada dibawah penjajahan Inggris dan Perancis, demikian pula kebanyakan negara-negara Islam di Asia dan Afrika. 

Setelah Perang Dunia Kedua kebanyakan negara-negara Islam merdeka kembali, namun sisa-sisa kekuasaan kolonialisme masih terus bercokol. Kolonialis melihat bahwa kekuatan Islam yang selama itu berhasil mempersatukan berbagai kultur, etnik, ras dan bangsa dapat dilemahkan. 

Yaitu dengan cara adu domba dan tehnik divide et impera sehingga konflik intern menjadi tak terhindarkan dan akibatnya negara-negara Islam terfragmentasi menjadi negeri-negeri kecil. Itulah di antara faktor-faktor eksternal yang dapat diamati. 

Namun analisa al-Hassan di atas berbeda dari analisa Ibn Khaldun. Bagi Ibn Khaldun justru letak geografis dan kondisi ekologis negara-negara Islam merupakan kawasan yang berada di tengah-tengah antara zone panas dan dingin sangat menguntungkan. 

Di dalam zone inilah peradaban besar lahir dan bertahan lama, termasuk Islam yang bertahan hingga 700 tahun, India, China, Mesir dll. Menurut Ibn Khaldun faktor-faktor penyebab runtuhnya sebuah peradaban lebih bersifat internal daripada eksternal. 

Suatu peradaban dapat runtuh karena timbulnya materialisme, yaitu kegemaran penguasa dan masyarakat menerapkan gaya hidup malas yang disertai sikap bermewah-mewah. Sikap ini tidak hanya negatif tapi juga mendorong tindak korupsi dan dekadensi moral. Lebih jelas Ibn Khaldun menyatakan:
Tindakan amoral, pelanggaran hukum dan penipuan, demi tujuan mencari nafkah meningkat dikalangan mereka. Jiwa manusia dikerahkan untuk berfikir dan mengkaji cara-cara mencari nafkah, dan untuk menggunakan segala bentuk penipuan untuk tujuan tersebut. Masyarakat lebih suka berbohong, berjudi, menipu, menggelapkan, mencuri, melanggar sumpah dan memakan riba.Tindakan-tindakan amoral di atas menunjukkan hilangnya keadilan di masyarakat yang akibatnya merembes kepada elit penguasa dan sistem politik.

Kerusakan moral dan penguasa dan sistem politik mengakibatkan berpindahnya Sumber Daya Manusia (SDM) ke negara lain (braindrain) dan berkurangnya pekerja terampil karena mekanimse rekrutmen yang terganggu. Semua itu bermuara pada turunnya produktifitas pekerja dan di sisi lain menurunnya sistem pengembangan ilmu pengertahuan dan ketrampilan.
Dalam peradaban yang telah hancur, masyarakat hanya memfokuskan pada pencarian kekayaan yang secepat-cepatnya dengan cara-cara yang tidak benar. Sikap malas masyarakat yang telah diwarnai oleh materialisme pada akhirnya mendorong orang mencari harta tanpa berusaha. Secara gamblang Ibn Khaldun menyatakan:
..mata pencaharian mereka yang mapan telah hilang…. jika ini terjadi terus menerus, maka semua sarana untuk membangun peradaban akan rusak, dan akhirnya mereka benar-benar akan berhenti berusaha. Ini semua mengakibatkan destruksi dan kehancuran peradaban.
Pada Intinya, dalam pandangan Ibn Khaldun, kehancuran suatu peradaban disebabkan oleh hancur dan rusaknya sumber daya manusia, baik secara intelektual maupun moral. Contoh yang nyata adalah pengamatannya terhadap peradaban Islam di Andalusia. 

Disana merosotnya moralitas penguasa diikuti oleh menurunnya kegiatan keilmuan dan keperdulian masyarakat terhadap ilmu, dan bahkan berakhir dengan hilangnya kegiatan keilmuan. Di Baghdad keperdulian al-Ma’mun, pendukung Mu’tazilah dan al-Mutawakkil pendukung Ash’ariyyah merupakan kunci bagi keberhasilan pengembangan ilmu pengetahuan saat itu.
Jatuhnya suatu peradaban dalam pandangan Ibn Khaldun ada 10, yaitu:
1)    Rusaknya moralitas penguasa
2)    Penindasan penguasa & ketidak adilan
3)    Despotisme atau kezaliman
4)    Orientasi kemewahan masyarakat
5)    Egoisme
6)    Opportunisme   
7)    Penarikan pajak secara berlebihan
8)    Keikutsertaan penguasa dalam kegiatan ekonomi rakyat
9)    Rendahnya peran masyarakat terhadap agama
10)    Penggunaan pena & pedang secara tidak tepat.
Kesepuluh poin ini lebih mengarah kepada masalah-masalah moralitas masyarakat khususnya penguasa. Nampaknya, Ibn Khaldun berpegang pada asumsi bahwa karena kondisi moral di atas itulah maka kekuatan politik, ekonomi dan sistem kehidupan hancur dan pada gilirannya membawa dampak terhadap terhentinya pendidikan dan kajian-kajian keislaman, khususnya sains. 

Menurutnya “ketika Maghrib dan Spanyol jatuh, pengajaran sains di kawasan Barat kekhalifahan Islam tidak berjalan.” Namun dalam kasus jatuhnya Baghdad, Basra dan Kufah ia tidak menyatakan bahwa sains dan kegiatan saintifik berhenti atau menurun, tapi berpindah ke bagian Timur kekhalifahan Baghdad, yaitu Khurasan dan Transoxania.

Kemunduran Era Modern

Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab kemunduran dan kemerosotan umat Islam pada era sekarang yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli. Di antaranya Amir Syakib Arsalan dalam kitabnya Limadzaa Ta’akkhara al-Muslimuuna Wa Limaadzaa Taqaddama al-Ghayruuna. Dengan tegas beliau mengemukakan beberapa faktor penyebab yang terbesar dan terpenting sebagai faktor kemunduran umat Islam, yaitu:
1.    Kebodohan
Kebodohan inilah yang menyebabkan umat Islam mudah sekali dibohongi dan diombang-ambingkan, sebab tidak bisa membedakan mana yang merugikan dan mana yang menguntungkan.
2.    Kerusakan Budi Pekerti
Umat Islam telah kehilangan perangai sebagaimana yang telah diperintahkan oleh al-Qur’an,  akhlaq mulia yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat serta salaf al-Shalihin. Budi pekerti mulia sungguh sangat besar peranannya dalam rangka membangun umat dan bangsa. 

Dalam pada itu, Syauki Beik telah mengingatkan: ”sesungguhnya umat-umat itu tidak lain melainkan budi pekerti. Selama budi pekerti itu tetap ada pada sebuah umat maka umat itu tetap ada, dan jika budi pekerti itu lenyap maka mereka pun ikut lenyap.”
3.    Kebejatan Moral dan kerusakan budi pekerti para pemimpinnya.
Munculnya pemimpin diktator dan otoriter yang bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat dan mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan rakyat dan menumpas golongan/ kelompok yang ingin meluruskan perbuatan mereka.
4.    Sikap penakut dan pengecut
Dahulu, umat Islam terkenal sebagai umat pemberani, dapat mengalahkan musuh yang berlipat ganda jumlahnya. Namun sekarang, uamt Islam dilandasi rasa takut, dan rasa takut itulah yang menyebabkan umat Islam menjadi penakut dan pengecut. 
Menurut Lotrop Stodart dalam bukunya ”the New World of Islam” telah mengemukakan beberapa faktor penyebab kemunduran umat Islam yang secara ringkas dapat diurai berikut ini:
a.    Kambuhnya rasa permusuhan di kalangan umat Islam;
b.    Rusaknya ajaran Islam, akibatr dari bermacam-macam penafsiran yang menyimpang sari esensi ajaran Islam
c.    Sikap jumud/beku yang dialamai umat Islam, dengan menyelubungi ketauhidan yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dengan khurafat dan faham kesufian
d.    Merosotnya akhlak dan kehormatan diri.
 
Dalam kenyataan yang ada pada saat ini, kita lihat dan rasakan upaya-upaya untuk memundurkan umat Islam yang dilakukan dengan serius dan sistematik, yaitu di antaranya dengan jalan:
1.    Menjauhkan umat Islam dari al-Qur’an
2.    Menghancurkan akhlak umat Islam
3.    Memecah belah persatuan & kesatuan umat Islam   
4.    Menanamkan keraguan terhadap ajaran Islam
5.    Merintangi kemajuan umat Islam.
Hal-hal di atas merupakan faktor-faktor penyebab bagi kemunduran umat Islam menurut beberapa ahli yang akibatnya umat Islam diremehkan dan tidak lagi disegani oleh umat lain. Umat Islam menduduki peringkat bawah dan hanya sebagai pengikut, bukan sebagai pemimpin, sehingga mudah sekali dikendalikan dan diombang-ambingkan, dan pada gilirannya satu sama lain mudah diadu domba. Inilah yang mengakibatkan umat Islam berantakan, tidak sempat mengejar ketertinggalan.

So, menjadikan arab sebagai representatif islam tidak lah tepat, bisa saja Allah menurunkan islam di belahan benua eropa, amerika, bahkan asia dan australia, tapi qadarullah itu tidak terjadi... Arabic is not Islam, Islam is not Arabic. []

sumber:
(1) http://www.akhmadguntar.com/alasan-terpilihnya-jazirah-arab-sbg-tempat-kelahiran-pertumbuhan-islam/
(2) http://detikislam.com/tsaqofah/analisis/hakikat-negara-khilafah/
(3) http://hergianiq.blogspot.com/2012/11/faktor-penyebab-kemunduran-islam.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar