saya hanyalah manusia biasa, yg banyak dipenuhi oleh salah dan khilaf, oleh karena itu jikalau ada postingan saya yg kurang berkenan di hati saudara pembaca sekalian, mohon dimaafkan lahir bathin, karena kebenaran hanya berasal dari Allah, dan kesalahana sepenuhnya ada diri saya...

Senin, 31 Januari 2011

Bahaya Faham Pluralisme Di Era Modern

oleh Ihsan Tandjung
Kondisi dunia dewasa ini sangat sesuai dengan gambaran Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم lima belas abad yang lalu:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبٍّ لَاتَّبَعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
Rasulullah صلى الله عليه و سلم bersabda: "Sungguh, kalian benar-benar akan mengikuti tradisi/kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka masuk ke dalam lubang biawak-pun kalian pasti akan mengikuti mereka." Kami bertanya; "Wahai Rasulullah, apakah mereka itu kaum Yahudi dan Nasrani?" Beliau menjawab: "Siapa lagi kalau bukan mereka." (HR. Muslim, No. 4822)
Di era modern dewasa ini kita tidak bisa pungkiri bahwa yang sedang Allah سبحانه و تعالى beri giliran memimpin masyarakat dunia ialah masyarakat Barat atau biasa disebut The Western Civilization. Sedangkan masyarakat Barat terdiri dari masyarakat kaum Yahudi dan Nasrani. Merekalah yang mengarahkan masyarakat dunia –termasuk ummat Islam- mengikuti selera kebiasaan dan tradisi mereka. Ironisnya, tidak sedikit ummat Islam yang dijuluki sebagai Ahlul-Qur’an juga mengekor kepada apa saja yang ditawarkan oleh mereka. Seolah mereka tidak pernah memperoleh petunjuk dari Allah سبحانه و تعالى bagaimana seharusnya menata kehidupan pribadi dan sosial dalam kehidupan nyata. Padahal Al-Qur’an merupakan satu-satunya Kitabullah yang masih terpelihara keasliannya. Sedangkan Kitabullah yang diturunkan kepada Nabiyullah dari kalangan Bani Israel –yakni Taurat dan Injil– telah mengalami distorsi yang tidak bisa dibantah oleh para rabbi Yahudi dan pendeta/pastor Nasrani.
Akhirnya The Western Civilization yang memimpin dunia membuat berbagai bid’ah (hal-hal yang mengada-ada) dalam me-manage kepemimpinan mereka atas segenap ummat manusia dewasa ini. Di antara bid’ah tersebut ialah dikampanyekannya secara massif berbagai faham sesat produk akal (baca: hawa nafsu) manusia yang sudah barang tentu terputus dari landasan wahyu ilahi. Kita mengenal adanya berbagai faham seperti pluralisme, sekularisme, liberalisme, humanisme, materialisme, hedonisme, konsumerisme dan masih banyak lainnya.
Tulisan ini ingin menyoroti bahaya faham pluralisme yang sedang gencar-gencarnya dipromosikan di seantero dunia. Tidak kurang seorang pemimpin negara adidaya Obama melazimkan dirinya untuk memberikan kuliah umum di salah satu kampus ternama ibukota negara berpenduduk muslim terbesar di dunia saat kunjungannya beberapa waktu yang lalu. Kalau kita perhatikan secara seksama, maka di antara pokok pikiran utama yang ingin dipromosikan melalui kuliah umum tersebut ialah faham pluralisme. Faham ini telah diterima oleh banyak sekali manusia yang ingin disebut modern, tanpa kecuali sebagian ummat Islam.
Pada tahap awal kampanye Pluralisme terasa manis bak madu. Ajaran ini menyuruh manusia modern agar “menghormati manusia lainnya apapun latar belakang keyakinan dan agamanya.” Sampai di sini tentunya kita tidak punya masalah dengan faham ini. Termasuk ajaran Islam-pun menganjurkan hal itu. Tetapi yang menjadi masalah ialah bahwa faham Pluralisme tidak berhenti sampai di situ. Faham sesat ini menuntut agar manusia modern lebih jauh lagi mengembangkan keyakinannya, yaitu bahwa “semua agama sama” malah “semua agama baik”, bahkan “semua agama adalah benar”. Nah, sampai di sini tentunya seorang muslim yang sungguh-sungguh beriman kepada Allah سبحانه و تعالى sebagai Rabbnya, Islam sebagai din-nya dan Muhammad صلى الله عليه و سلم sebagai Nabi dan Rasulullah harus secara tegas menolaknya. Mengapa? Sebab bila ia menerima keyakinan seperti ini, maka ia berada dalam bahaya besar. Ia terancam. Bukan terancam oleh sembarang fihak, tetapi terancam oleh Allah سبحانه و تعالى
Apakah ancaman Allah سبحانه و تعالى yang dimaksud? Di dalam ajaran Islam pelanggaran terhadap aturan Allah سبحانه و تعالى ada dua macam: pertama, sebuah pelanggaran yang menyebabkan pelakunya berdosa namun ia tetap dihukumi sebagai seorang yang beriman di mata Allah سبحانه و تعالى . Orang ini berarti telah melakukan suatu kemaksiatan dan tentunya dia harus memohon ampunan Allah سبحانه و تعالى atas dosanya tersebut. Lalu kedua, pelanggaran yang menyebabkan pelakunya tidak saja dicatat sebagai berdosa, tetapi bahkan dicatat sebagai terlibat dalam nawaqidhul-iman (pembatalan iman). Artinya, disebabkan pelanggaran tersebut Iman-Islamnya menjadi batal di mata Allah سبحانه و تعالى. Dengan kata lain ia telah menjadi murtad...! Wa na’udzubillahi min dzaalika...
Dalam kitab “Vonis Kafir”, Ustadz Mas’ud Izzul Mujahid Lc menyebut adanya sembilan Pembatal Keimanan yang disepakati oleh para ulama. Ketika menerangkan Pembatal Keimanan nomor lima yang berjudul “Tidak Mengkafirkan Orang-orang Musyrik, atau Ragu Terhadap Kekafiran Mereka, atau Membenarkan Mazhab Mereka,” beliau menulis sebagai berikut:
Siapa saja yang meragukan kekafiran orang-orang kafir berarti ia telah meragukan ayat-ayat Al-Qur’an, sedangkan orang yang meragukan kebenaran Al-Qur’an dihukumi kafir.
Di dalam kitabullah Al-Qur’anul Karim terdapat beberapa ayat yang jelas-jelas menolak pemahaman apalagi keyakinan bahwa “semua agama sama” atau “semua agama baik”, apalagi “semua agama adalah benar”. Di antaranya sebagai berikut:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلامُ
Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. (QS. Ali Imran [3] : 19)
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ali Imran [3] : 85)
رُبَمَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ كَانُوا مُسْلِمِينَ
Orang-orang yang kafir itu sering kali (nanti di akhirat) menginginkan, kiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang-orang muslim. (QS. Al-Hijr [15] : 2)
Tiga ayat di atas secara tegas menjelaskan bahwa di mata Allah سبحانه و تعالى tidaklah benar bahwa “semua agama sama” atau “semua agama baik”, apalagi “semua agama adalah benar”. Hanya ada satu saja dien (agama/jalan hidup) yang Allah سبحانه و تعالى ridhai, yaitu ajaran Al-Islam. Allah سبحانه و تعالى tidak meridhai berbagai agama selain Al-Islam. Bahkan Allah سبحانه و تعالى telah memberi gambaran kelak di akhirat nanti dimana kaum kafir bakal menyesal dan menginginkan kalau seandainya mereka sewaktu di dunia termasuk ke dalam golongan kaum muslimin alias penganut ajaran Al-Islam. Tetapi tentunya keinginan tersebut telah terlambat. Sebuah penyesalan yang tiada berguna saat itu. Maka, janganlah hendaknya seorang yang mengaku beriman berfikir bahwa dirinya lebih berpengetahuan daripada Pencipta dirinya, Allah سبحانه و تعالى . Jika Allah سبحانه و تعالى sudah dengan tegas mendekritkan bahwa hanya Islamlah din yang diridhai di sisiNya, maka jangan lagi seorang muslim memiliki pendangan selain mengikuti apa yang Allah سبحانه و تعالى telah tegaskan itu. Bahkan dalam ayat lainnya Allah سبحانه و تعالى menggunakan istilah dinul-haq (agama yang benar) untuk menyebut agamaNya Islam ini.
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al Qur'an) dan dinul-haq (agama yang benar/Al-Islam) untuk dimenangkan-Nya atas segala agama lainnya, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai. (QS. At-Taubah [9] : 33)
Maka sudah sepatutnya seorang muslim bersyukur bahwa dirinya telah diberikan Allah سبحانه و تعالى hidayah kepada iman dan Islam. Dan untuk itu seorang muslim tidak dibenarkan untuk memberikan “cek kosong” setelah memperoleh nikmat iman dan Islam. Ia dituntut terus-menerus di dunia untuk membuktikan kejujuran pengakuannya sebagai seorang yang beriman. Oleh karenanya seorang yang mengaku beriman bakal dihadapkan oleh aneka fitnah (ujian) untuk mendeteksi kejujurannya.
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَ وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (QS. Al-Ankabut [29] : 2-3)
Di antara ujian tersebut adalah apa yang sedang dialami kaum muslimin di era modern penuh fitnah dewasa ini. Ia diuji dengan berbagai faham sesat yang sengaja dilansir oleh musuh-musuh Islam yang sedang memimpin dunia secara hegemonik. Salah satunya ialah faham Pluralisme yang sangat berbahaya ini. Barangsiapa yang begitu saja mengekor kepada the Western Civilization alias the Judeo-Christian Civilization (Peradaban yahudi-Nasrani), berarti ia telah merelakan dirinya masuk bersama mereka ke dalam lubang biawak di dunia dan jurang neraka di akhirat kelak nanti. Wa na’udzubillaahi min dzaalika.
اللهم إنا نعوذبك مِنْ جَهْدِ الْبَلَاءِ وَدَرَكِ الشَّقَاءِ وَسُوءِ الْقَضَاءِ وَشَمَاتَةِ الْأَعْدَاءِ
“Ya Allah, kami berlindung kepada Engkau dari cobaan yang memayahkan, kesengsaraan yang menderitakan, takdir yang buruk dan cacian musuh.”

bukan di lumat tapi digigit

berapa banyak asap rokok yg telah masuk ke dalam paru-parumu? tidak kah kau sadar, asap itu membuat mulutku dan hidungku sulit utk bernapas.

berapa banyak lintingan rokok yg tercipta di pabrik? tidak kah kau sadar, satu lintingan itu cukup membuat kertas utk belajar justru di bakar di atas mulutmu yg bau itu.

berapa banyak kau korbankan uangmu utk membeli bungkus rokok itu? tidak kah kau sadar, justru dgn uang itu bisa membuat anak-anakmu minum susu sebulan penuh.

berapa banyak kau lumat di bibirmu? tidak kah kau sadar, dgn rakusnya kamu itu bisa membuat filter rokoknya kamu gigit habis!

PROF. Azyumardi: Pendidikan Islam di IAIN adalah “Islam Liberal”

Azyumardi Azra [foto: republika]
“Sebagai lembaga akademik, kendati IAIN terbatas memberikan pendidikan Islam kepada mahasiswanya, tetapi Islamyang diajarkan adalah Islam yang liberal. IAIN tidak mengajarkan fanatisme mazhab atau tokoh Islam, melainkan mengkaji semua mazhab dan tokoh Islam tersebut dengan kerangka, perspektif dan metodologi modern. Untuk menunjang itu, mahasiswa IAIN pun diajak mengkaji agama-agama lain selain Islam secara fair, terbuka, dan tanpa prasangka. Ilmu perbandingan agama menjadi mata kuliah pokok mahasiswa IAIN.”

“Jika di pesantren mereka memahami dikotomi ilmu: Ilmu Islam (naqliyah dan ilmu keagamaan) dan ilmu umum (sekuler dan duniawiah), maka di IAIN merekadisadarkan bahwa hal itu tidak ada. Di IAIN mereka bisa memahami bahwa belajar sosiologi, antropologi, sejarah, psikologi, sama pentingnya dengan belajar ilmu Tafsir al-Quran. Bahkan ilmu itu bisa berguna untuk memperkaya pemahaman mereka tentang tafsir. Tetapi, IAIN tidak mengajarkan apa yang sering disebut dengan “islamisasi ilmu pengetahuan” sebab semua ilmu yang ada di dunia ini itu sama status dan arti pentingnya bagi kehidupan manusia.”
Itulah pernyataan Prof. Dr. Azyumardi Azra saat menjabat sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat. Pernyataan itu dimuat dalam buku IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia (2002, hal. 117), yang diterbitkan atas kerjasama Canadian International Development Agency (CIDA) dan Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Islam (Ditbinperta) Departemen Agama.
Pengakuan Profesor Azyumardi Azra tentang corak liberal dan liberalisasi pendidikan Islam di IAIN itu tentu saja menarik untuk kita simak, sebab disampaikan bukan dengan nada penyesalan, tetapi justru dengan nada kebanggaan. IAIN merasa bangga, sebab sudah berhasil mengubah banyakn mahasiswanya yang kebanyakan berbasis pesantren/madrasah menjadi mahasiswa atau sarjana-sarjana liberal.
Ditulis dalam buku ini:
”Model studi Islam tersebut membuka wawasan mahasiswa IAIN yang pada umumnya berbasis pesantren dan madrasah. Memang, pada tahun-tahun pertama studi di IAIN, sebagian mahasiswa yang telah terdidik dengan budaya pengkajian Islam pesantren mengalami goncangan. Tetapi setelah itu umumnya bisa memahami arti penting model studi Islam di IAIN. Selain itu dalam pengamatan Azyumardi, liberalisasi studi Islam di IAIN juga telah mengubah caara pandang mahasiswa umumnya terhadap ilmu.” (hal. 117).
Saya tidak ingin berkomentar terlalu jauh terhadap pernyataan Prof. Azyumardi atau fakta-fakta liberalisasi IAIN yang dipaparkan oleh para aktor utamanya di perguruan tinggi Islam. Pada catatan-catatan sebelumnya, kita sudah sering membahas masalah ini. Karena masalah ini teramat sangat penting bagi masa depan pendidikan Islam dan bahkan masa depan umat Islam di Indonesia, ada baiknya kita simak kembali sejumlah pemaparan tentang proses liberalisasi IAIN, sebagaimana diuraikan dalam buku tersebut.
Proses liberalisasi itu dimulai dari pulangnya para kafilah yang menimba ilmu di Institute of Islamic Studies of McGill University. Mereka mendapat didikan dari profesor-profesor Islamic Studies kenamaan semisal Charles J. Adam, pakar dalam sejarah Islam; Wilfred Cantwell Smith, pakar sejarah peradaban Islam dan perbandingan agama; N. Barkes, ahli Turki dan sekularisasi di dunia Muslim, Herman Landolt, pakar filsafat, sufism, dan Syiah; Wael Hallaq, pakar hukum Islam, dan sebagainya. ”Para alumni McGill ini, dengan latar belakang dan keahlian yang berbeda, pada gilirannya memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam pengembangan wacana akademik kajian keislaman dan dunia birokrasi di tanah air.” (hal. vii-viii).
Dijelaskan juga dalam buku ini, bahwa IAIN kini sudah berubah, dari lembaga dakwah menjadi lembaga akademis.
“IAIN mulanya dimaknai sebagai lembaga dakwah Islam yang bertanggung jawab terhadap syiar agama di masyarakat. Sehingga orientasi kepentingannya lebih difokuskan pada pertimbangan-pertimbangan dakwah. Tentu saja orientasi ini tidaklah keliru. Hanya saja, menjadikan IAIN sebagai lembaga dakwah pada dasarnya telah mengurangi peran yang semestinya lebih ditonjolkan, yaitu sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam.
Karena IAIN sebagai lembaga akademis, maka tuntutan dan tanggung jawab yang dipikul oleh IAIN adalah tanggung jawab akademis ilmiah.” (hal. x).
Perubahan status IAIN dari lembaga dakwah menjadi lembaga akademis, memang dilandasi dengan perubahan metodologi studi Islam, dari metode para ulama menjadi metode para orientalis, seperti diungkapkan oleh buku ini:
“Salah satu yang menonjol adalah tradisi keilmuan yang dibawa pulang oleh kafilah IAIN (dan STAIN) dari studi mereka di McGill University secara khusus dan universitas-universitas lain di Barat secara umum. Berbeda dengan tradisi keilmuan yang dikembangkan oleh jaringan ulama yang mempunyai kecenderungan untuk mengikuti dan menyebarkan pemikiran ulama gurunya, tradisi keilmuan Barat, kalau boleh dikatakan begitu, lebih membawa pulang metodologi maupun pendekatan dari sebuah pemikiran tertentu. Sehingga mereka justru bisa lebih kritis sekalipun terhadap pikiran profesor-profesor mereka sendiri. Disamping aspek metodologis itu, pendekatan sosial empiris dalam studi agama juga dikembangkan.” (hal. xi).
*****
Dalam beberapa hari ini, saya mendapatkan beberapa buku menarik tentang “Islam Liberal”. Buku pertama berjudul Islam Liberal 101 (2010), karya Akmal Sjafril, sarjana Teknik Sipil ITB yang juga alumnus Program Kaderisasi Ulama DDII-Baznas di Magister Pendidikan Islam—Universitas Ibn Khaldun Bogor. Buku ini berhasil mengkritisi berbagai pemikiran liberal dengan membalikkan dan mengkritisi logika-logika kaum liberal yang seringkali rancu dan paradoks.
Satu buku lagi yang saya dapatkan berjudul "Argumen Islam untuk Pluralisme" (2010), karya Budhy Munawar Rachman, Program Officer and Development, The Asia Foundation. Sebenarnya saya sudah agak malas membaca sejumlah karya yang mendukung Pluralisme Agama, karena banyak yang tidak jelas dan tegas dalam merumuskan definisi “Pluralisme” itu sendiri, sehingga bisa diambil satu acuan penilaian. Yang sering terjadi ada manipulasi data, khususnya saat mengutip pendapat ulama atau tokoh Islam tertentu untuk mendukung paham Pluralisme. Sejumlah logika teologis dan hukum Islam yang digunakan juga asal-asalan, dan jauh dari semangat akademis.
Sebagai contoh, di halaman 182 tertulis: “Karena itu pandangan yang memasukkan non-Muslim sebagai musyrik – seperti sering dilakukan oleh kalangan Islam Radikal – harus ditolak.”
Bukankah pernyataan itu sangat keliru? Begitu banyak ayat dalam al-Quran yang mengecam keras kaum musyrik, karena menyekutukan Allah dengan makhluk-Nya. Orang non-Muslim yang melakukan tindakan semacam itu jelas-jelas tergolong musyrik. Orang non-Muslim yang menyembah batu, setan, atau makhluk apa pun; atau yang mengangkat derajat makhluk ke derajat al-Khaliq, jelas-jelas telah melakukan tindakan syirik. Orang yang mengaku Muslim saja bisa terjatuh dalam dosa syirik, apalagi orang non-Muslim. Ini bukan soal pernyataan Radikal atau moderat, karena begitu jelasnya ajaran Islam tentang hal ini.
Di halaman yang sama, penulis --dengan logika asal-asalan-- melakukan penghalalan terhadap hukum pernikahan antara Muslimah dengan laki-laki non-Muslim. Dikatakannya:
“Soal perkawinan laki-laki non-Muslim dengan perempuan Muslim merupakan wilayah ijtihadi dan terikat dengan konteks tertentu, di antaranya konteks dakwah Islam pada saat itu, yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga perkawinan antaragama merupakan sesuatu yang terlarang.” Bagaimana cara mengukur bahwa jumlah umat Islam sudah “banyak” atau “sedikit”?
Dibandingkan dengan kaum non-Muslim seluruh dunia, umat Islam masih sedikit. Kita maklum, yang mereka inginkan adalah kebebasan perkawinan lintas agama. Soal dalil atau logika, bisa dicari-cari!
Yang saya sayangkan berulang kali adalah kutipan yang salah – sengaja atau tidak -- terhadap tulisan ulama Islam, hanya untuk mendukung paham Pluralisme. Di buku ini dikutip pendapat Buya Hamka:
“Buya Hamka, seorang ulama besar dan berpengaruh, yang pandangan-pandangannya sangat progresif-liberal, dalam buku tafsirnya, al-Azhar, mengatakan bahwa ayat tersebut (QS 2:62. Pen.), adalah satu tuntunan bagi menegakkan jiwa, untuk orang yang percaya kepada Allah, baik dia bernama Mukmin atau Muslim, Yahudi, Kristen, dan Shabiin yang beriman kepada Allah, hari akhir dan diikuti amal yang shaleh, mereka akan mendapat ganjaran di sisi Tuhan. Tiga nilai universal tersebut adalah syarat yang mutlak. Namun, menurut Buya, meskipun seorang manusia telah mengaku beriman kepada Allah, mengaku beriman kepada Nabi Muhammad saw, kalau iman itu tidak dibuktikannya dengan amal saleh, tidaklah akan diberi ganjaran oleh Tuhan.” (hal. 122-123).
Soal pendapat Hamka tentang QS 2:62 sudah pernah kita bahas di CAP ke-172. Pendapat Hamka tentang keselamatan kaum non-Muslim dalam pandangan Islam sebenarnya juga tidak berbeda dengan para mufassir terkemuka yang lain.
Termasuk ketika menafsirkan QS 2:62 dan 5:69. Karena itu, Hamka memandang, ayat itu tidak bertentangan dengan QS 3:85 yang menyatakan: "Dan barangsiapa yang mencari selain dari Islam menjadi agama, sekali-kali tidaklah tidaklah akan diterima daripadanya. Dan di Hari Akhirat akan termasuk orang-orang yang rugi." Jadi, QS 3:85 tidak menasakh QS 2:62 dan 5:69 karena memang maknanya sejalan.
Menurut Hamka hakikat Islam ialah percaya kepada Allah dan Hari Akhirat. Percaya kepada Allah, artinya percaya kepada segala firmanNya, segala Rasul-Nya dengan tidak terkecuali. Termasuk percaya kepada Nabi Muhammad s.a.w. dan hendaklah iman itu diikuti oleh amal yang shalih."
Jadi, Hamka tetap menekankan siapa pun, pemeluk agama apa pun, akan bisa mendapatkan pahala dan keselamatan, dengan syarat dia beriman kepada segala firman Allah, termasuk al-Quran, dan beriman kepada semua nabi dan rasul-Nya, termasuk Nabi Muhammad saw. Jika seseorang beriman kepada al-Quran dan Nabi Muhammad saw, maka itu sama artinya dia telah memeluk agama Islam. Dengan kata lain, dalam pandangan Hamka, siapa pun yang tidak beriman kepada Allah, al-Quran, dan Nabi Muhammad saw, meskipun dia mengaku secara formal beragama Islam, tetap tidak akan mendapatkan keselamatan. Itulah makna QS 3:85 yang sejalan dengan makna QS 2:62 dan 5:69.
Soal keimanan kepada Nabi Muhammad saw dan al-Quran itulah yang sejak awal ditolak keras oleh kaum Yahudi dan Nasrani. Orang Yahudi menolak mengimani Nabi Isa dan Nabi Muhammad saw. Dan kaum Nasrani menolak untuk beriman kepada Nabi Muhammad saw. Sedangkan kaum Muslim mengimani Nabi Musa, Nabi Isa, dan juga Nabi Muhammad saw, sebagai penutup para Nabi.
Kaum Pluralis – seperti penulis buku ini – kemudian berusaha mengecilkan arti penting keimanan kepada kenabian Muhammad saw, sebagai dasar keselamatan. Di sini ditulis:
“Keselamatan dicapai dengan iman yang benar yang menguasai jiwa dan amal yang memperbaiki manusia. Tidak ada masalah sama sekali jika mereka orang-orang Yahudi, Kristen, dan Shabi’in, yang tidak beriman kepada Nabi saw. Keselamatan tidaklah mensyaratkan iman kepada Nabi Muhammad.” (hal. 130).
Dengan membaca buku ini, kita tidak perlu terlalu cerdas untuk memahami kesalahan paham Pluralisme Agama. Justru buku ini memaparkan dengan sangat gamblang betapa bathilnya paham ini. Jika orang tidak beriman kepada Nabi Muhammad saw, dia pasti tidak beriman kepada al-Quran. Lalu, bagaimana dia bisa mengenal Allah? Bagaimaan dia bisa menyembah Allah dengan benar? Bagaimana dia bisa beramal shalih? Amal shalih menurut siapa?
Lalu, untuk apa dia bersyahadat: saya bersaksi bahwa “Tiada Tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah.”? [Depok, 14 Januari 2011/hidayatullah.com] *

kritik BEDAH LIRIK : “Surga Dibawah Telapak Kaki Anjing”

sebelumnya, mohon maaf bila kritik ini terlalu vulgar dan tidak enak di lihat, khususnya buat Funeral Inception & kawan2 yg memiliki judul-judul religius tetapi ga enak di lihat ... (ah tau sendiri lah!!)

الجنة تحت أقدام الأمهات ، من شئن أدخلن ، و من شئن أخرجن

Surga berada di bawah telapak kaum ibu. Barangsiapa dikehendakinya maka dimasukannya, dan barangsiapa dikehendaki maka dikeluarkan darinya

kritik: walaupun hadits di atas adalah hadits lemah, tapi bukan berarti membuat generalisir bahwa surga ada di bawah telapak kaki anjing.

konotasi anjing saja udah jelek dan buruk lantas mau di sandingkan dgn surga yg sifatnya mulia dan manusia sekotor PSK saja menginginkannya. lantas mengapa harus di sandingkan dgn anjing atau bahkan mungkin babi?

makna hadits 'surga di bawah telapak kaki ibu' yg bisa saya ambil adalah, kita diharuskan berbakti (itu udah pasti) terkait berbakti tentunya disini berbhakti dalam hal kebaikan yg di ridhoi oleh Allah pencipta manusia dan alam sekaliannya.

kalau akhirnya sampai merubah letak surga yg makna di atas yg telah saya maksud adalah "berbhakti", maka akan kita sebagai manusia di haruskan berbhakti kepada anjing? sedangkan anjing adalah binatang yg di dalam alquran telah diharamkan daging (bahkan liurnya).

bukankah Allah memerintahkan kita mendorong / mengajurkan manusia ke dalam kebaikan (semampunya) agar mendapatkan pahala amal jariyah yg tidak terputus alirannya sampai alam barzakh? lantas, bagaimana jika menyuruh manusia berbhakti kepada anjing (surga di bawah telapak kaki anjing) yg justru tidak sejalan dgn tabiat manusia yg masih punya otak utk berfikir, akal utk mencerna baik dan buruk utk berbhakti dan menyerahkan diri kepada anjing?? hahaha yg bener ajah...

teruntuk kawan2 yg gemar menggunakan dalil2 dan hadits2 (walaupun hadits itu lemah sekalipun), tidak elok / tidak pantas rasanya menggubah / merubah / menyelewengkan makna yg sudah harfiah berpahala kepada Allah menjadi kata-kata menjijikkan dan kotor lainnya. []

focus

kata teman saya "kamu harus fokus!" dalam merenung dalam hati saya, fokus bukankah harus juga di dasari dgn keinginan kuat yg membaja? tidak hanya mudah menggelontorkan kata-kata fokus di lidah saja.

pulang dari kantor pun, kadang saya di buat termenung, utk apa kehidupan manusia jika di dalam dirinya tidak memiliki sifat fokus yg membaja, kadang pekerjaan yg satu belum selesai dikerjakan justru mengerjakan pekerjaan lainnya. apakah ini yg dinamakan fokus.

di balik dapur, istri saya sedang memasak penganan utk si mata wayang anak-anak kami. hal lainnya, bangun di pagi hari, aktivitas rutin yg menjemukan kadang kala membuat kegiatan serasa tidak bergairah yg akhirnya timbul kebosanan di dalam dada.

fokus kata teman saya, bukankah kita saat ini sedang fokus dgn apa yg kita kerjakan. fokus makan, fokus tidur, fokus mengerjakan hal-hal kebiasaan normal utk menunjang peri kehidupan kita di dunia; tidur, bangun, mandi, gosok gigi, sarapan, bekerja (bagi yg sudah memiliki pekerjaan), sekolah (bagi yg masih bersekolah) lantas pulang dari pekerjaan dan sekolahan, mandi lagi, makan lagi, dan akhirnya tidur lagi???

itukah fokus yg dimaksud oleh teman saya? ternyata bukan! fokus maksud teman saya itu adalah fokus terhadap impian. memang rutinitas yg kita kerjakan sering kali kita anggap sebagai fokus menurut persepsi kita. tetapi pihak lain melihatnya hal itu bukanlah fokus yg sesungguhnya.

bagaimana mungkin keadaan yg kita inginkan ini adalah kehendak yg kita inginkan jauh sebelum kita menginginkannya? tidak! takdir bukan kita yg punya (tapi Allah) tapi bukankah takdir itu pula yg membuat diri kita dapat merubah keadaan menjadi yg kita inginkan.

percaya terhadap takdir pun termasuk rukun iman yg harus di jalankan, tapi bukan karena takdir pula kita diharuskan bersantai-santai ria mengharap uang jatuh dari langit menimpa atap rumah kita. bukankah Nabi mengajurkan utk merubah keadaan yg kurang baik ke keadaan yg lebih baik dari sebelumnya?

fokus, mungkin kita harus fokus terhadap impian kita, bukan fokus yg menghadirkan rutintias serta aktivitas normatif dlm keseharian kita, akan tetapi fokus yg menyala-nyala, membawa semangat di dalam kehidupan kita agar lebih bergairah menyambut surga. tentunya menghindari dampak neraka dgn menjauhi segala laranganNya...

Hahaha... jangan terpengaruh tulisan di atas.

Kamis, 20 Januari 2011

Pluralisme: Kerancuan Istilah dan Pemahaman

Written by Anis Malik Thaha
Perdebatan dan kontroversi tentang masalah Pluralisme kembali menghangat di Indonesia. Meskipun masalah ini sudah banyak ditulis dan didiskusikan, pro-kontra itu terus saja berlangsung. Dalam mencermati hiruk-pikuk wacana "Pluralisme" pada umumnya, dan "Pluralisme Agama" khususnya, yang tengah marak di negeri kita pada dasawarsa pertama abad ke-21 ini; pun juga dalam berbagai kesempatan mengisi berbagai workshop, seminar dan konferensi, khusus mengenai isu dan wacana tersebut, saya merasa gamang, ada sesuatu yang sangat mengusik nalar kesadaran.

Bagaimana tidak? Wacana ini sudah sedemikian melebar dan meluas, serta merambah ke berbagai ranah, dan disahami oleh berbagai kalangan – mulai dari politisi, budayawan, agamawan sampai akademik, tapi topik utama yang diwacanakan ini nyaris tidak pernah benar-benar diupayakan pendefinisiannya secara teknis atau sesuai dengan yang dimaksudkan oleh para ahlinya. Padahal inilah langkah metodologis awal yang mesti dilakukan oleh siapa pun yang interest dan berkepentingan dengan isu ini. Lebih dari itu, sebetulnya masalah ini adalah masalah tuntutan logis belaka yang niscaya, yang jika diabaikan maka secara tak terhindarkan akan menciptakan tidak saja kerancuan atau kebingungan (confusion), tapi juga pada akhirnya mengaburkan dan bahkan menyesatkan (misleading).

Para ulama kita terdahulu dari berbagai bidang dan disiplin ilmu ternyata sangat peka dan menyadari betapa krusialnya problem definisi ini sebelum mereka mengupas bahasan-bahasan di bidang masing-masing secara detail. Para fuqaha', misalnya, begitu sistematis dalam mengupas masalah-masalah fiqh, dimulai dengan definisi-definisi yang gamblang secara lughawy maupun teknisnya: apa itu taharah, wudhu, tayammum, mandi, dsb. Tapi sayang sekali, dewasa ini model dan tradisi semacam ini tampak banyak ditinggalkan oleh kalangan kita, khususnya dalam hal berwacana Pluralisme Agama.

Entah karena sebab oversight atau apa, yang jelas pada hakekatnya tidak banyak di kalangan kita yang mencoba mengerti atau memahami, apalagi mempersoalkan problem definisi ini dengan betul dan bijak. Seakan-akan istilah Pluralisme Agama ini sudah cukup jelas dan, oleh karenanya, boleh taken for granted. Padahal, istilah "pluralisme" itu jelas-jelas istilah (baca: ideologi) pendatang yang merangsek ke alam sadar dan di-bawah-sadar kita bersama-sama dengan istilah-istilah dan ideologi-ideologi asing yang lain, seperti democracy, humanism, liberalism, dsb. yang tentu saja tidak bisa kita maknai seenak kita atau menurut "selera" dan asumsi kita.

Secara umum dapat dikatakan bahwa kebanyakan orang yang ditokohkan di kalangan kita beranggapan secara simplistis bahwa "pluralisme adalah toleransi" atau "pluralisme agama adalah toleransi agama". Fakta ini dapat dilihat daripada ingar-bingarnya reaksi dan respon yang cenderung "emosional" terhadap fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dikeluarkan pada tahun 2005 tentang hukum haramnya Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme (atau yang dikenal dengan SIPILIS), dan juga terhadap resolusi Muzakarah Ulama Se-Malaysia, 2006, di Negeri Perak, Malaysia, yang dibacakan oleh Mufti Perak, Datuk Dr. Harussani, yang menegaskan hukum yang sama dengan fatwa MUI. Yang menyedihkan, anggapan atau asumsi simplistik ini tidak hanya terbatas pada kalangan "awam" (yang memang tak terdidik secara akademis dalam bidang ini), tapi hatta kalangan para tokoh atau yang ditokohkan yang memang spesialisasi akademiknya di bidang ini pun tampak begitu over-confident dengan pemahamannya yang simplistik.

Salah satu contoh yang paling konkrit adalah sebuah Disertasi Doktor  di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, yang kemudian diterbitkan pada awal tahun 2009 yang lalu dengan judul Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur'an. Dalam buku ini tak nampak ada upaya yang serius dari pengarangnya untuk mendiskusikan definisi teori atau faham Pluralisme Agama yang menjadi topik utama bahasannya, malah terjebak pada pengertian yang keliru di atas tadi. Pembaca yang cermat tidak perlu bersusah-payah melongok kedalamnya, dari judul saja sudah cukup untuk mengetahui apa gerangan yang dimaksudkan oleh pengarangnya tentang faham Pluralisme Agama ini, yang tiada lain adalah "toleransi agama".

Tapi meskipun demikian, anehnya buku ini mendapat sambutan yang luar biasa oleh media massa kita, dan juga sanjungan dan pujian yang sangat berlebihan dari sederet nama orang-orang yang ditokohkan di masyakarat Indonesia dengan latar-belakang yang beragam yang jumlahnya lebih dari selusin. Hal ini semakin membuktikan betapa kacaunya dunia pemikiran dan akademik di kalangan kita.

Anggapan bahwa "pluralisme agama adalah toleransi agama" adalah anggapan subyektif yang jelas-jelas ditolak oleh para pakar dan penganjur pluralisme sendiri. Diana L. Eck, direktur The Pluralism Project di Universitas Harvard, Amerika Serikat, misalnya, dalam penjelasan resminya yang berjudul "What is Pluralism?" dan diulangi dalam "From Diversity to Pluralism" (masing-masing bisa diakses dan dibaca pada http://pluralism.org/pluralism/what_is_pluralism.php, dan http://pluralism.org/pluralism/essays/from_diversity_to_pluralism.php), menyuguhkan empat karakteristik utama untuk mendefinisikan faham ini secara detail. Dia menyatakan salah satunya bahwa "pluralism is not just tolerance," yang bermakna "pluralisme bukanlah sekedar toleransi." Pernyataan yang lebih kurang sama juga dia sampaikan dalam keynote addressnya yang berjudul "A New Religious America: Managing Religious Diversity in a Democracy: Challenges and Prospects for the 21st Century" pada MAAS International Conference on Religious Pluralism in Democratic Societies, di Kuala Lumpur, Malaysia, Agustus 20-21, 2002. Lebih lanjut ia berkata dalam keynote addressnya ini:

I would propose that pluralism goes beyond mere tolerance to the active attempt to understand the other... Although tolerance is no doubt a step forward from intolerance, it does not require new neighbors to know anything about one another. Tolerance comes from a position of strength. I can tolerate many minorities if I am in power, but if I myself am a member of a small minority, what does tolerance mean? ... a truly pluralist society will need to move beyond tolerance toward constructive understanding... Tolerance can create a climate of restraint, but not a climate of understanding. Tolerance is far too fragile a foundation for a religiously complex society, and in the world in which we live today, our ignorance of one another will be increasingly costly. (penegasan dari penulis)

(Saya usulkan bahwa pluralisme itu lebih dari sekadar toleransi menjadi upaya aktif memahami (orang/kelompok)yang lain… Meski tak diragukan lagi toleransi itu selangkah lebih maju daripada intoleransi, ia tidak menuntut orang-orang yang bertetangga baru untuk tahu sedikit pun antara satu dengan lainnya. Toleransi muncul dari pihak yang kuat posisinya. Saya dapat toleran dengan banyak kelompok minoritas jika saya kuat (berkuasa), tapi jika saya sendiri dari kelompok minoritas, apa artinya toleransi? … suatu masyarakat yang betul-betul pluralis perlu melampaui toleransi menuju pemahaman yang konstruktif… Toleransi dapat menciptakan iklim pengekangan-diri, tapi bukan iklim (saling) memahami. Toleransi adalah pondasi yang sangat rapuh dan rentan bagi sebuah masyarakat yang beragam agama, dan di dunia dimana kita hidup sekarang ini, ketidak-tahuan kita antara satu dengan lainnya ongkosnya (yang harus dibayar) akan semakin mahal).

Jadi sangat jelas sekali apa yang dimaksudkan dengan pluralisme oleh kaum pluralis sejati. Mereka tidak mengingkari pentingnya toleransi, "There is no question that tolerance is important," kata Eck dalam makalahnya yang lain ("From Diversity to Pluralism"), tapi segera setelah itu ia tambahkan: "but tolerance by itself may be a deceptive virtue" (tetapi toleransi itu sendiri boleh jadi menjadi suatu budi-pekerti/kebaikan yang menipu). Pandangan miring terhadap toleransi ini sebetulnya sudah mulai dilantunkan kalangan pemikir pluralis semenjak tahun 60-an pada abad ke-20 yang lalu.

Sebut saja, misalnya, Albert Dondeyne yang dalam bukunya, Faith and the World, yang terbit di Dublin oleh Gill and Son pada tahun 1963, menulis pada halaman 231: "Let us note that was what then called tolerance would be considered today as the expression of systematic intolerance. In other words, tolerance was then almost synonymous with moderate intolerance." (Mari kita catat bahwa apa yang dahulu dinamakan toleransi, kini telah dianggap sebagai sebuah ekspresi ketidaktoleranan yang sistematis. Dalam istilah lain, toleransi dengan begitu hampir sinonim dengan intoleransi yang moderat).

Bahkan sebelumnya Arnold Toynbee, seorang sejarawan Inggris terkemuka, dalam bukunya, An Historian's Approach to Religion, yang terbit di London oleh Oxford University Press, tahun 1956, sudah mewanti-wanti bahwa "toleransi tidak akan memiliki arti yang positif," bahkan "tidak sempurna dan hakiki, kecuali apabila manifestasinya berubah menjadi kecintaan." (hal. 251)

Yang perlu digaris-bawahi di sini adalah bahwa bagi kalangan pluralis sejati, Pluralisme pada umumnya dan Pluralisme Agama pada khususnya bukanlah toleransi sebagaimana yang jamak di(salah)fahami oleh kalangan pluralis. Penekanan Pluralisme lebih pada "kesamaan" atau "kesetaraan" (equality) dalam segala hal, termasuk "beragama".  Setiap pemeluk agama harus memandang sama pada semua agama dan pemeluknya.  Pandangan ini pada akhirnya akan menggerus konsep keyakinan "iman-kufur", "tauhid-syirik", dalam konsepsi Islam. 

Al-Quran jelas  menyebut orang mukmin sebagai "khairul bariyyah" (sebaik-baik makhluk), sedangkan orang kafir disebut "syarrul bariyyah" (seburuk-buruk makhluk).  Bahkan, al-Quran juga tidak menyetarakan antara orang shaleh dengan orang jahat (fasik).  Orang yang paling mulia disisi Allah adalah orang yang taqwa. Maka, Islam punya konsep kesetaraan sendiri yang jelas berbeda dengan konsep kesetaraan kaum Pluralis Agama.

Karena itu, memang umat Islam harus sangat berhati-hati dalam mengadopsi satu istilah atau paham yang jika tidak berhati-hati akan dapat merusak keimanannya sendiri. Islam – sejak awal kelahirannya – sudah memiliki konsep yang jelas bagaimana memandang agama lain dan bagaimana berhubungan dengan pemeluk agama lain. Seharusnya konsep inilah yang digali dan dikembangkan, bukan justru mengadopsi konsep yang lahir dari masyarakat yang selama ratusan tahun tidak mengakui bahkan menindas keberagaman (pluralitas). (***)

Sabtu, 08 Januari 2011

BEDAH LIRIK : “Surga Dibawah Telapak Kaki Anjing”

BEDAH LIRIK

 

"Surga Dibawah Telapak Kaki Anjing"

 

 

Melihat banyaknya respons dari berbagai pihak, dan sepertinya ada celah untuk terperosok lebih dalam ke arah pemahaman yang buta akan lirik dari lagu ini, saya sebagai penulis lirik lagu tersebut, tergerak untuk menceritakan apa sebenarnya maksud dari lirik lagu tersebut, dan ini adalah pertama kalinya dalam hidup saya, saya harus menjelaskan lirik dari lagu yang saya buat. Disini saya akan mengangkat beberapa kutipan pembahasan tentang hadits yang saya temukan, dan sedikit artikel dari kawan saya Riki. Hmmmmmmm…… Lets get it started.

 

Ada yang mengangkat lirik ini menjadi bahasan di salah satu milis, yang pada intinya mereka yang berdebat dalam milis ini setuju dengan inti lirik ini, tapi ada yang sedikit gusar karena dihubungkan dengan hadis nabi yang berbunyi "'al-jannatu tahta a'damil

umahat" artinya surga dibawah telapak kaki ibu. Berikut kutipan yang saya dapat dari internet :

------------------------------------------------ mulai

 

الجنة تحت أقدام الأمهات ، من شئن أدخلن ، و من شئن أخرجن

Surga berada di bawah telapak kaum ibu. Barangsiapa dikehendakinya maka dimasukannya, dan barangsiapa dikehendaki maka dikeluarkan darinya

 

Hadits ini hadits maudhu' (palsu). Telah diriwayarkan oleh Ibnu Adi (I/325) dan juga oleh al-Uqaili dalam adh-Dhu'afa dengan sanad dari Musa bin Muhammad bin Atha', dari Abul Malih, dari Maimun, dari Abdullah Ibnu Abbas radhiallahu'anhu.. Kemudian al-Uqaili mengatakan bahwa hadits ini munkar. Bagian pertama dari riwayat tersebut mempunyai sanad lain, namun mayoritas rijal sanadnya majhul.

 

Dalam masalah ini, saya kira cukupi dengan riwayat yang di keluarkan oleh Imam Nasa'i dan Thabrani dengan sanad hasan, yaitu kisah seseorang yang datang menghadap Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam seraya meminta izin untuk ikut andil berjihad bersama beliau shalallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau bertanya, Adakah engkau masih mempunyai ibu? Orang itu menjawab, Ya, masih. Beliaupun kemudian bersabda,

 

فالزمها فإن الجنة تحت رجليها

Bersungguh-sungguhlah dalam berbakti kepada ibumu, karena sesungguhnya surga itu berada di bawah kedua kakinya (*)

---------------------------------------------------- selesai

 

Kutipan diatas, untuk memperjelas bersama, mana hadits yang sekiranya akan menjadi substansi pertanyaan saudara-saudara, jika pembahasan lirik ini diarahkan ke pelecehan sabda Nabi dsb. Hell fucking No. Read On …..

 

Kawan saya, Riki Paramitha, yang seorang karyawan di perusahaan ternama, memberikan satu kesempatan kepada lagu ini untuk diserap dan dicerna oleh orang yang kebetulan bukan metalheads, here it si :

 

 

---------------------------------------- mulai

 

Sebuah track metal "Surga di bawah Telapak kaki Anjing." Sebuah track yang belakangan jadi populer dan kontroversial karena pake acara di-banned segala. Saya sempat meminta pendapat 2 orang rekan saya (yang juga konsultan SAP, satu di Malaysia; satu di Singapore) untuk menilai track ini (kebetulan dua2nya ngerti Bahasa, dan dua2nya ngga ngerti metal. Jadi fair yah… :-P).

 

Pendapat dari konsultan SG :

"Ini adalah track yang dilatarbelakangi oleh kebencian yang sangat eksplisit. Kebencian tersebut begitu dalam, sehingga mengabaikan banyak hal di seputaran norma (norm) yang ada, terutama dalam bertutur. Terkesan hanya mencari aspek sensasi saja dengan brutalism yang ditampilkan; dan di lain pihak mencerminkan bahwa penulis dari track ini adalah seorang yang sangat radikal akan tetapi jauh dari kesan cerdas."

 

Pendapat dari konsultan MY :

"Penulis berusaha menampilkan fenomena sosial yang cukup sensitif; yaitu penggunaan nama agama (in the name of religion, in the name of God) untuk pembenaran beberapa tindakan yang justru berada di luar norma agama itu sendiri. Dan dalam hal ini secara praktek justru yang terjadi adalah pemerkosaan terhadap agama itu sendiri dan pemutarbalikan definisi antara 'mulia' dan 'hina.' Kalau semua sudah diputarbalikkan, maka surga tentunya berada di bawah telapak kaki anjing, bukankah begitu? Ini adalah sebuah kritik dengan cara yang satir, seperti yang biasa ditampilkan di teater2 kontemporer. Penulis track ini pastilah orang yang luar biasa cerdas dan brilian. Apakah dia seorang budayawan (man of culture) di Indonesia?"

 

Hah? Ternyata untuk hal yang relatif terukur seperti ini bisa menghasilkan 2 pendapat yang secara kontras berbeda. Padahal topiknya cukup sempit; hanya mengenai sebuah lirik; dan belum membahas masalah musikalitas. Tapi sudah menghasilkan 2 pendapat yang contrary different.

Apalagi kalau kita mau membahas mengenai hal2 yang bersifat infinity dan sangat tidak terukur seperti God, satan, heaven, & hell. (karena beyond rationality, dan tidak dapat dipecahkan dengan logika matematika atau logika empiris yang biasa dipakai di science). Dan tools serta basic logic yang dipakai oleh manusia pada umumnya belum dapat mencapai kesimpulan yang commonly agreed untuk hal ini. Jadi sangat tergantung dari persepsi, paradigm, sudut pandang/ perspektif.

Tony Sotello dkk di "…And Time Begins" mengkedepankan prinsip Fisika dan Generatio Spontanea untuk proses penciptaaan. Well, barangkali begitulah kesimpulan yang dihasilkan menurut pencarian Tony Sotello dkk. Respect for that.

 

Glen Benton & Dave Suzuki lebih sangar lagi. Dengan deskripsi pembantaian terhadap seseorang yang sedang beribadah, Glen bertanya "Where is Your God, Now?" Ada benarnya juga; intervensi Tuhan (Divine Intervention) terhadap kegiatan sehari2 memang susah didefinisikan.

 

Lord Ahriman dkk malah menampilkan keberpihakan atau sympathy for the devil lewat "Diabolis Interium." Kurang lebih sama dengan material yng ditampilkan Shagrath & friends di "The Serpentine Offerings." Dimana hal ini ada benarnya, kalau kita menilik sejarah masuknya ajaran Trinitas di jazirah Viking.

 

Nergal & his Polish terror squad malah konsisten di jalur ancient god/ paganism; dan malah punya agenda yang mirip eksperimen (research) untuk mencari pembenaran terhadap hal yang sedang dipelajarinya atau obsessed with. Well, barangkali begitulah 'konsep Tuhan' menurut Mr Nergal, kalau dilihat dari latar belakang ybs dan pergaulannya dengan orang2 seperti Krzysztoft Azarewicz.

 

Jadi semuanya dikembalikan ke persepsi masing2. Karena sesungguhnya kita semua dalam proses pencarian kok. Dan yang harus dihindari adalah kalau kita mulai merasa yang paling benar dan merasa lebih mulia karena pemahaman kita yang (menurut kita) lebih, terhadap Tuhan dan hal2 yang related dengan-Nya. Ini malah menyesatkan. Secara etika adalah salah, dan secara norma agama justru lebih salah lagi.

Agama dan praktek agama serta pengakuan terhadap eksistensi Tuhan adalah sebuah proses; dan bukanlah sebuah output. Output-nya mana dunk? Output-nya adalah tercermin dari tindakan kita sehari2. Kalau istighfar segudang, Shalat rajin, atau rajin kuliah minggu, tapi masih nyolong & banyak berbuat curang; yah artinya Surga berada di bawah telapak kaki anjing. Bukankah begitu?

 

----------------------------------------------- selesai

 

 

Tanpa banyak bicara lagi, sudah mulai terbukakah kawan-kawan, yang mungkin pernah terbersit, bahwa saya menghina sabda Rasulullah SAW ? Hell fucking no. Sama sekali tidak.

 

Sekali lagi, semua lirik yang saya ciptakan, adalah refleksi kritis saya atas apa yang terjadi di sekitar saya. Tentunya, bukan saya saja yang muak akan fenomena tolol ini, dimana orang berkoar-koar bertindak atas nama tuhan, tapi tingkah lakunya tidak mencerminkan orang yang mengedepankan ketuhanannya, yang mana semua agama tidak pernah memerintahkan tindakan kekerasan, penghancuran, pemaksaan apalagi membunuh dalam nama tuhan. Saat ini, jika kita terjun bebas ke dalam ranah bawah tanah musik Indonesia, baik itu Metal, Hardcore dan Punk sekaligus, kita akan melihat, mendengar protes mereka yang mungkin senada. Mungkin hanya momentum yang belum memungkinkan suara mereka untuk terdengar. Jadi, jangan kaget ketika gelombang protes dan penolakan atas kekerasan yang dilakukan atas nama agama yang diusung oleh berbagai ormas itu meledak melalui suara-suara parau mereka bersamaan dengan musik bising yang mereka usung. Kami sadar, bahwa kami adalah sekelompok kecil musisi, minoritas yang mungkin tidak layak untuk dipandang sebelah mata. But this is reality. Terlepas dari benar atau salah kami bertindak, adalah manusiawi kami mencari titik tolak perlawanan dalam bentuk apapun, walau sekecil apapun. And this is what we can do for our society. Hopefully we can do something bigger and bigger next time ….

 

Hormat untuk semua kalangan, yang telah memberikan perhatian terhadap lirik lagu ini, baik yang pro dan kontra. Junjung tinggi etika berdebat tanpa otot ….

Perbedaan bukanlah alasan untuk bermusuhan dan menghancurkan.

 

 

Regards,

 

Doni

Funeral Inception

_______________________________________________________________________

 

SURGA DIBAWAH TELAPAK KAKI ANJING

 

Apa yang terbersit di otakmu – perlakukan tuhan seperti babu

Perintah sana dan perintah sini, menghela seperti kerbau

Mendikte dia dan mengarahkan seperti busur panah

Hormat dan pujimu yang kau tuangkan dalam doa yang mengiris

Ibadah yang tanpa cela Ibadah yang searah

Menuding moral penyebab kerusakan

Menghempaskan logika memuliakan nafsu belaka

Melangkah gagah dengan keserakahan …

 

Umbar nafsu gila tololmu – bercak dalam janji

Hancurkan tatanan, mengurai kuasamu

Kendalikan arah kemana angin akan berhembus

Sirnalah dosa sirnalah nista

 

Ledakan jiwa – yang bergolak disana

Mengiris harapan – menjadikan polusi

Cerai kan berai nurani – melumatkan visi

Tiada tersisa –terasa membakar !!

 

Surga yang kau cipta kini terbentang lega

Hati nurani yang terjagal hati nurani menggelepar

Infiltrasi kesesalan yang tersisa didalam hatimu

Gumam doa bersenandung bersama nista………………….

 

Berperanglah kepada sesamamu dan basmilah mereka

Dan Kepada siapakah tuhan kalian kan meratap

Persetan dengan keyakinan dan tuhanmu yang kau kebiri

 

Lead

 

Tonggak kebebalan religi

Kekalahan hati dan nurani

Takkan ada lagi naluri

Semua telah tewas kau basmi

 

Tak terkira perih yang akan kau tuai

Seakan tak akan pernah ada balasnya

Buat udara ini terasa sesak

Hanya benci yang terserak dan menggelegak…..

 

SURGA DIBAWAH TELAPAK KAKI ANJING …. 4 X

 

ANJING …. !!!!

[http://www.facebook.com/profile.php?id=100001700698819&sk=info#!/note.php?note_id=80414422082&id=1347021461]

Sabtu, 01 Januari 2011

al mukarram kh. said agil siradj

"Sedikit-sedikit teriak Allahu Akbar, Negara Islam. Ini surga, ini neraka. Kalau tidak Negara Islam, maka akan celaka. Pemahaman seperti ini didapat karena belajar Islam terlalu singkat," papar Kang Said (al Mukarram KH. Said Agil Siradj) [http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=26730]

heran, mungkin kalau gituh, yg belajar Islam sepanjang hayat hidupnya cukup mengucapkan "Allahu Akbar, Negara Islam. Ini surga, ini neraka" hanya di dalam hati. maka tidak akan celaka???

konklusinya mungkin beliau akan mengatakan, cukuplah Demokrasi, Pancasila, IMF, PBB, Liberalisme, Pluralisme, Toleransi (tahlilan dan yasinan di gereja), dan tidak perlu Allahu AKbar, NEgara Islam, Hukum Islam, Ekonomi Islam, Syariat Islam itu diperlukan... (beginikah figur sentral NU???)