saya hanyalah manusia biasa, yg banyak dipenuhi oleh salah dan khilaf, oleh karena itu jikalau ada postingan saya yg kurang berkenan di hati saudara pembaca sekalian, mohon dimaafkan lahir bathin, karena kebenaran hanya berasal dari Allah, dan kesalahana sepenuhnya ada diri saya...

Kamis, 21 April 2011

Pengamat Teroris Mau Menyalahkan Allah?

Belum lagi ketemu siapa otak di belakang M.Syarif, opini media sudah menuduh mujahidin. Dikit-dikit mujahidin. Dikit-dikit karena pemahaman thoghut kafir jihadi yang dipelajari dalam kajian-kajian Islam.
Hati-hati, kata-kata thoghut, kafir, jihad itu bukan datang dari Syarif tapi dari Allah. Pengamat teroris mau menyalahkan Allah? Terlepas dari kita mengutuk aksi M Syarif meledakkan dirinya ketika umat Islam yang lain tengah mendirikan ibadah. Terlepas kita juga tak sependapat ada seorang muslim yang kelewat batas menafsirkan makna jihad ilallah.

Namun belum jelas apa motif dan siapa, pengamat teroris dan intelijen yang sengaja (di)hadir(kan) di media, sudah menyimpulkan: “Ini kan karena Syariat Islam, Khilafah, Negara kita bukan Islam. Ideologi transnasional”. Pengamat teroris mau menyalahkan Allah?

Hati-hati kalimat menegakkan Syariat Islam bukan datang dari Syarif, bukan pula datang dari gerakan Islam tapi datang dari Allah yang juga diamini Rasulullah. Hati-hati kewajiban meninggalakan sistem kufur bukan pula datang dari anak Cirebon itu, tapi perintah Al Maidah. Pengamat teroris mau menyalahkan Allah?
Hati-hati kewajiban mendirikan khilafah itu adalah bagian dari perjuangan umat bukan syair lapuk yang didengung-dengungkan penyembah demokrasi. Sebelum Syarif lahir, Rasulullah sudah menjelaskan akan kewajiban menegakkan konsep persatuan Islam itu bagi tiap umat muslim.

Bahkan hal itu dijamin hadis bahwa kelak akan berdiri Khilafah Rosyidah ala Minhajin Nubuwah setelah fase mulkan jabariyan dimana Imam Mahdi akan membawa umat Islam ke dalam kejayaan Islam tanpa sekat nasionalisme. Pengamat teroris mau menuduh Imam Mahdi teroris?

Rasulullah SAW bersabda, “Akan ada masa kenabian pada kalian selama yang Allah kehendaki Allah mengangkat atau menghilangkan kalau Allah menghendaki. Lalu akan ada masa khilafah di atas manhaj nubuwwah selama Allah kehendaki kemudian Allah mengangkat jika Allah menghendaki. Lalu ada masa kerajaan yg sangat kuat selama yang Allah kehendaki kemudian Allah mengangkat bila Allah menghendaki. Lalu akan ada masa kerajaan selama yang Allah kehendaki kemudian Allah mengangkat bila Allah menghendaki. Lalu akan ada lagi masa kekhilafahan di atas manhaj nubuwwah.“ Kemudian beliau diam.”

Penulis hanya mau mengatakan: analisismu harimaumu, bahkan virusmu. Ketidaksetujuan pengamat teroris terhadap aksi Syarif jangan pula membuat analisis menjadi liar. Menabrak sana-sini tanpa kunci, seakan-akan Al Qur’an adalah biangnya. Seakan-akan Rasulullah salah menjelaskan perintah. Harus dipisahkan ajaran Islam dengan perilaku Syarif. Kalau begini berarti siapa teroris sesungguhnya?

Bahkan kalau kita perhatikan, apa betul Syarif adalah aktor tunggal di belakang ini semua? Karena jika memang Syarif menderita kelainan, bagaimana mungkin ia memiliki tingkat pemahaman tinggi terhadap teknologi?

Semilitan-miltannya mujahidin, juga tidak mungkin akan membom masjid. Hatta Ustadz Aman-semoga Allah merahmati beliau- yang berada dibalik jeruji atas tuduhan tindak terorisasi pun, sudah berujar bahwa tak boleh melakukan pengeboman di Masjid Dhiror karena masalah Masjid Dhiror dan ketidakbolehan sholat di masjid itu sangat Khofiy (samar) atas mayoritas muslim bahkan banyak muwahidin.

Sebagai orang yang berkecimpung dalam dunia psikologi, penulis faham betul bahwa orang seperti Syarif akan sangat mudah tersulut keinginannya jika diprovokasi. Bisa jadi ada memang orang yang membenci Islam dalam memanfaatkan Syarif. Akan menjadi tidak masuk akal jika Syarif mutlak memiliki cara pandang itu tanpa ada orang yang secara intens memepetnya untuk melakukan aksi (baca: bom bunuh diri).

Dan sikap Syarif yang terlihat tempramen saat menggebuk mobil dan menendang polisi, sudah dipantau sejak lama oleh orang yang membenci Islam. Syarif juga menjadi terduga dalam kasus pembunuhan seorang kopka Soetejo (Babinsa Kodim Sumber 0620-Cirebon) beberapa waktu silam.

Tampaknya orang yang menunggangi Syarif sudah sangat belajar pada titik apa kepribadian Syarif akan meledak. Kisahnya yang jengkel atas sikap pemerintah yang diam, bergeming, dan mudah didikte untuk tidak membubarkan Ahmadiyah akan menjadi catatan tersendiri oleh kelompok yang mau membonceng Syarif sekaligus menyudutkan agama suci ini.

Disinilah, pintarnya pengamat terorisme yang tampaknya “sengaja” menutupi alasan ini. Penulis menjadi tidak yakin kalau pengamat teroris abai menyadari motif ini. Karena secara ilmu mereka faham bahwa model seperti ini adalah bagian yang dipelajari dalam intelijensi.

Grand Design?
Nah akhirnya yang terjadi apa? Penyudutan terhadap Islam dan umat Islam menjadi deras tak tertahankan. Baru saja bom terjadi, gambar Syarif sudah muncul. Belum pula dijelaskan siapa Syarif, alamat sang istri sudah berhasil ditemukan. Dan dengan kenakalannya, wartawan pun intens menyorot rumah Syarif yang penuh tempelan akan kalimat-kalimat tauhid.

Motif-motif ini juga sering terjadi pada kasus-kasus sebelumnya. Media juga menggiring bahwa seakan-akan keluarga Syarif sendiri adalah orang yang jarang bergaul , tertup, dan ekslusif.

Apa betul seperti itu? Kenapa kita amat mudahnya percaya kepada media di tengah kasus yang masih samar seperti ini. Sekali lagi penulis hanya mau mengatakan: ingat kasus ini masih samar. Kenapa kita tiba-tiba menjadi pelupa bahwa motto media selama ini adalah badnews is goodnews?

Sebagai lulusan komunikasi, penulis sedikit banyak mengenal bagaimana tak-tik para jurnaslis untuk memegang kendali berita. Menjadi sangat mungkin apabila wartawan akan bertanya langsung menembak masyarakat: “ibu-ibu, bapak-bapak, apa betul keluarga Syarif jarang bergaul?” Mengingat kasus-kasus teorisme sepertinya memiliki alur yang sama: tertutup, memakai simbol-simbol Islam, dan sekaligus mencurigakan.

Dan secara psikologis, anda bisa bayangkan bagaimana perasaan masyarakat yang baru saja dikagetkan kasus pemboman yang melibatkan tetangganya langsung “diteror” oleh pertanyaan seperti itu.

Dampaknya
Apalah daya. Opini kadung berkembang. Bupati Majalengka sudah berujar awasi orang yang pergi malam pulang pagi. Kita bahkan lebih buruk dari masa lalu dimana penegak syariat bisa dicap bangsat. Bisa jadi Panglima Diponegoro dan Imam Bonjol sedang memangisa saat ini, jubah yang dulu sering mereka pakai, kini malah dianggap salah satu indikasi terorisme.

Entah mengapa, sekalipun tidak ada mujahidin yang menyetujui aksi syarif, namun para pengamat teroris dan pihak BNPT sudah memastikan ada kelompok Islam di balik Syarif? Kata kelompok disini adalah tanda kutip bagi kita semua. Kelompok yang mana?

Kelompok yang berjuang ikhlas agar bangsa ini diberikan berkah oleh Allah dengan penegakan Syariat Islam? Padahal dalam catatan Densus saja, Syarif adalah nama baru. Ia tidak terlibat dalam gerakan dan aksi apapun sebelumnya. Jadi tidak ada hubungannya mengait-ngaitkan dengan gerakan Islam.

Penulis hanya khawatir penafsiran yang cenderung menjadi liar oleh para pemerhati terorisme, justru akan merusak citra Islam itu sendiri. Islam sebagai agama yang sudah melatakkan proporsi tersendiri tentang jihad semestinya dijelaskan oleh Ulama yang mumpuni dalam keilmuannya. Bukan oleh para pengamat teroris yang tidak jelas mainstream berfikirnya. Apalagi yang mengaku-aku mantan mujahid, berjenggot, alumni Afghan, namun diam-diam justru sudah tergadai idealismenya. Menjual “gelar” demi urusan dunia, yang bisa jadi bukan saja menyalahkan aksi terorisme, tapi juga ikut menyalahkan Allah.

“Dan apabila kami melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata, kamu mendengarkan perkataan meteka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap teriakan-teriakan keras yang ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh yang sebenarnya, maka waspadalah terhadap mereka, semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka bisa dipalingkan dari kebenaran?” (Al Munafiqun ayat 4).
Allahua'lam. (Pz) (www.eramuslim.com)

Minggu, 17 April 2011

Tanggapan "?" karya Hanung Bramantyo








"Setelah saya melihat trailer film ini yang lebih dulu disebarkan di YouTube, hingga menonton langsung filmnya malam ini, jelas sekali, film ini sangat merusak, berlebihan, dan melampaui batas.

Hanung ingin menggambarkan kerukunan, tapi justru memberi stereotype yang buruk tentang Islam."

Sabtu, 16 April 2011

Yahudi di Sekeliling Adolf Hitler

Sejarah resmi Perang Dunia II menyebutkan jika Adolf Hitler dengan Nazi-nya merupakan musuh nomor wahid kaum Yahudi Eropa. Versi ini sampai sekarang masih saja diyakini banyak kalangan. Padahal, fakta yang sesungguhnya menyatakan jika Adolf Hitler sendiri dan banyak elit Nazi dan juga pasukan komando Nazi, Waffen-SS, ternyata juga berdarah Yahudi. Siapa saja mereka? Inilah sedikit di antaranya:


Heinrich Himmler
Jenderal utama pemimpin pasukan elit Waffen-SS ini memiliki seorang nenek Yahudi yang bekerja sebagai pedagang buah di Italia. Atas dukungan Hitler, Himmler menugaskan Heydrich untuk mengganti identitas keyahudian neneknya ini. Himmler juga diketahui membentuk satuan-satuan Waffen-SS yang terdiri dari tentara-tentara Nazi berdarah Yahudi yang lebih kejam di dalam peperangan.


Joseph Göbbels
Orator ulung dan Menteri Propaganda Nazi yang terkenal dengan konsep perang urat syaraf dalam Perang Dunia II ini terlahir dari keluarga Yahudi Spanyol. Selama bersekolah, Joseph dijuluki ‘Rabi”. Di dalam karya-karyanya, Gobbels dengan terus terang menyatakan hanya menghormati pendapat-pendapat para profesor Yahudi. Hingga perang berakhir, Gobbels tinggal di rumah ibu mertuanya, Friedlander, yang berdarah Yahudi. Sejarawan David Irving memiliki silsilah keyahudian Gobbels.



Hermann Göring
Jika Himmler komandan pasukan elit Waffen-SS, maka Goring adalah komandan Lutwaffe, angkatan udara Nazi. Ibu kandung dan isteri Goring sepenuhnya berdarah Yahudi.


Adolf Eichmann
Lahir di Haifa, Palestina, dari kedua orangtua yang sepenuhnya Yahudi. Oleh orangtuanya, Eichmann melakukan imigrasi ke Austria dan tinggal di Linz. Eichmann bisa berbahasa Ibrani, Jerman, dan Yiddish (campuran Ibrani-Jerman). Atas upaya Heydrich, dibuat surat sertifikat kelahiran palsu atas nama Adolf Eichmann dengan kota kelahiran di Solingen. Adolf Eichmann ini ditugasi Hitler untuk mengorganisir pemindahan orang-orang Yahudi dari Jerman dan Eropa ke Tanah Palestina.


Alfred Rosenberg
Rosenberg berdarah Yahudi Swedia. Orang ini merupakan ideolog dan tokoh filsafat Partai Nazi. Rosenberg diketahui mengembangkan ideolog dan filosofi Partai Nazi berdasarkan Talmud dan ajaran paganisme Nordik.

Joachim Von Ribbentrop
Tokoh Nazi yang dipercaya Hitler menjabat Menteri Luar Negeri Nazi ini juga berdarah Yahudi. Bahkan Von Ribbentrop ini merupakan sahabat karib dari Chaim Weizmann, Presiden Zionis Israel pertama.

Hans Frank 
Ayah dari Hans Frank adalah pengacara berdarah Yahudi di Galicia, Polandia, yang secara resmi mengaku memeluk agama Katholik. Hans Frank yang merupakan pengacara pribadi Hitler, diangkat menjadi Menteri Kehakiman Nazi di Bavaria. Setelah Polandia diduduki Jerman, Hans Frank diangkat menjadi Gubernur Jenderal.

Robert Ley
Menurut penelusuran intensif dari Gerald Kessler[1], nenek moyang dari pimpinan Deutsche Arbeiter Front (Front Pekerja Jerman, semacam serikat buruh) ini semula bernama “Levi”. Ini merupakan nama salah satu suku Israel.

Reinhard Heydrich
Kedua orangtua Heydrich adalah Yahudi. Ayahnya, Heydrich Bruno, adalah seorang pemusik. Atas perintah Hitler, Heydrich banyak membantu memalsukan sertifikat-sertifikat kelahiran sejumlah elit Nazi yang berdarah Yahudi, agar keyahudian mereka bisa ditutupi.

Rudolf Hess
Dilahirkan dari seorang ibu berdarah Yahudi Inggris, Hess ditunjuk sebagai Deputi Kanselir Hitler. Hess yang dikalangan Homoseksual Munich dikenal dengan sebutan ‘Fraulein Anna’ (Nona Anna) ini juga pernah bertugas sebagai asisten Profesor Karl Ernst Haushofer, guru geopolitik Hitler yang juga Yahudi tulen.

Wilhelm Canaris
Laksamana Canaris dipercaya Hitler memegang jabatan strategis sebagai Kepala Intelijen Abwehr. Keturunan Yahudi Yunani inilah yang mengusulkan agar orang-orang Yahudi Jerman diberi identitas bintang david kuning di pakaiannya.

Selain nama-nama di atas, masih banyak elit Nazi yang berdarah Yahudi. Di antaranya adalah: pakar fisika Philip von Lenard, Theodor Lewald (mantan Sekretaris Negara Nazi), Erhard Milch (Direktur Lufthansa dan kepercayaan Hermann Goring), Ernst Heinrich Henkel (pemilik pabrik pesawat terbang Henkel), Eva Braun (isteri Hitler), Heinrich Hoffman (Fotografer pribadi Hitler), Theodor Morrel (dokter pribadi Hitler), dan lain-lain. Ini adalah sebagian kecil dari elit Nazi yang berdarah Yahudi. [rizki]
Sumber:
  1. Konrad Heiden: Adolf Hitler: 1936.
  2. Nikolai Otrovsky: The Temple of the Beast: 2001.
  3. Wili Frischauer: Himmler, Evil Genius of the Third Reich: 1953.
  4. Servando Gonzales:The Swastika and The Nazis: 1997.
  5. Hennecke Kardel: Hitler, Begrunder Israel: 1974.
  6. Charles Wrighton: The Story of Reinhard Heydrich: 1961.
  7. Dietrich Bronder: Bevor Hitler Kam: 1964.
  8. David Korn: Wer ist wer Judentum: 1999.
[1] Gerald Kessler: Die Familiennamen der Juden in Deutschland: Leipzig, 1935.

[www.eramuslim.com]

------------------------------------------------------

tambahan : baik sistem sekularisme bin kapitalisme yg melahirkan demokrasi sebagai cucunya (hahaha...) tidak lepas dari pengaruh yahudi, begitu pula komunisme yg diagung-agungkan adolf hitler pun tidak lepas dari pengaruh yahudi.

dunia sepertinya tidak bisa dilepaskan dari pengaruh yahudi, terlebih bila tidak ada rivalitasnya seperti sistem islam yg di daulat secara sempurna (kaffah), memang sebagai pesaing tangguh yg tidak bisa ditemui yahudi (freemason) dimana pun mereka temui di dunia ini.

untuk itu, bumi ini bisa dibelah --yg walaupun yahudi dibalik kapitalisme maupun komunisme-- akan tetapi sistem zionisme sebagai penggeraknya lah yg membuat yahudi tetap eksis hingga saat ini sebagai perwujudan ambisinya dalam membentuk israel raya, menantikan si mata satu dajjal laknatullah'alaih.

semoga kita di jaga oleh Allah melalui "tangan-tangan"Nya. Aamiin

Catatan untuk Hanung: Film "?", Gambaran Toleransi yang Ngawur

altMustofa B. Nahrawardaya
Koordinator Indonesian Crime Analyst Forum (ICAF)
Pengurus Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah
E-mail: icafpusat@yahoo.com This e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it


APA manfaat sebuah film bagi kita, apabila habis menonton film tersebut kemudian membuat kita benci pada produser dan sutradaranya?

Paling tidak itulah yang bisa saya rasakan  di film terbaru Hanung Bramantyo yang berjudul "?".

Sebagai catatan, secara jujur saya katakan bahwa, saya sama sekali tidak mengenal Eric Tohir sang Produser Eksekutif film ini. Namun saya mengenal Hanung Bramantyo, meski saya sendiri  tidak yakin bahwa ide film ini murni dari Hanung sendiri.

Hanung yang saya kenal, tidak akan mau membuat film murahan seperti itu. Saya menduga ada tukang sokong-- yang justru membuat Hanung terlihat kehilangan idealismenya sebagai sineas muda berbakat. Film-film semacam itu saya pikir hanya patut dibuat oleh sutradara-sutradara berdarah Yahudi kolot  atau sutradara yang memiliki dendam kesumat pada sejarah kelam masa lalunya.

Semula saya sangat menyukai film-film Hanung yang selain memang memiliki kualitas pesan yang cukup bernilai, juga memiliki daya kemas yang sangat unik dan artistik. Paling tidak, film "Sang Pencerah" yang dibikin Hanung, hampir saja membuat saya percaya bahwa suami Zaskia A. Mecca itu kelak akan menjadi insan film muslim pertama yang mengedepankan pembelajaran etika, moral, agama, dan sosialisme dalam karya-karyanya. Paduan empat pilar itu, yang membuat Hanung akan menjadi sutradara besar terhormat. Maka dari itu, ketika mendengar Hanung selesai produksi film "?", saya sudah telanjur angkat jempol sebelum menontonnya. Bahkan saya sudah kabarkan kepada banyak kawan soal kemungkinan manfaat besar dan perlunya menonton film "?" karya Hanung.

Kabar berantai itu sudah saya berikan paling tidak pada sebagian yang ada di daftar BB Contact yang ada di Blacberry saya, serta hampir 5000 phone contact di dua nomor GSM yang saya pakai. Memang jauh hari sebelum film dibuat, Hanung pernah menceritakan garis besar isi, alur, dan bagian-bagian unik dari film itu kepada saya. Namun usai menonton film ini, saya jadi sedih, benci dan hilang semua kebanggaan saya pada sang sutradara.  Juga muncul perasaan bersalah karena saya terlalu mengagung-agungkan Hanung. Dalam lubuk hati saya, sempat timbul rasa penasaran cukup besar, usai menonton film ini: siapa gerangan orang yang telah membuat Hanung tega menggadaikan idealismenya untuk sebuah film?

Untuk mengupas bagaimana betapa buruknya nilai film ini, saya pikir tidak usah menggunakan dasar-dasar fiqih dan aqidah. Itu mungkin urusan para ulama-ulama untuk membahas detailnya. Apalagi soal pluralisme. Kalaupun Hanung dititipi misi kampanye pluralisme, tidaklah mungkin kampanye pluralisme dilakukan secara terbuka. Hanung pasti akan membantahnya--atau paling tidak berusaha menutupinya.

Soal Terorisme

Hanung tampak sekali gagal membaca kegundahan mayoritas pemeluk agama di Indonesia, dimana umat Islam sesungguhnya menjadi korban terorisme. Kacamata Hanung dalam memandang konflik teroris, tampaknya sangat dangkal dan menjijikkan--mungkin kurang bahan bacaan atau hanya mengamini bisikan pihak tak bertanggungjawab. Terlihat di awal film, Hanung sengaja membuka adegan ngawur dengan olok-olokan antara warga etnis China dengan Jamaah Masjid. Mana mungkin etnis China dengan teriakan sedemikian keras di depan ratusan warga, menuduh Jamaah Masjid sebagai teroris! Kalau film ini hanya ditonton oleh Hanung dan kru nya saja, saya kira tidak ada masalah. Namun ketika film ini ditonton oleh segala umur, segala agama, segala etnis, bukankah ini Hanung bisa dituduh sebagai penyebar kebencian melalui produk seni?

Yang sangat menyakitkan, olok-olok "Dasar Chino" yang diumpatkan Jamaah Masjid melalui logat Semarang yang kental kepada warga China di film itu juga sangat dipaksakan, karena olok-olokan semacam itu hanya pantas dilakukan oleh para tukang mabuk dan  kumpulan orang yang mungkin sudah sangat akrab, bukan dalam kondisi serius seperti dalam film "?". Kata-kata umpatan 'Asu (baca: Anjing)' pada beberapa kali adegan,  tampak ngawur dan dilakukan secara sarkastis. Kalaupun itu pernah terjadi di sebuah sudut kecil di Semarang, tak elok rasanya diangkat ke layar lebar karena tidak sebanding dengan manfaatnya. Kalau boleh saya sebut, untuk membuat film seburuk ini, tak perlu menggunakan sutradara besar lulusan IKJ. Sampai di sini, Hanung saya kira sudah tidak sepantasnya melanjutkan film ini. Sayangnya, adegan-adegan tolol, terus diblow-up  Hanung, dimana  umpatan-umpatan-umpatan itu justru digambarkan berasal dari mulut jamaah yang sedang menuju masjid lengkap dengan baju muslimnya. Sungguh ini hinaan paling dramatis dari sebuah film yang diproduksi perusahaan dalam negeri sendiri. Saya sempat mencurigai, ada apa dengan apa dengan LSF (Lembaga Sensor Film) kok bisa meloloskan film sarkas dan rasialis seperti itu? Jangan-jangan Hanung menyuap LSF. Tapi itu dugaan yang belum tentu benar.

Kampanye Pro Babi

Bagi yang beragama Islam, memang harus menerima kenyataan tidak diperbolehkannya berdekatan dengan hewan yang bernama Babi. Apalagi memakan dagingnya. Dalam film ini Hanung mencoba menawarkan (baca: mengajari) secara buruk kepada penonton, bagaimana agar babi menjadi sahabat seorang muslim. Hanung berkali-kali mengkampanyekan bahwa babi rasanya gurih tanpa banyak bumbu  dalam film itu, namun yang namanya babi tetap saja haram. Meskipun dalam film itu dikampanyekan betapa nikmatnya makanan daging babi dibanding ayam yang harus banyak ramuan bumbu untuk rasa nikmatnya, namun babi tetaplah makanan paling dibenci pemeluk Islam.

Untuk menghindari kecurigaan kampanye pro-babi Hanung, dia mengemasnya dengan cukup confidence. Caranya, dia gambarkan seorang muslimah cantik, taat, berjilbab, yang justru dengan ikhlasnya bekerja di restoran babi. Dia makan gaji dari restoran babi milik Tan Kat Sun. Untuk menggambarkan betapa ikhlasnya si muslimah, bahkan ia shalat pun rela dikelilingi onggokan daging babi yang menjijikkan! Tidak hanya itu, entah apa tujuan Hanung, si Menuk--nama karyawati cantik yang diperankan Revaline S. Temat, melakukan ibadah 5 waktu di samping ruangan  altar pemujaan agama Konghucu yang penuh dengan hio lengkap dengan asapnya. Kalau tidak salah, si Menuk malah shalat menghadap ke altar. Sungguh sebuah penggambaran yang hanya pantas dibuat oleh orang-orang berperadaban rendah.

Parahnya, pada sebagian adegan dan dialog, Hanung juga mencoba mempengaruhi penonton, bahwa perempuan muslim yang menolak bekerja di restoran babi, seolah-olah tidak memiliki toleransi. Waduh-waduh. Tampaknya ini sebuah kampanye pelunturan nilai ibadah yang sangat nyata. Hanung menggambarkan betapa tolerannya bos restoran, Tan Kat Sun, hingga memperkerjakan seorang muslimah berjilbab di restoran babinya. Seakan tidak ada karyawan lain yang sesuai dengan ciri restorannya.  Inikah yang sebenarnya diinginkan Hanung dengan filmnya?

Anti Kesucian Masjid

Berbeda dengan tempat ibadah lain, masjid memiliki ciri khusus. Meskipun sama-sama tempat suci, namun di dalam masjid, orang tidak boleh dalam keadaan kotor. Sandal pun harus dicopot. Bahkan di lingkungan masjid, harus dijaga etika. Kalau Hanung kemudian menggambarkan seorang muslim sedang belajar menjadi Yesus di masjid, wajar saja kalau saya mempertanyakan motivasi Hanung. Tidak usah saya mempertanyakan kadar keimanan Hanung karena hanya dia yang tahu.  Apalagi, Hanung mencoba memunculkan David Chalik sebagai ustadz yang membolehkan jamaahnya melakukan itu. Muncul sebuah pertanyaan: mengertikah anda, bahwa gambaran ini sungguh amat menyakitkan dan tidak layak difilmkan? 

Semestinya orang berpendidikan seperti Hanung mengerti bahwa adegan semacam itu, bisa dipahami sebagai pelecehan terhadap kesucian masjid. Tidak hanya pelecehan, Hanung telah 'merobohkan' masjidnya sendiri dengan cara menusuk pada jantung masjidnya.

Bukan Pluralisme?

Tentu Hanung akan mencari alasan agar gambaran umum film berujung pada tidak dituduhkannya sebagai produk pluralis.

Silahkan anda bilang bukan kampanye pluralisme, tetapi film ini bagi saya sama saja telah mencanangkan strategi budaya berperadaban rendah untuk mencari satu tuhan bagi semua agama. Tidak ada sisi dan ruang privasi sebuah agama, karena semua pemeluk bisa saling beribadah bersama dan bahkan tidak dilarang mengumpat dan menghina, asalkan memiliki status agama pada masing-masing manusia.

Visualisasi Jihad atau Bunuh Diri?

Hanung ingin mencari muka kepada warga NU dengan menampilkan peran Banser yang heroik. Namun apa yang saya lihat, Hanung justru memberikan gambar sadis ketika seorang anggota Banser melakukan bunuh diri sambil memeluk bom. Penempatan bom di gereja, mengesankan sebuah justifikasi bahwa ada pemeluk agama lain yang sengaja menaruh bom di jemaat gereja. Apakah Hanung ingin berkata bahwa orang Islam radikal yang memasang bom itu? Kalau iya, sungguh picik benar Hanung.

Reza Rahardian yang memerankan anggota Banser bernama Soleh, semula terlihat ingin 'berjihad' membuang bom setelah ia mengambilnya dari bawah kursi jemaat gereja. Namun, anehnya dia malah bunuh diri dengan meledakkan diri bersama bom itu, setelah mengucapkan kalimat tahlil. Secara visual, memang sangat buruk kualitasnya.

Tradisi Kekerasan Saat Lebaran

Hanung mengaku bahwa film diilhami (diinspirasi)  oleh kisah nyata. Sayangnya, dia membuat tradisi baru kekerasan. Tradisi yang saya maksud, bahwa film ini membuat cerita khayalan namun dimaksudkan untuk kejadian yang relistis.

Yang sering kita dengar dan kita lihat, adalah adanya kasus penutupan diskotik dengan kekerasan di bulan ramadhan, atau mungkin amukan warga yang gemas melihat warung sengaja buka warung makan secara mencolok pada siang hari di bulan Ramadhan.

Kini Hanung mencoba membuat tradisi baru dalam film ini, dimana warga dibuat marah dan melakukan kekerasan terhadap restoran babi milik Tan Kat Sun yang membuka restorannya pada hari kedua lebaran. Sepertinya kualitas daya khayal Hanung melebihi kenyataan yang ada. Hehehe (saya sengaja tertawa saat menulis ini). Mengapa saya tertawa? Karena saya meragukan pada sutradara, dapat darimana kisah seperti itu? Daripada film diembel-embeli 'Terinspirasi Kisah Nyata', mendingan ditulisi 'Menginspirasi Kisah Bohong'....

Ingin tahu bohong paling nyata?

Lihat, dalam film itu tak ada alur mundur. Artinya, film itu mungkin menggambarkan peristiwa yang terjadi beberapa bulan terakhir. Setidaknya setahun lalu. Namun, kostum beberapa adegan, mengesankan situasi tahun 1970-an. Bahkan, kasir restoran masih memakai pesawat telepon dengan tombol putar! Namun disisi lain, tokoh Hendra (anak pemilik restoran China Tan Kat Sun), sudah memegang handset Blackberry Onyx.#

Jakarta, 12 April 2011 

Jumat, 15 April 2011

?

Manusia tidak hidup sendirian di dunia ini
tapi di jalan setapaknya masing-masing
semua jalan setapak itu berbeda-beda
namun menuju ke arah yang sama
mencari satu hal yang sama
dengan satu tujuan yang sama
yaitu TUHAN
---------------------------------------------------------
TUHAN hanya satu
tidak ada tujuan selain diriNya
tidak ada pencarian selain diriNya
tidak arah selain arah yg menuju pd diriNya
perjalanan di dunia ini hanya ditujukan kepada diriNya
yg beriman telah jelas dan yg kafir telah jelas, kesamaan adalah nihil
manusia di bekali otak utk berfikir & akal utk membedakan benar dan salah
tidak ada kristen yg rela bersujud menyembah Allah swt di mesjid, tidak ada seorang hindu yg rela melepaskan ajaran kitab seribu dewanya hanya utk bersimpuh menyembah budha, begitu pula tidak ada muslim yg pergi ke gereja berlutut menengadahkan kepala memohon ampunan kepada patung yg di salib & mengakui trinitas tuhan bapa, tuhan anak dan tuhan jibril, segalanya telah jelas, tidak ada perbedaan yg harus disamakan! []

Islam Liberal Bisa Jadi Dasar Negara Indonesia Di Tahun 2014



"Sekiraya penduduk negeri ini beriman dan bertaqwa, pasti kami bukakan pada mereka keberkahan-keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami), maka Kami siksa mereka disebabkan apa yang mereka lakukan".(QS.7:96)
 
Satu-satunya Negara yang tidak jelas kelaminnya adalah Indonesia. Pertama ia tidak mau disebut negara sekular meskipun tidak menjalankan hukum Allah, tapi juga tidak mau disebut Negara agama meski agama kadang diboncengi untuk kepentingan politik.

Ahmadiyah yang digebuki orang tidak jelas, FPI yang disalahi. Rakyat yang minta membubarkan sekte sesat, tidak didengarkan. Tetapi, surat dari kongres dari Amerika untuk tidak membubarkan Ahmadi secepat kilat disambat. Kalau begini dasar Negara kita Islam Liberal saja. Lebih terang dan pas. Tidak ada lagi nanti kasus “kekerasan agama”. Tidak ada lagi fitnah bagi umat muslim hanya karena bunyi dar..der..dor (baca: bom buku). Bahkan KPK tidak perlu lagi bekerja menggasak koruptor, karena penjara sudah penuh oleh aktivis muslim yang berkata Syariat Islam adalah harga mati. Nah, lebih baik bukan?

Menteri Agamanya Ulil Abshar Abdalla. Adnan Buyung Nasution didaulat di pos Kehakiman. Hendardi cukup jadi Jaksa Agung. Menteri Pendidikannya Syafi’i Ma’arif. Ujian Nasionalnya kita ganti dari matematika menjadi Pluralisme Agama. Dari bahasa Indonesia menjadi berbeda-beda bahasa tapi menuju satu Tuhan yang sama. Anak remaja tidak perlu lagi khawatir atas omelan orangtua, karena standar moral itu relatif. Benar menurut agama, belum tentu benar menurut statuta Indonesia. Bahkan yang mengklaim diri paling benar dicap pendusta.

Pemerintah tidak usah susah-susah mendirikan Sekolah Tinggi Agama, karena yang penting bagi masyaralat adalah menjadi orang baik. Kita ganti plang IAIN yang sudah liberal menjadi STM: Sekolah Tinggi Humanisme. Nah kalau begitu, ongkos negara juga semakin berkurang. Karena intelejen tidak perlu mengawasi kemana para dai dan mubaligh pergi. Mereka sama-sama bisa duduk santai mengawasi dari balik kantor sambil minum kopi. Tinggal pencet remote dari layar kaca sudah bisa melihat da’i-da’i yang tidak lagi bicara ideologi.

Yang perempuan juga boleh merasa merdeka dari kewajiban menutup kepala. Julia Perez tidak perlu lagi membuat syariat baru lewat istiulah menjilbabkan hati. Ia hanya perlu sedikit capek untuk sowan ke kantor Nong Darol Mahmada dan membaca artikel Nong dengan syahdu: “Benarkah jilbab itu adalah syariat Islam?”
Atau kasus ketika Umar menjebloskan “istrinya” ke penjara karena berkelamin “dua”? Laki-laki penikmat sejenis seperti Ica, ketika Islam liberal menjadi dasar negara tidak usah turut ambil pusing. Homoseksual dan lesbianisme nanti sah-sah saja. Jargonnnya, sepeti kata “Ustadzah” Musdah Mulia: Allah tidak menilai seorang hamba dari orientasi seksualnya, tapi dari amalnya.

Para calon Nabi palsu? Akan diberikan kesempatan untuk lebar-lebar mengklaim dirinya sebagai juru selamat bangsa dan nabi penutup. Tak perlu sungkan apalagi tertutup. Seperti kata Ahmad Sahal, pentolan JIL, di Koran Tempo bahwa Rasulullah SAW tidak pernah menyuruh untuk membunuh nabi palsu, lagi pula Musailamah Al Kadzab itu diperangi karena memecah belah keutuhan umat, bukan perkara akidah. Jadi sombong betul MUI mengambil peran Tuhan.

Nah kalau sudah begini, Kebebasan menasbihkan diri menjadi Nabi palsu akan dijamin Undang-undang. Mereka akan disediakan lapak untuk bersabda bahwa dirinya bukan orang sembarangan. Sekalipun ada Nabi palsu yang diperangi, hhsshh…tenang saja, akan hadir berbagai fihak yang membela sampai mati. Ia akan muncul sebagai konsultan nabi-nabi palsu di kemudian hari dengan menyatakan Nabi Muhammad SAW juga diperangi saat berdakwah. Ya persis apa kata Luthfi Asysyaukanie pengasong liberal di Mahkamah Konstitusi (MK) dengan menyamakan kasus Lia Eden dengan baginda Nabi.

Para pelacur juga dari sekarang mesti bersiap-siap untuk terkaget-kaget. Niat mereka untuk taubat ternyata batal hanya karena perzinahan jadi fatwa halal. Seperti pertanyaan Sumanto Al Qurthuby, “Apa bedanya pelacur dengan dosen? Dosen mencari makan dengan menjual ilmunya, pelacur mencari makan dengan menjual tubuhnya.” Sebentar..sebentar.. sudah jelas kalau begini?

Beralasan
Berbagai pengasong ini sepertinya sudah menyiapkan Islam Liberal menjadi dasar Negara yang sah sesuai konstitusi. Amnesty Internasional bersama dengan beberapa lembaga swadaya masyarakat di Indonesia meminta pemerintah untuk segera mencabut Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor 3 Tahun 2008 dan Nomor 199 Tahun 2008, yang ditandatangani oleh Menteri Agama, Jaksa Agung dan Dalam Negeri, yang dinilai membatasi kegiatan-kegiatan Ahmadiyah dan menumbuh-kembangkan iklim yang mendukung kekerasan, ungkap mereka.

Ulil sudah necis sebagai ketua DPP Partai Demokrat. Ia merasa berhasil membuat pengaruh lewat daulat: “Bom buku yang ditujukan kepada saya pasti karena motif politik.” Rizal Malarangeng setali tiga uang. Senyum sumringahnya sudah ditebar dengan kuat. Aktifis Neolib dari Freedom Institute itu telah didaulat menjadi Ketua DPP Golkar dua tahun yang lewat.

Zuhairi Misrawi? Jangan tanya, dari dulu alumni Al Azhar tapi “kurang ajar” ini sudah dekat dengan Banteng Merah. Posisi Baitul Muslimin PDIP juga “diamanahkan” kepadanya. Ada lagi Burhanuddin Muhtadi, kalau ia tidak perlu masuk partai. Anak muda itu sudah pintar mengutak-atik politik di layar kaca. Partai Islam di pinggiran Jakarta saja ada yang makai jasa institusinya: Lembaga Survey Indonesia. Sebuah Lembaga Quick Count yang sengaja diciptakan untuk menyuburkan Demokrasi Liberal di Nusantara lewat sentuhan dingin William Liddle, seorang Yahudi Liberal di Ohio.

Nah jadi barisan kelompok JIL ini sepertinya tinggal menunggu waktu saja untuk semakin mendekat ke pusat kuasa untuk membuat Indonesia lebih hancur lagi dari sekarang ini. Inilah demokrasi sistem yang diagung-agungkan sebagian umat Islam itu.

Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah : Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya). Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.(QS. Al Baqarah 120) (pz) [eramuslim.com]

beriman dan bangkit!

mungkin harus menunggu imam mahdi turun ke bumi, baru manusia yg mengaku beriman ini bergerak utk menegakkan negara islam. kalau bukan karena sabda nabi yg memerintahkan menegakkan negara islam di haruskan menunggu imam mahdi, lalu utk apa yg mengaku beriman ini berdiam diri membiarkan kezhaliman penguasa terhadap rakyatnya terus terjadi?

mungkin harus menunggu amerika dan eropah sbg janggut bumi itu runtuh baru manusia yg mengaku beriman ini bergerak utk menegakkan negara islam. kalau bukan karena para peramal peradaban yg hidupnya di zaman masing-masing itu tidak menulis buku seperti das kapital, atau clash civilation yg memungkinkan orang dgn seenaknya menjebloskan ke penjara hanya karena miara jenggot atau punya celana cingkrang yg beristri cadar hitam tidak pernah ada di muka bumi, lalu utk apa para manusia yg gemar ke mesjid ini berdiam diri ketika ada saudaranya tengah di bantai di palestina, tengah di amuk proyektil biadab itu dgn seenaknya?

atau kemungkinan harus menunggu kabah di mekkah di hancurkan oleh israel dan amerika, baru orang-orang terbelalak matanya lantas merapalkan ucapan-ucapan istighfar dan allahu akbar sembari mendobrak meja karena geram kiblatnya tengah di rusak orang kafir. kalau bukan karena mereka ini lah sebenarnya kabah kehilangan makna, ka'bah kehilangan revitalitasnya ditengah-tengah umat islam. ibadah haji hanya di anggap ceremonial belaka bersilaturahmi dgn orang hitam dan orang putih, setelah itu masing-masing berombong-rombong mendatangi toko souvenir utk kenang-kenangan sanak keluarga di tanah air.

apakah umat islam baru bangkit jika kiblatnya di hancurkan? apakah umat islam baru bangkit jika negara adidaya amerika dan si kampret israel beserta presiden nya itu musnah dari muka bumi? apakah umat islam baru bangkit jika imam mahdi datang membawa persatuan dunia islam yg waktunya saja tidak ada orang mengetahuinya.

tidak! umat islam bisa bangkit jika membangun negaranya sendiri, bukan negara yg berkiblat di bawah ketiak amerika dan israel, bukan pula tunduk dan patuh ala komunisme edan bin keparat itu. kebangkitan umat islam bila pola fikiran mereka mencapai kesepakatan bahwa kehidupan ini hanyalah sementara. kehidupan ini hanya fatamorgana seperti orang yg tengah bermimpi di malam hari.

"Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri."(QS. Ar-Ra'du: 11)

yg diperlukan manusia yg beriman ini adalah usaha utk meraih ke sana (kebangkitan), meraih kebangkitan yg dijanjikan oleh Allah swt adalah garansi yg pasti jika manusia yg mengaku beriman ini mengusahakannya. kaidah kausalitas (sebab akibat) pun memerintahkan demikian, bahwa tidak ada hasil tanpa di dahului oleh usaha. jalan mencapai seribu mil di tempuh dengan satu mil pertama.

"Aku diperintahkan memerangi manusia sampai mereka mengucapkan 'Laa ilaaha illallah', maka siapa yang telah mengucap 'Laa ilaaha illallah' telah terpeliharalah dariku jiwa dan hartanya sesuai dengan kewajibannya dalam Islam, dan hisabnya terserah kepada Allah."(HR. Bukhori-Muslim). []

Sabtu, 02 April 2011

Karl Marx: Tokoh Yang Tidak Bisa Mengurus Diri Sendiri, Tapi Ingin Mengatur Masyarakat

Janggutnya tebal. Tubuhnya tambun. Ia berikrar agama adalah candu, bahkan benalu. Kendati demikian, ia dipuja sekaligus dibenci. Meski tuhan baginya hanya iming-iming bagi orang sulit. Iya, dia memang kesal terhadap Agama. Dengan mata kepala sendiri, ia menyaksikan kepengecutan ayahnya sebagai pendeta Yahudi yang menarik kata-kata dalam khotbahnya di bidang reformasi politik hanya karena takut dikucilkan sebagai bangsa Yahudi.

Adalah Karl Marx, pengusung sejati komunis itu yang sudah bak dewa bagi anak-anak kiri. Nama Karl Marx memang tidak asing di telinga kita. Ia banyak disorot pasca pemikiran-pemikirannya di bidang sosiologi, ekonomi, dan politik menjadi diktat wajib untuk dipelajari di kampus-kampus. Bukunya seperti Das Kapital dan Manifesto Komunis laris manis di pasaran dan coba diterapkan di masyarakat.

Akan tetapi, dibalik pemujaan bahkan kultus bagi generasi muda dunia terhadap diri seorang tokoh atheis tersebut, ada sekelumit catatan hitam dari pengalaman pribadi Marx yang jarang diketahui banyak orang. Kita hanya ingin bertanya: Betulkah Marx bisa mengurus masyarakat sedangkan ia tidak bisa menyelesaikan problem justru di kelompok terkecil dalam masyarakat: Keluarga!

Dalam lembaran catatan kelam tersebut, terkisah bagaimana gambaran hidup Marx selama ini. Pasca ayahnya meninggal, Karl Marx hidup dengan gelimang hutang disana-sini. Dalam kondisi tak berdaya, ia tidak bisa berbuat banyak. Tumpukan hutang yang menggunung menjadi sulit ia entaskan dalam kondisi ketidakadaan seorang ayah.

Wajah seorang ibu yang teduh, kemudian menjadi sasaran bagi Marx. Dengan nekat, Marx membebani utang pribadinya kepada sang ibu yang tengah menjanda. Sayangnya sang ibu malah menolak menjadi sandaran Marx untuk menutupi hutang-hutangnya, disamping keadaan telah renta, kondisi hutang Marx adalah beban tersendiri dalam keluarga.

Namun itu hanyalah sebuah kasus dari sisi negatif Marx selama ini, sebelumnya pada usia relatif remaja, Karl Marx sudah terkenal di kalangan kawan seumurannya sebagai seorang pecinta minuman. Sejak umur 17 tahun, kerongkongan Marx muda telah akrab dijejali literan anggur. Pada seluruh hidupnya tak terbesit sekalipun niat secara serius mencari kerja demi membantu keluarga. Karl Marx baru mendapat sedikit perubahan dalam sisi finansial, saat bertemu seorang pengagumnya yang bekerja di bidang penerbitan.

Menurut Herry Nurdi, Moses Hess demikian nama sang dewa penolong yang terkagum-kagum pada Marx itu. Karir Marx dalam penerbitan Hess meroket secepat kilat. Dari seorang editor ia menjadi pemimpin redaksi. Ia juga menjadi propagandis sosialis nomor wahid kala itu.

Menurut Marx, sudah waktunya bagi sosialisme untuk menuntut dan mendesak tidak lagi menyerukan ide-ide. Pada proses inilah, terjadi pergeseran pemikiran Marx dari seorang teoritis, menjadi ke arah praktis.
Dalam proses inilah Marx juga bertemu seorang komunis tulen yang kelak menjadi sahabatnya Frederich Engles (1820-1895). Seorang sahabat yang sangat sabar membiayai hidup Marx yang miskin dan kacau balau sampai akhir hayatnya.

Pada periode 1849 sampai akhir hayatnya, Marx hidup dalam buangan di Inggris. Sampai ia meninggal Marx memiliki masalah besar dalam mengatur dirinya sendiri. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam perpustakaan British Museum, demi menggali dan menemukan teori ekonomi dan kapital. Kecuali untuk mengunjungi keluarganya yang terbengkalai.

Ketika Marx menulis Das Kapital, sebenarnya hidup Marx berada dalam keprihatinan. Ia hidup penuh kesulitan dan terlunta-lunta. Karl Marx menelurkan konsep ekonomi tanpa memperhatikan sama sekali kehidupan ekonomi keluarganya. Karl Marx bercita-cita tentang arti masyarakat sejahtera, namun sama sekali tidak coba dilaksanakan di keluarganya sendiri. Sang istri begitu pilu hidup bagai perempuan sebatang kara di tengah hutan tanpa banyak mendapat belaian kasih saying sang suami.

Bahkan untuk biaya kehidupan keluarganyapun, harus seorang Frederich Engels mengambil peran yang “ditinggalkan” Karl Marx. Engles lah yang mengucurkan dana keseluruhan bagi biaya hidup keluarga Marx. Berkat Engels pula, Das Kapital yang menjadi rujukan para komunis itu, bisa kita temui lengkap tiga jilid banyaknya.

Cyril Smith dalam bukunya Friedrich Engels and Marx’s Critique of Political Economy, berpendapat bahwa sebenarnya banyak orang percaya bahwa Engels sering gagal memahami karya Marx. Setelah kematian Marx, Engels menjadi juru bicara terkemuka bagi teori Marxian dan dengan mendistorsi dan terlalu meyederhanakan teorinya, meskipun ia tetap setia pada perspektif politik yang telah ia bangun bersama Marx.

Menurut Paul Johnson, sejatinya Karl Marx hanya menulis Das Kapital secara lengkap hanya di jilid pertama, sedangkan dua jilid terakhir di kumpulkan Engels dari surat menyurat yang dilakukannya kepada Karl Marx. Bisa dikata, tanpa ketekunan Engles bisa jadi nama Karl Marx hanya terpasung dalam status seorang pendedam dan pemarah tanpa bisa menyelesaikan tugasnya.

Setelah menyelesaikan jilid pertama dari Das Kapital, tahun 1867, kondisi kesehatan Karl Marx menurun drastis. Tokoh Yahudi tersebut mengalami tingkat kesehatan terburuk dalam hidupnya. Marx berada dalam situasi penuh kesulitan untuk menyelesaikan buku Das Kapitalnya.

Dalam bukunya, Intellectuals, Paul Johnson juga mengambarkan sisi lain dari emosi seorang Karl Marx. Dikisahkan bagaimana jatidiri Marx selama ini tidak lebih selalu dihiasi sifat tempramen, mabuk-mabukan, pemarah serta perokok berat. Saking beratnya, istrinya sendiri menuliskan jika kita masuk ke kamarnya, mata kita akan berair kena asap rokok yang bergumpal-gumpal di dalam kamar Marx. Semuanya kotor dan diselimuti debu, bahkan untuk duduk saja, di kamarnya adalah suatu pekerjaan menjijikan.

Dengan gaya hidup seperti itu, ia telah mengorbankan dirinya sendiri. Ia menjadi sangat jarang membersihkan diri ke kamar mandi, bahkan untuk sekedar mencuci muka. Ia tak memiliki waktu jelas kapan dia tidur dan kapan ia bangun. Bahkan Karl Marx pernah ditangkap polisi karena melakukan kekerasan dan menggunakan pistol akibat akibat emosinya tidak terkontrol. Disebutkan ia, melakukannya dalam keadaan tidak sadar atau sedang mabuk. Marx memang bukan pecandu alkohol, tapi di dalam bukunya Paul Johson mengatakan bahwa Marx memiliki jadwal rutin untuk bermabuk ria.

Istrinya wafat tahun 1881, anak perempuannya tahun 1882 dan Marx sendiri wafat di tahun 1883. Karl Marx seorang yang yang tak bisa mengatur dirinya sendiri itu, kini justru berusaha mengatur masyarakat lewat ekonomi, politik, bahkan sosiologi. Fotonya dibingkai di tembok-tembok sekolah sebagai sosiolog sejati. Ironis. (www.eramuslim.com)

Referensi
Herry Nurdi, Membaca Karl Marx Dengan Kaca Pembesar, Jurnal Islamia Vol III No. 2
Paul Jonshon, Inttelectuals: FromMarx to Tolstoy, Sartre and Chomsky. Ebook
Michael H. Hart. Seratus Tokoh Orang Paling Berpengaruh di Dunia. Ebook