saya hanyalah manusia biasa, yg banyak dipenuhi oleh salah dan khilaf, oleh karena itu jikalau ada postingan saya yg kurang berkenan di hati saudara pembaca sekalian, mohon dimaafkan lahir bathin, karena kebenaran hanya berasal dari Allah, dan kesalahana sepenuhnya ada diri saya...

Senin, 30 November 2009

forum di www.politikana.com (2)

Orang yang seagama dengan bush, banyak yang mencemooh bush, dan berani mengatakan bahwa bush tidak melaksanakan apa yang diinginkan Tuhannya bush, sebagaimana tertulis dalam kitabnya bush. Bush tidak melaksanakan tugas religiusnya di dunia sebagaimana manusia seagamanya memahami apa tugas religius itu.

Apakah Anda berani dan mau menyatakan bahwa Imam Samudera tidak berjalan di jalan Allah SWT ?

itu saja, tidak perlu rumit2.

Pedy Selasa, 19 Mei 2009 10:25

komentar diatas untuk saudara junaid

ichanx 23 jam yang lalu

duh... junaid bikin blunder pernyataan nih... =))

Pedy 23 jam yang lalu

junaid; 'standar'nya menafikkan realitas? orang yang melakukan peledakan atas siapapun dan atas nama apapun, baik atas orang beragama dan orang tidak beragama standarnya apa? standar apa yang dipakai orang-orang itu? ilmiah seperti kata anda tadi? atau?

Duh, ternyata yg menjadi kerisauan saya selama ini benar, komentar saya sedari awal memang multi tafsir bagi yg baca (korban sementara buat ndaru & pedy)… untuk itu mari kita putar sejenak roda waktu utk memahami apa yg ingin saya sampaikan(mudahan berkenan mengikuti, hehehe…)

Kondisi pertama:

Seperti yg sudah-sudah, setiap 2 hari sekali saya selalu ke warnet utk mengecek e-mail (kalau2 ada email penting disana) juga berselancar di dunia maya (internet), saya menemukan portal politikana asuhan Goenawan Mohamad ini, saya tertarik lantas ikut nimbrung di dalamnya, pun seperti yg sudah-sudah disitu saya melihat sebuah judul yg cukup menarik dua bola mata saya (Seperti Apakah Negara Syariah?), setelah saya buka ternyata penulis mempertanyakan spt apa sebenarnya konsepsi negara syariah sebenarnya. Pun juga seperti yg sudah-sudah kali ini tulisan saudara ichanx sepertinya meragukan negara syariah, bahkan membanding-bandingkan negara syariah seperti negara muslim yg telah ada (Apakah Iran? Ah.... musuhnya terlalu banyak (meskipun saya pengagum sosok Ahmadinejad). Negara ini butuh teman yang banyak, bukan musuh. Lagipula, Iran bermahzab Syiah yang jelas-jelas berbeda mahzab dengan Islam mainstream di Indonesia. Apakah Pakistan? Ah.... Rusuh melulu.... Apakah Turki Ottoman? Sama aja, akhirnya hancur...., maaf tulisan anda saya kutip).

Kondisi kedua:

Seperti biasa, wacana seperti apa negara syariah memang selalu menuai kontroversi, di sudut-sudut perbincangan dimana saja bila ada pihak2 yg mempertanyakan negara syariah seperti apa, maka beragam komentar pun turut mewarnai sidang perbincangan disana. Pun demikian seperti yg kita saksikan setelah beberapa hari ini di portal poiitikana (sejak tulisan saudara ichanx mengenai ‘Seperti Apakah Negara Syariah?’ di posting terhitung mulai tanggal 30 april 2009 sampai sekarang, udah lebih dua ratusan komentar), apakah ini wajar? Ya, memang wajar… seperti halnya demokrasi, demokrasi pun demikian (menuai kontroversi), maka tak jarang jika yg di wacanakan syariah (khilafah) seperti apa, maka jangan harap di sana akan sepi oleh pengunjung (paling tidak spt model tulisan saudara ichanx ini).

Kondisi ketiga:

Lalu apa yg salah? Saya tidak berani menyalahkan apa & siapa pun, wacana negara syariah (khilafah) memang masih menjadi wacana, tetapi selayaknya kita jangan lupa (bagi yg muslim & masih berkalimat syahadah), negara syariah pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad, selama kurun waktu itu negara syariah pernah berdiri dan mengayomi rakyatnya & setelah Nabi wafat pun masih diteruskan oleh sahabat2nya (saya tidak perlu merunut sejarah panjangnya ya.. takut kebosenan) hingga runtuh tahun 1924 yaitu khilafah terakhir Utsmaniyyah (seperti pernyataan saudara ichanx yg saya kutip dari tulisannya “Apakah Turki Ottoman? Sama aja, akhirnya hancur...”). dan sepertinya saya berkewajiban membeberkan para khalifah yg telah/pernah memimpin khilafah (negara syariah) lebih 13 abad (bagi yg belum mengetahuinya silakan baca & bagi yg bosan/udah pernah mbaca (muak) silakan melewati atau tutup mata saja!).

para khalifah pada masa khulafaur Rasyidin sebagai berikut:

1.Abu Bakar ash-Shiddiq ra (tahun 11-13 H/632-634 M)
2.'Umar bin khaththab ra (tahun 13-23 H/634-644 M)
3.'Utsman bin 'Affan ra (tahun 23-35 H/644-656 M)
4.Ali bin Abi Thalib ra (tahun 35-40 H/656-661 M)
5.Al-Hasan bin Ali ra (tahun 40 H/661 M)

Setelah mereka, khalifah berpindah ke tangan Bani Umayyah yang berlangsung lebih dari 89 tahun. Khalifah pertama adalah Mu'awiyyah. Sedangkan khalifah terakhir adalah Marwan bin Muhammad bin Marwan bin Hakam. Masa kekuasaan mereka sebagai berikut:

1.Mu'awiyah bin Abi Sufyan (tahun 40-64 H/661-680 M)
2.Yazid bin Mu'awiyah (tahun 61-64 H/680-683 M)
3.Mu'awiyah bin Yazid (tahun 64-68 H/683-684 M)
4.Marwan bin Hakam (tahun 65-66 H/684-685 M)
5.'Abdul Malik bin Marwan (tahun 66-68 H/685-705 M)
6.Walid bin 'Abdul Malik (tahun 86-97 H/705-715 M)
7.Sulaiman bin 'Abdul Malik (tahun 97-99 H/715-717 M)
8.'Umar bin 'Abdul 'Aziz (tahun 99-102 H/717-720 M)
9.Yazid bin 'Abdul Malik (tahun 102-106 H/720-724 M)
10.Hisyam bin Abdul Malik (tahun 106-126 H/724-743 M)
11.Walid bin Yazid (tahun 126 H/744 M)
12.Yazid bin Walid (tahun 127 H/744 M)
13.Ibrahim bin Walid (tahun 127 H/744 M)
14.Marwan bin Muhammad (tahun 127-133 H/744-750 M)

Setelah mereka, khalifah berpindah ke tangan Bani Umayyah yang berlangsung lebih dari 89 tahun. Khalifah pertama adalah Mu'awiyyah. Sedangkan khalifah terakhir adalah Marwan bin Muhammad bin Marwan bin Hakam. Masa kekuasaan mereka sebagai berikut:

I. Dari Bani 'Abbas 1.Abul 'Abbas al-Safaah (tahun 133-137 H/750-754 M)
2.Abu Ja'far al-Mansyur (tahun 137-159 H/754-775 M)
3.Al-Mahdi (tahun 159-169 H/775-785 M)
4.Al-Hadi (tahun 169-170 H/785-786 M)
5.Harun al-Rasyid (tahun 170-194 H/786-809 M)
6.Al-Amiin (tahun 194-198 H/809-813 M)
7.Al-Ma'mun (tahun 198-217 H/813-833 M)
8.Al-Mu'tashim Billah (tahun 218-228 H/833-842 M)
9.Al-Watsiq Billah (tahun 228-232 H/842-847 M)
10.Al-Mutawakil 'Ala al-Allah (tahun 232-247 H/847-861 M)
11.Al-Muntashir Billah (tahun 247-248 H/861-862 M)
12.Al-Musta'in Billah (tahun 248-252 H/862-866 M)
13.Al-Mu'taz Billah (tahun 252-256 H/866-869 M)
14.Al-Muhtadi Billah (tahun 256-257 H/869-870 M)
15.Al-Mu'tamad 'Ala al-Allah (tahun 257-279 H/870-892 M)
16.Al-Mu'tadla Billah (tahun 279-290 H/892-902 M)
17.Al-Muktafi Billah (tahun 290-296 H/902-908 M)
18.Al-Muqtadir Billah (tahun 296-320 H/908-932 M)
19.Al-Qahir Billah (tahun 320-323 H/932-934 M)


II. Dari Bani Buwaih


20.Al-Radli Billah (tahun 323-329 H/934-940 M)
21.Al-Muttaqi Lillah (tahun 329-333 H/940-944 M)
22.Al-Musaktafi al-Allah (tahun 333-335 H/944-946 M)
23.Al-Muthi' Lillah (tahun 335-364 H/946-974 M)
24.Al-Thai'i Lillah (tahun 364-381 H/974-991 M)
25.Al-Qadir Billah (tahun 381-423 H/991-1031 M)
26.Al-Qa'im Bi Amrillah (tahun 423-468 H/1031-1075 M)

III. dari Bani Saljuk

27. Al Mu'tadi Biamrillah (tahun 468-487 H/1075-1094 M)
28. Al Mustadhhir Billah (tahun 487-512 H/1094-1118 M)
29. Al Mustarsyid Billah (tahun 512-530 H/1118-1135 M)
30. Al-Rasyid Billah (tahun 530-531 H/1135-1136 M)
31. Al Muqtafi Liamrillah (tahun 531-555 H/1136-1160)
32. Al Mustanjid Billah (tahun 555-566 H/1160-1170 M)
33. Al Mustadhi'u Biamrillah (tahun 566-576 H/1170-1180 M)
34. An Naashir Liddiinillah (tahun 576-622 H/1180-1225 M)
35. Adh Dhahir Biamrillah (tahun 622-623 H/1225-1226 M)
36. al Mustanshir Billah (tahun 623-640 H/1226-1242 M)
37. Al Mu'tashim Billah ( tahun 640-656 H/1242-1258 M)

Setelah itu kaum muslimin hidup selama 3,5 tahun tanpa seorang khalifah pun. Ini terjadi karena serangan orang-orang Tartar ke negeri-negeri Islam dan pusat kekhalifahan di Baghdad. Namun demikian, kaum muslimin di Mesir, pada masa dinasti Mamaluk tidak tinggal diam, dan berusaha mengembalikan kembali kekhilafahan. kemudian mereka membai'at Al Muntashir dari Bani Abbas. Ia adalah putra Khalifah al-Abbas al-Dhahir Biamrillah dan saudara laki-laki khalifah Al Mustanshir Billah, paman dari khalifah Al Mu'tashim Billah. Pusat pemerintahan dipindahkan lagi ke Mesir. Khalifah yang diangkat dari mereka ada 18 orang yaitu :


1. Al Mustanshir billah II (taun 660-661 H/1261-1262 M)
2. Al Haakim Biamrillah I ( tahun 661-701 H/1262-1302 M)
3. Al Mustakfi Billah I (tahun 701-732 H/1302-1334 M)
4. Al Watsiq Billah I (tahun 732-742 H/1334-1354 M)
5. Al Haakim Biamrillah II (tahun 742-753 H/1343-1354 M)
6. al Mu'tadlid Billah I (tahun 753-763 H/1354-1364 M)
7. Al Mutawakkil 'Alallah I (tahun 763-785 H/1363-1386 M)
8. Al Watsir Billah II (tahun 785-788 H/1386-1389 M)
9. Al Mu'tashim (tahun 788-791 H/1389-1392 M)
10. Al Mutawakkil 'Alallah II (tahun 791-808 H/1392-14-9 M)
11. Al Musta'in Billah (tahun 808-815 H/ 1409-1426 M)
12. Al Mu'tadlid Billah II (tahun 815-845 H/1416-1446 M)
13. Al Mustakfi Billah II (tahun 845-854 H/1446-1455 M)
14. Al Qa'im Biamrillah (tahun 754-859 H/1455-1460 M)
15. Al Mustanjid Billah (tahun 859-884 H/1460-1485 M)
16. Al Mutawakkil 'Alallah (tahun 884-893 H/1485-1494 M)
17. al Mutamasik Billah (tahun 893-914 H/1494-1515 M)
18. Al Mutawakkil 'Alallah OV (tahun 914-918 H/1515-1517 M)

Ketika daulah Islamiyah Bani Saljuk berakhir di anatolia, Kemudian muncul kekuasaan yang berasal dari Bani Utsman dengan pemimpinnya "Utsman bin Arthagherl sebagai khalifah pertama Bani Utsman, dan berakhir pada masa khalifah Bayazid II (918 H/1500 M) yang diganti oleh putranya Sultan Salim I. Kemuadian khalifah dinasti Abbasiyyah, yakni Al Mutawakkil "alallah diganti oleh Sultan Salim. Ia berhasil menyelamatkan kunci-kunci al-Haramain al-Syarifah. Dari dinasti Utsmaniyah ini telah berkuasa sebanyah 30 orang khalifah, yang berlangsung mulai dari abad keenam belas Masehi. nama-nama mereka adalah sebagai berikut:

1. Salim I (tahun 918-926 H/1517-1520 M)
2. Sulaiman al-Qanuni (tahun 916-974 H/1520-1566 M)
3. salim II (tahun 974-982 H/1566-1574 M)
4. Murad III (tahun 982-1003 H/1574-1595 M)
5. Muhammad III (tahun 1003-1012 H/1595-1603 M)
6. Ahmad I (tahun 1012-1026 H/1603-1617 M)
7. Musthafa I (tahun 1026-1027 H/1617-1618 M)
8. 'Utsman II (tahun 1027-1031 H/1618-1622 M)
9. Musthafa I (tahun 1031-1032 H/1622-1623 M)
10. Murad IV (tahun 1032-1049 H/1623-1640 M)
11. Ibrahim I (tahun 1049-1058 H/1640-1648 M)
12. Mohammad IV (1058-1099 H/1648-1687 M)
13. Sulaiman II (tahun 1099-1102 H/1687-1691M)
14. Ahmad II (tahun 1102-1106 H/1691-1695 M)
15. Musthafa II (tahun 1106-1115 H/1695-1703 M)
16. Ahmad II (tahun 1115-1143 H/1703-1730 M)
17. Mahmud I (tahun 1143-1168/1730-1754 M)
18. "Utsman IlI (tahun 1168-1171 H/1754-1757 M)
19. Musthafa II (tahun 1171-1187H/1757-1774 M)
20. 'Abdul Hamid (tahun 1187-1203 H/1774-1789 M)
21. Salim III (tahun 1203-1222 H/1789-1807 M)
22. Musthafa IV (tahun 1222-1223 H/1807-1808 M)
23. Mahmud II (tahun 1223-1255 H/1808-1839 M)
24. 'Abdul Majid I (tahun 1255-1277 H/1839-1861 M)
25. "Abdul 'Aziz I (tahun 1277-1293 H/1861-1876 M)
26. Murad V (tahun 1293-1293 H/1876-1876 M)
27. 'Abdul Hamid II (tahun 1293-1328 H/1876-1909 M)
28. Muhammad Risyad V (tahun 1328-1339 H/1909-1918 M)
29. Muhammad Wahiddin II (tahun 1338-1340 H/1918-1922 M)
30. 'Abdul Majid II (tahun 1340-1342 H/1922-1924 M)

(sumber: berbagai literatur).

Dari uraian di atas (yg cukup panjang), setidaknya telah dipaparkan kalo negara syariah telah/pernah berdiri dan telah/pernah mengarungi berbagai zaman (ratusan bahkan ribuan tahun). Mana mungkin sebuah negara syariah yg terus berdiri (walau pun mengalami jatuh bangun) tanpa sebuah institusi? (halo saudara ichanx…? J)

Kondisi keempat:

Lantas dari ketiga kondisi di atas, saya jadi bertanya-tanya, mengapa syariah yg notabene-nya adalah representasi dari hakikat seorang hamba utk beribadah kepada Allah selalu dipertanyakan? Apakah syariah memang gak bener (gak konek dgn kehidupan) atau belum bener? (halo saudari ndaru…? J).

Bandingkan dgn demokrasi yg merupakan representasi kehendak orang banyak (perwakilan/parlementer) sebuah proses prosedural guna mengakomodir suara banyak utk membentuk sebuah negara (baik sosialisme (demokrasi kerakyatan) jg kapitalisme (demokrasi liberal)) tak jarang masih diterima akal bahkan tidak pernah dipertanyakan (kritisi habis-habisan)… (sungguh gak masuk akal!)

Mengapa kalian (ndaru & ichanx) begitu gigih mempertanyakan syariah (dlm bentuk negara khilafah) yg bersumber dari zat MAHA TAHU mana yg terbaik utk hambanya, dibanding dengan demokrasi yg sudah 100 % tercemar oleh berbagai kepentingan-kepentingan manusia (ini dituangkan menjadi regulasi UU beserta peraturan mengikat lainnya). Maka jangan heran jika kita menyaksikan tayangan di televisi akan terlihat begitu banyak terjadi penggusuran pedagang kaki lima oleh satpol PP (saya yakin, petugas Satpol PP sangat serba salah melakukannya, juga pedagangnya sangat kecewa --kalo bisa dikatakan marah-- dgn keputusan penggusuran itu), juga tayangan vulgar (pornografi/pornoaksi) yg membuat pemerkosaan & pelecehan seksual ‘ramai’ dimana-mana (bagaimana ingin menjaga akhlak jika tayangan spt ini terus mewarnai kotak televisi kita?), mereka berbicara HAM, sedang HAT (Hak Asasi Tuhan) tidak pernah mereka tunaikan, mereka berbicara emansipasi wanita, emansipasi spt apa? (Wanita menggantikan pria bekerja & pria menggantikan wanita hamil?), mereka berbicara “kita harus menegakkan keadilan dan kedamaian”, sedang keadilan & kedamaian thdp pemeluk agama lain di abaikan (kasus ahmadiyah).

“‘standar'nya menafikkan realitas?”

Aha, ini dia orang pragmatis! Jgn terlalu mengikuti keadaan mba, menangkap sesuatu hanya di depan mata saja. Problemnya adalah adanya perbedaan antara realitas (das sein) dan yg seharusnya (das sollen).

Kondisi kelima:

Apakah Anda berani dan mau menyatakan bahwa Imam Samudera tidak berjalan di jalan Allah SWT ?”

Satu hal yg membuat saya miris adalah ketika di sodorkan pertanyaan “jihad dengan cara bom bunuh diri, itu sama saja mati konyol.”, maka saya akan menjawab, “mengapa mati konyol, sepertinya anda baru dari kampung akhirat, jgn memvonis jihad dgn cara bom bunuh diri itu mati konyol, tergantung niatnya mas… jangan jadi Tuhan deh.”

Dan ternyata niat Imam Samudera memang jihad, ini dibuktikan dari setelah eksekusi kematiannya (jasad yg tersenyum & wangi yg menyebar jg berasal dr jasadnya). Setidaknya ini membuktikan jika niat mereka memang murni jihad (ditandai oleh gejala-gejala layaknya seseorang mati syahid di medan perang).

Maka saya bersaksi, mereka benar-benar berjalan di jalan Allah SWT.

Pernyataan di atas sekaligus mengklarifikasi komentar saya yg menimbulkan multi tafsir, mungkin ini tulisannya saya itu ya… (mungkin);

“stigma seperti apa coba, kalo yg ngomong "ngebom" itu Imam Samudera? bandingin yg ngomong presiden negara adidaya Amerika Serikat? Toh sama-sama ngomong "ngebom" toh?
maka dari itu saya ngomong, yg proporsional aja dulu (gak usah nyalahin agama), jgn langsung vonis agama gitu loch...”

Terkadang propaganda bahasa menjauhkan manusia dari kebenaran, dan saya akui memang tulisan saya di atas belum selesai alias gak lengkap.

gak usah jauh-jauh, ambil contoh kasus FPI yg menyerang AKKBB beberapa tahun lalu, mereka dituduh subversif (pemecah belah) karena melakukan kekerasan di muka umum bahkan dituduh teroris (preman berjubah --label yg diberikan oleh islam liberal), namun apa jadinya jika itu terjadi ketika para suporter sepakbola saling tawuran di jalan? Toh sama-sama menggunakan kekerasan toh…? Apakah itu berlaku juga bagi suporter bola? Saya hanya bisa terheran-heran menyaksikan stigma itu terjadi.

Ketidak adilan inilah yg saya rasakan, andaikan Bush dituduh teroris pun saya dukung, justru itu tidak terjadi, dunia nampaknya diam atas kekejamannya membantai 1 juta warga Irak! Ketika Imam Samudera hanya tinggal diam menunggu waktu hukuman eksekusi tiba, justru Bush di sambut dgn mulia oleh SBY walaupun harus menelan dana milyaran rupiah. Dimana letak keadilan?

Jika keadilan ada di demokrasi, mengapa rakyat miskin tidak pernah merasakan pendidikan tinggi?

Jika keadilan ada di demokrasi, mengapa Freeport seolah dibiarkan merampok berton-ton emas di papua?

Jika keadilan ada di demokrasi, mengapa wacana syariah selalu menjadi sasaran ‘empuk’ yg sudah out of date bahkan tak layak lagi mengelola negara?

Jika saudara ndaru konsisten dgn sikap pragmatisnya (realitas), saran saya adalah, jgn ragu untuk mengatakan juga bahwa demokrasi out of date, demokrasi juga gagal dlm usahanya mensejahterakan rakyat diseluruh dunia… demokrasi gagal memberikan keadilan dan kedamaian kepada semua pemeluk agama.

Itu menurut saya lebih bijak daripada harus terus membelalakan mata thdp syariah sedang ketika demokrasi nyata di depan mata sudah semakin rusak anda menutup mata…

Kondisi keenam:

Jika ramalan Nabi tentang akan berdirinya khilafah itu sudah semakin dekat, maka saya akan mempersiapkan diri utk menjadi bagian dari tentaranya, menjadi bagian dari martirnya… insya Allah!

BIAS TERORISME

Setelah diguncang 2003 lalu, kini Hotel JW Marriot kembali diguncang oleh bom. Bukan hanya JW Marriot, tapi Hotel Ritz Carlton juga ikut menjadi sasarannya. Tak lama berselang peristiwa tersebut, SBY buru-buru mengadakan jumpa pers sembari mengutuk perbuatan tersebut dengan mengeluarkan informasi baru yang di dapat BIN dimana gambar SBY dijadikan sasaran tembak oleh mereka yang dinamakan dengan teroris sembari bersumpah "Saya bersumpah, demi rakyat indonesia, negara dan pemerintah akan melakukan tindakan yang tegas, tepat dan benar terhadap pelaku pemboman ini, dan otak pelaku pemboman," tegasnya. Lagi-lagi teroris sebagai biang kerok, apakah ini wajar? Ini memang wajar bagi “mereka” yang mendefinisikan makna teroris berhenti hanya sebagai aksi pencapaian tujuan dengan kekerasan saja.
Menurut Black’s Law Dictionary Amerika, terorisme adalah kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana (Amerika atau Negara bagian Amerika), yang jelas dimaksudkan untuk: (a) mengintimidasi penduduk sipil, (b) mempengaruhi kebijakan pemerintah, (c) mempengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan atau pembunuhan.
Webster’s New World College Dictionary (1996), mendefinisikan Terorisme “the use of force or threats to demoralize, intimidate, and subjugate.” Disepakati oleh kebanyakan ahli bahwa tindakan yang tergolong kedalam tindakan Terorisme adalah tindakan-tindakan yang memiliki elemen: (1) kekerasan, (2) tujuan politik, (3) teror/intended audience.
Hukum positif Indonesia, UU No. 15 (2003) Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Bab I Ketentuan Umum, (1) Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal… (Pasal 6). (2) Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal… (Pasal 7).
Sekilas memang, makna terorisme mengacu pada tindak kekerasan semata terhadap orang lain hingga menimbulkan rasa takut secara meluas (massal). Seperti yang terjadi di Hotel JW Marriot & Hotel Ritz Carlton serta berbagai aksi-aksi sporadik lainnya bisa di kategorikan terorisme. Lantas, apakah makna tersebut mutlak memberikan definisi final terhadap terorisme yang terjadi di tengah masyarakat? Atau, apakah masih ada cakupan yang mengkaji secara komprehensif arti terorisme sesungguhnya? Hingga saat ini masih simpang siur keberadaannya.
Pembahasan pun terus bergulir, terorisme mengalami bias setelah para ahli menengarai bahwa terorisme lekat kaitannya dengan benturan fundamental, menurut Laqueur (1999), setelah mengkaji lebih dari seratus definisi Terorisme, menyimpulkan adanya unsur yang paling menonjol dari definisi-definisi tersebut yaitu bahwa ciri utama dari Terorisme adalah dipergunakannya kekerasan atau ancaman kekerasan, sementara motivasi politis dalam terorisme sangat bervariasi, karena selain bermotif politis, terorisme seringkali dilakukan karena adanya dorongan fanatisme agama. Menurut A.C Manullang (pengamat intelijen) Terorisme adalah suatu cara untuk merebut kekuasaan dari kelompok lain, dipicu antara lain karena adanya pertentangan agama, ideologi dan etnis serta kesenjangan ekonomi, serta tersumbatnya komunikasi rakyat dengan pemerintah, atau karena adanya paham separatisme dan ideologi fanatisme. Menurut US Department of Defense tahun 1990, Terorisme adalah perbuatan melawan hukum atau tindakan yang mengandung ancaman dengan kekerasan atau paksaan terhadap individu atau hak milik untuk memaksa atau mengintimidasi pemerintah atau masyarakat dengan tujuan politik, agama atau ideologi tertentu.
Lantas, definisi terorisme mulai mengalami reduksi makna, dari kekerasan (fisik & mental) mengarah kepada adanya pengaruh ideologi Negara, potensi geografis suatu negara, kepentingan-kepentingan politik berbagai pihak terhadap Negara, dan lain sebagainya. Berbagai konvensi-konvensi di berbagai Negara telah berusaha mendefinisikan terorisme menurut negaranya masing-masing, seperti; States of the South Asian Association for Regional Cooperation (SAARC) Regional Convention on Suppression of Terrorism, 1970, 1973; Convention of the Organisation of the Islamic Conference on Combating International Terrorism, 1999; Treaty on Cooperation among the States Members of the Commonwealth of Independent States in Combating Terrorism, 1999; Organisation of African Unity (OAU), 1999; The Arab Convention on the Suppression of Terrorism 1998; European Convention on the Suppression of Terrorism, 1977.
Alhasil, tidak ada yang dapat memberikan batasan yang jelas bagaimana sebenarnya bentuk terorisme tersebut. Semua tampak dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan tertentu agar terkesan terorisme legal bagi “mereka” yang termotivasi oleh kepentingan fundamental yang dimilikinya masing-masing. Kepentingan-kepentingan yang terjadi tersebut tidak lantas memberikan gambaran penuh profil suatu masyarakat & Negara terhadap kepentingannya, namun dapat menjadikan --kosakata-- terorisme berubah penggunaannya sebagai “alat” dan “cara” guna menjalankan kepentingan-kepentingan di luar aksi terorisme itu sendiri, baik kelompok yang disebut teroris juga negara. Apakah ini realitas dari terorisme? Tampaknya kita harus terus membaca para pengambil kebijakan (pemerintah) dan pelaku terorisme itu sendiri.
Terorisme dalam perspektif lain
Menurut saya terorisme sebuah aksi “simbolik”, terorisme adalah sebuah --respon-- dari sebuah komunitas masyarakat yang tidak puas oleh kinerja pemerintah, maka, masyarakat akan mengambil sebuah tindakan yang menurut Negara menyimpang (ekstrim) dari konstitusi, maka itulah terorisme. Terorisme dulu, kini dan yang akan datang tidak akan hilang manakala sebuah Negara dijalankan berseberangan dengan kehendak rakyatnya (kontra demokrasi?). Rakyat akan memberikan penghargaan dan kecintaan ketika sebuah Negara menjalankan fungsi & peran sebagaimana mestinya.
Terorisme tidak tercipta dengan sendiri seperti jatuh dari langit. Selama keadilan, kesejahteraan, ketentraman dan keamanan yang di idam-idamkan tidak pernah hadir di tengah masyarakat, begitu pula pemerintah yang abai serta masa bodoh dengan kondisi masyarakat selama itu pula terorisme akan hadir mewarnai perjalanan sebuah Negara.

Rabu, 25 November 2009

kapitalisme

SEJAK runtuhnya Tembok Berlin, kapitalisme telah dibaptis sebagai pemenang sejarah. Kapitalisme menjadi sesuatu yang unik, dibutuhkan, dan ialah tak terhindarkan bagi masa depan umat manusia.

Ironisnya, kalangan liberal yang menyematkan mahkota kemenangan kepada kapitalisme, lebih suka menggunakan kosakata Ekonomi Pasar (Market Economy). Tak tanggung-tanggung, Friedrich August von Hayek, nabinya kalangan neoliberal, menolak untuk menggunakan atau sekadar mendengar pengucapan kata kapitalisme.

Ironisme ini muncul, dengan beragam alasan. Misalnya, karena tak kunjung ada satu definisi memuaskan tentang apa itu kapitalisme. Kapitalisme memang bisa dibicarakan dari beragam sudut: ideologi, politik, ekonomi, sosial, atau budaya. Itu sebabnya, penggunaan kata yang mulai populer sejak akhir abad ke-19 ini, mengandung banyak bias. Tapi, ada alasan lain yakni, bersembunyinya kepentingan ideologis di balik penggunaan kata ekonomi pasar.

Karena itu, ada baiknya kita kembali sejenak ke akhir abad sembilan belas itu. Sejak hancurnya sistem masyarakat feodal, sebagian aspek dalam kehidupan manusia berkembang sangat pesat. Mislanya, meluasnya pemakaian uang dan hubungan pertukaran; perkembangan pesat hubungan pasar yang secara perlahan menjadikannya sebagai elemen penting dalam pabrik sosial; pertumbuhan cepat sektor perbankan, kredit, keuangan, dan spekulasi sebagai motor penggerak sektor produksi dan distribusi; berkembangnya hubungan baru yang kian kompleks antara seluruh aspek-aspek ekonomi tersebut dengan negara; peningkatan secara rasional dan sistemik mobilisasi pengetahuan keilmuan dan potensi tekknik yang bertujuan menciptakan komoditi-komoditi baru; serta harapan kelompok kaya dan mereka yang ingin menjadi kaya untuk mengembangkan kebutuhan-kebutuhan baru.

Keseluruhan aspek-aspek ini, menurut Michel Beaut, merupakan bagian dari kata kapitalisme. Ini berarti, kapitalisme tidak bisa dimakna hanya sebatas modal produksi (mode of production). Demikian juga, pemakaian kata ekonomi pasar sebagai kata ganti kapitalisme merupakan sebuah penyederhaan. Menurut Samir Amin, pasar tak lebih dari sekadar bentuk manajemen sosial-ekonomi kapital. 

Definisi lain yang kurang memadai mengenai kapitalisme, dikemukakan oleh ensiklopedis David Robertson, yang mengatakan, kapitalisme sebagai sebuah sistem ekonomi yang merupakan kombinasi dari kepemilikan pribadi, pasar yang kompetitif dan relatif bebas dari campur tangan negara, dan asumsi umum tentang sekumpulan besar tenaga kerja yang terlibat dalam proses kerja yang memproduksi barang-barang untuk kemudian dijual guna mendatangkan keuntungan.

Mungkin menyadari bahwa definisinya terlalu menyederhanakan, Robertson kemudian menambahkan, bahwa kapitalisme memiliki ideologi dan teori ekonominya sendiri seperti halnya seluruh sistem ekonomi politik. Sayangnya, tidak ada penjabaran lebih lanjut dari Robertson soal yang dimaksudnya ini. Pada akhir paparannya, ia kembali melakukan penyederhanaan dengan mengatakan, “saat ini kapitalisme terfokus pada dua gagasan: produksi untuk keuntungan dan keberadaan kepemilikan pribadi, dimana sebagian kecil darinya dikuasai oleh negara.”

Definisi lain yang simplistis, dikemukakan oleh intelektual kiri Amerika Serikat, Leo Huberman. Ia mengatakan, kapitalisme adalah sistem produksi dan distribusi. Ekonom Inggris, Anthony Brewer, mendefinisikan kapitalisme atas dua ciri utama: kapitalisme sebagai sistem produksi komoditi dan di dalam sistem itu, produksi dikontrol oleh kapitalis yang mempekerjakan buruh.

***

Menurut sejarawan Eric Hobsbawn, kosakata kapitalisme mulai memasuki perbincangan ekonomi dan politik pada tahun 1860an. Dan orang yang pertama kali menggunakan kata ini, yang membuat kita berhutang kepadanya, ujar sejarawan Jerry Z. Muller, adalah Karl Marx dan Friedrich Engels. Sebelumnya, demikian Muller, kosakata yang akrab dipakai untuk menggambarkan kemunculan sebuah sistem masyarakat yang baru itu adalah kosakata merchant-society (masyarakat-dagang) dari Adam Smith, atau civil-society (masyarakat-sipil) dari Georg Wilhelm Friedrich Hegel .

Jika begini ceritanya, ada baiknya kita menelisik apa yang dimaksud Marx dengan kata kapitalisme. Saya mau meminjam tafsiran dari Howard dan King untuk melihat definisi Marx tentang kapitalisme. Marx mengatakan, kapitalisme didasarkan pada empat ciri utama: pertama, kapitalisme dicirikan oleh produksi komoditi (production of commodities); kedua, adanya kerja-upahan (wage-labour); ketiga, kehendak untuk menumpuk kekayaan tanpa batas (acquisitiveness); dan keempat, kapitalisme dicirikan oleh organisasi yang rasional.

Mari kita periksa satu demi satu. Pertama, kapitalisme dicirikan oleh produksi komoditi. Ciri ini hanya salah satu aspek saja karena, seperti ditegaskan Marx, kapitalisme hanyalah salah satu bentuk khusus dari produksi komoditi; dalam pengertian, tidak semua sistem produksi komoditi adalah sistem kapitalis. Menurut Marx, produksi komoditi adalah umum terjadi dibanyak bentuk masyarakat. Dalam masyarakat non-kapitalis yang masih murni, seperti di Amerika Utara masa kolonial, kata Marx, para pengrajin dan petani yang menetap di wilayah itu memiliki sendiri alat-alat produksinya dan menjual kelebihan produksinya sebagai komoditi.

Produksi komoditi bagi Marx bermakna, sebuah sistem dimana aktivitas ekonomi dilaksanakan oleh agen-agen yang independen atau bebas tapi, dikoordinasikan oleh pasar pertukaran. Aktivitas ekonomi di sini, menyangkut hampir semua tipe-tipe ekonomi termasuk elemen-elemen produksi komoditi. Tentu saja, di masa pra-kapitalis aktivitas komersial telah berkembang tapi, mereka tidak dominan. Aktivitasnya berada di pinggiran, terutama lebih merupakan aktivitas perkotaan dalam sistem ekonomi pertanian skala besar, dan secara umum hanya terlibat dalam aktivitas perdagangan ketimbang aktivitas produksi.

Tetapi, Marx buru-buru mengatakan, dominasi pasar yang merupakan mekanisme koordinasi ekonomi, tidaklah mencukupi untuk menggambarkan karakter dari kapitalisme. Di sini, ia kemudian berbicara tentang aspek kedua dari kapitalisme yang dicirikan oleh tenaga kerja manusia yang telah berubah menjadi komoditi, bersamaan dengan kemunculan sistem kerja-upahan, dimana buruh bebas menjual tenaga kerja yang dimilikinya. Hubungan kapital-buruh ini merupakan hubungan kelas yang utama, kunci sukses dalam memahami keseluruhan moda produksi dan formasi sosial yang mendasarinya. Dan kenyataannya, hubungan buruh-kapital ini memang tidak menempati peran yang menentukan dalam teori neo-klasik.

Menurut Marx, dalam sistem ini uang dan komoditi bukan lagi kapital melainkan, sekadar alat-alat produksi, alat-alat subsistensi yang kemudian ditransformasikan menjadi kapital. Tetapi, proses transformasi itu sendiri hanya mungkin terjadi di bawah kondisi-kondisi tertentu yang berpusat pada,

“…the two very different kinds of commodity-possessors must come face to face and into contact; on the one hand, the owners of money, means of production, means of subsistence, who are eager to increase the sum of values they possess by buying other people’s labour-power; on the athoer hand, free labourers … in the double sense that neither they themselves form part and parcel of the means of production, as in the case of slaves, bondsmen etc, nor do the means of production belong to them, as in the case of peasent-proprietors; they are, therefore, free from, ununcumbered by, any means of production if their own…

.dua hal yang sangat berbeda, komodi-pemilik komoditi, saling berhadap-hadapan dan berhubungan; di satu pihak, pemilik uang, pemilik alat-alat produksi, alat-alat subsisten, yang sangat berhasrat untuk meningkatkan jumlah nilai yang mereka miliki, dengan cara membeli tenaga kerja orang lain; pada pihak lain, adalah pekerja bebas ….dalam pengertian ganda, dimana mereka bukan bagian dari alat-alat produksi sebagaimana dalam kasus perbudakan atau perhambaan dan sebagainya, … juga mereka tidak memiliki alat-alat produksi seperti dalam kasus petani-pemilik; mereka bebas dari alat-alat produksi yang dimilikinya….”

Dalam karyanya Wage, Labour, and Capital, Marx menekankan kembali keberadaan buruh bebas ini, dimana baginya,  tenaga kerja tidak melulu berarti komoditi. Buruh tidak otomatis berarti buruh-upahan tapi, yang lebih penting adalah statusnya sebagai buruh-bebas. Seperti tampak pada kutipan di atas, buruh bebas ini menjual dirinya sendiri, lebih dari itu, menjual karakter dirinya. Ia menjual sejumlah delapan, sepuluh, dua belas, lima belas jam dalam sehari, setiap harinya, kepada pembeli tertinggi, pemilik alat-alat produksi, dan alat-alat subsisten yakni, si kapitalis. Pada saat yang sama, si buruh bebas meninggalkan si kapitalis kapan saja ia mau,demikian juga dengan si kapitalis, bebas menendang si buruh jika ia menganggap si buruh tidak lagi mendatangkan keuntungan baginya. Tetapi, si buruh, yang menjual sumber inti penghidupannya kepada si kapitalis, tidak bisa melepaskan dirinya dari keseluruhan kelas yang membelinya, kelas kapitalis tanpa mendeklarasikan keberadaan dirinya. Di sinilah letak utama keunikan sistem kapitalis, dimana hubungan buruh-kapital ini melampaui hubungan personal buruh-kapitalis tapi, lebih dari itu membentuk hubungan antara klas buruh dengan klas kapitalis yang lebih kompeks.

Sedangkan yang dimaksud dengan kehendak untuk menumpuk kekayaan tanpa batas (acquisitiveness), yang merupakan aspek ketiga dari kapitalisme, merupakan motivasi utama seorang kapitalis. Bagi seorang kapitalis, akumulasi kekayaan adalah tujuan utamnya ketimbang, bentuk-bentuk tertentu dari kekayaan seperti, tanah atau obyek-obyek konsumsi lainnya. Mengenai hal ini, Marx dengan sangat jelas mengatakan,

The expansion of value …. Becomes his subjective aim, and it is only in so far as the appropriation of ever more and more wealth in the abstract becomes the sole motive of his operations, that he functions as a capitalist …. Use-value must therefore never be looked upon as the real aim of the capitalist.

Ekspansi nilai ….menjadi tujuan subyektif seorang kapitalis, dan motif utama ini hanya berlaku sejauh ia memperoleh lebih dan lebih banyak lagi kekayaan dalam fungsinya sebagai seorang kapitalis…. Nilai-guna, dengan demikian, tidak bisa dilihat sebagai tujuan utama seorang kapitalis.”

Aspek terakhir dari kapitalisme, adalah kebutuhan akan sebuah organisasi yang rasional. Organisasi ini yang memungkinkan motivasi kapitalis, misalnya, terwujud sepenuh-penuhnya. Di sini, Marx mengatakan, motivasi untuk terus “memperkaya diri” bukanlah ekspresi “alamiah” gerak ekonomi universal. Bagi Marx, motivasi kapitalis itu muncul dalam proses sejarah yang mendahului dominasi produksi kapitalis. Pada tahap ini, momen paling krusial dalam sejarah Eropa abad pertengahan, adalah berkembangnya asosiasi-asosiasi yang beriringan dengan pertumbuhan kota-kota di Eropa dimana, secara khusus, muncul gerakan yang menghendaki terbentuknya otonomi kotamadya dan diciptakannya ekonomi uang yang memungkinkan ekspansi dagang berkembang pesat. Dalam proses ini, kata Marx lebih lanjut, kota terbebas dari kungkungan etika komunal yang kaku dan pembatasan-pembatasan yang diberlakukan oleh sistem feodal. Sementara, meluasnya hubungan uang, mempromosikan akuisisi rasional dari “kekayaan secara umum” melalui ketersediaan alat-alat produksi.

Dari sini, Marx secara implisit selalu mengatakan, bahwa bagi seorang kapitalis, motivasinya tidak bisa disederhanakan sekadar keinginan untuk menumpuk kekayaan belaka melainkan, ia secara rasional akan terus-menerus mencari dan mengadopsi alat-alat produksi yang terbaik untuk merealisasikan tujuannya yakni, penumpukan kekayaan tanpa batas. Dan, organisasi rasional yang dibutuhkan kapitalis untuk memudahkan pemenuhan kebutuhannya itu adalah Negara.***

Maraji’:

Anthony Brewer, “A Guide to Marx’s Capital,” Cambridge University Press, 1984.

David Robertson,  “The Routledge Dictionary of Politics,” Routledge, 2002.

Eric Hobsbawn, “The Age Of Capital 1848-1875,” Abacus, 1997.

Jerry Z. Muller, “The Mind And The Market Capitalism in Modern European Thought,” Albert A. Knopf, 2002.

Karl Marx, “Capital I,” Progress Publishers, Moscow, 1974.

Leo Huberman & Paul M. Sweezy, “Introduction to Socialism,” Monthly Review Press, 1968.

M.C. Howard & J.E. King, “The Political Economy of Marx,” New York University Press, 1985.

Michel Beaud, “A History of Capitalism 1500-2000,” Monthly Review Press, 2001.

Robert C. Tucker (ed), “The Marx-Engels Reader” second edition, W.W. Norton & Company, 1978.

Samir Amin, “Market Economy’ or Oligopoly Finance Capitalism?” Monthly Review, Vol. 59, April, 2008.

forum di www.politikana.com (1)

junaid; coba mas baca kalimat mas sendiri dulu, dan merenung, cita-cita mengejar 'bayang-bayang keadilan' mungkin akan terasa lebih adil jika TIDAK menyamaratakan bahwa anda (atau sekelompok orang, atau sebuah organisasi) adalah pemegang 'keadilan Tuhan', dibaca lagi ya kalimat anda mas, sambil menyebut nama Tuhan dalam hati

setelah saya membaca, merenung dan mengamati tulisan saya terdahulu, saya tidak mendapatkan adanya “penyamarataan” keadilan spt yg anda maksud, yg saya dapatkan hanya keluh kesah saya tentang mencari di mana letak keadilan di dalam demokrasi? (berikut kutipan tulisan saya, “mereka berbicara HAM, sedang HAT (Hak Asasi Tuhan) tidak pernah mereka tunaikan, mereka berbicara emansipasi wanita, emansipasi spt apa? (Wanita menggantikan pria bekerja & pria menggantikan wanita hamil?), mereka berbicara “kita harus menegakkan keadilan dan kedamaian”, sedang keadilan & kedamaian thdp pemeluk agama lain di abaikan (kasus ahmadiyah)….. gak usah jauh-jauh, ambil contoh kasus FPI yg menyerang AKKBB beberapa tahun lalu, mereka dituduh subversif (pemecah belah) karena melakukan kekerasan di muka umum bahkan dituduh teroris (preman berjubah --label yg diberikan oleh islam liberal), namun apa jadinya jika itu terjadi ketika para suporter sepakbola saling tawuran di jalan? Toh sama-sama menggunakan kekerasan toh…? Apakah itu berlaku juga bagi suporter bola? Saya hanya bisa terheran-heran menyaksikan stigma itu terjadi.
Ketidak adilan inilah yg saya rasakan, andaikan Bush dituduh teroris pun saya dukung, justru itu tidak terjadi, dunia nampaknya diam atas kekejamannya membantai 1 juta warga Irak! Ketika Imam Samudera hanya tinggal diam menunggu waktu hukuman eksekusi tiba, justru Bush di sambut dgn mulia oleh SBY walaupun harus menelan dana milyaran rupiah. Dimana letak keadilan?
Jika keadilan ada di demokrasi, mengapa rakyat miskin tidak pernah merasakan pendidikan tinggi?
Jika keadilan ada di demokrasi, mengapa Freeport seolah dibiarkan merampok berton-ton emas di papua?
Jika keadilan ada di demokrasi, mengapa wacana syariah selalu menjadi sasaran ‘empuk’ yg sudah out of date bahkan tak layak lagi mengelola negara?
Jika saudara ndaru konsisten dgn sikap pragmatisnya (realitas), saran saya adalah, jgn ragu untuk mengatakan juga bahwa demokrasi out of date, demokrasi juga gagal dlm usahanya mensejahterakan rakyat diseluruh dunia… demokrasi gagal memberikan keadilan dan kedamaian kepada semua pemeluk agama.
Itu menurut saya lebih bijak daripada harus terus membelalakan mata thdp syariah sedang ketika demokrasi nyata di depan mata sudah semakin rusak anda menutup mata…”) coba deh dilihat lagi…

Mengenai ‘pemegang “keadilan Tuhan”’, terlebih dulu harus dibedakan mana suara yg keluar dari hawa nafsu & mana suara yg keluar dari aturan yg ‘seharusnya’, diluar jalan sana banyak bertebaran suara-suara pihak yg merasa ‘mendaku’, merasa golongannya paling benar dan merasa apa yg disampaikannya pun tidak ada yg salah, apakah ini wajar? Ya, ini memang wajar, mereka merasa memiliki konsep & argumentasi sendiri-sendiri, dan selama sumbernya (ide yg menjadi konsep berfikir/ide-ologi) tidak sama maka jangan harap argumentasi akan sama, minimal mencapai kata sepakat utk tidak sepakat, kenapa? Karena sama-sama mempertahankan ide yg menjadi tolok ukurnya. Tapi --sekali lagi-- manakah yg keluar dari hawa nafsu dan mana yg keluar dari aturan yg ‘seharusnya (das sollen)’.

Disini saya tidak akan mendaku dan --mudah-mudahan-- tidak akan menulis apa pun selain aturan yg ‘seharusnya (das sollen)’. Jadi, kpd saudara ndaru bisa melihat mana yg keluar dari tulisan saya ‘murni’ dgn tulisan yg keluar dari aturan yg ‘seharusnya (das sollen)’. (mudahan gak bosen neh…)

Di alam demokrasi yg –katanya-- suara rakyat adalah suara tuhan (vox populi vox dei) merupakan sebuah proses/konsepsi final yg tidak dpt diganggu gugat bagi negeri kita Indonesia. Sebagai penganut demokrasi yg ‘taat’, Pemilu (proses prosedural) merupakan metode yg harus diambil guna menjalankan roda pemerintahan (konsekuensi logis demokrasi). Pasalnya pemilu sudah menjadi menu wajib yg harus digelar tiap 5 tahun sekali jika tidak maka roda pemerintahan tidak akan pernah berputar. Pemilu adalah memilih orang yg akan masuk di gedung DPR RI/DPRD dan memilih Presiden utk memimpin Indonesia dalam 5 tahun ke depan nantinya. DPR RI bertindak sebagai legislator dan Presiden bertindak sebagai Eksekutor. Sebagai lembaga pembuat UU dan UUD, DPR RI/DPRD merupakan tempat dimana perwakilan suara-suara rakyat berada. DPR RI/DPRD juga bisa dikatakan merupakan tempat bertumpunya harapan & cita-cita rakyat untuk memperbaiki nasibnya (spt yg kita saksikan sebagaimana dinamika seputar Pemilu 2009) 5 tahun ke depan, DPR RI/DPRD pula menjadi tempat dimana seluruh aturan dan perundang-undangan dibuat dan di sahkan (UU, UUD dll). Dengan regulasi-regulasi UU yg lahir dari rahim, DPR RI/DPRD pun melaksanakannya dgn penuh amanat. Seperti yg kita dapat baca UUD 1945 di pasal 1 (2) “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Pasal 2 (1) “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.”

Jika di alam demokrasi yg menjadi hak kedaulatan adalah rakyat, maka di dalam islam yg menjadi hak kedaulatan adalah syariah. Sesungguhnya hak menetapkan hukum itu adalah pada Allah, Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik. (TQS. Al An’am [6] :57)‘’. Tapi faktanya, apa yg disuarakan sebagai kedaulatan rakyat pada pasal di atas itu pun tidak pernah menjadi kenyataan, rakyat masih ‘bersabar’ ketika pemerintah (presiden dgn persetujuan DPR) menaikkan harga BBM walaupun rakyat tidak menginginkannya. Rakyat harus gigit jari ketika regulasi UU Penanaman Modal (yg dibuat DPR) yg berbau ekonomi neoliberal dgn ‘paksa’ menjarah harta kekayaan rakyat utk membayar hutang negara. Baru-baru ini SBY menandatangani bantuan (utang) ADB (Asian Development Bank) di Bali guna mengatasi krisis ekonomi, apakah rakyat pernah mengizinkannya? (bagaimana hendak melunasi hutang bila SBY membuat hutang baru lagi?)

Itu hanya satu pasal yg bermasalah di dalam UUD 1945, belum seluruh pasal yg kalau dibiarkan, alamat hancurlah negeri indonesia. Menentukan hukum merupakan hal pokok dan mutlak utk ditentukan. Ia tidak bisa sembarang dan tidak bisa mengambil aturan yg berasal dari akhlak rusak lagi merusak. Apakah demokrasi rusak, pertama, demokrasi lahir dari kehendak rakyat dgn begitu rakyatlah yg menjadi penentu kebijakan melalui perwakilan mereka. Andai kata rakyat yg menjadi objeknya sedang mengalami dekadensi moral dan aktivitas sosial yg akut, apakah UU yg lahir dpt diharapkan melahirkan aturan yg baik & berakhlak mulia? Sungguh sombong memang manusia, baru memiliki otak yg tidak seberapa sudah bisa membuat aturan bagi dirinya sendiri? Apakah ini yg anda inginkan?

Berkaitan aturan yg seharusnya (das sollen), ini pun tidak berjalan sebagai mana mestinya, rakyat telah dikhianati, pemerintah telah membuat kebohongan publik, pemerintah dgn jargonnya ‘suara rakyat adalah suara tuhan’ sangat bertolak belakang dgn kenyataan (das sein). Maka dari itu saya menulis “problemnya adalah perbedaan antara realitas (das sein) dengan yg seharusnya (das sollen).” Publik pun mengetahui mana yg konsisten dgn yg seharusnya (das sollen) dan mana yg mencla mencle (inkonsisten), maka wajar, Osama Bin Laden hingga hari ini masih memegang teguh prinsipnya, para mutjahid-mutjahid yg masih setia dgn prinsipnya, mengenai PKS? Ah, itulah politik praktis, yg lawan bisa menjadi kawan dan yg dulunya kawan bisa menjadi lawan, inilah alam demokrasi yg penuh tipu muslihat, ideology pun digadaikan hanya demi meraup beberapa kursi di DPR RI/DRPD saja, apakah ini yg anda inginkan?

Kedua, bagi yg berakal sehat, problematika hidup berdemokrasi sudah selayaknya out of date, demokrasi gagal mengurusi perikehidupan manusia, kata Amien Rais, “demokrasi merupakan sistem manipulatif, dia bisa berubah menjadi rasis bahkan fasis.” Inilah konsekuensi hidup berdemokrasi, pembantaian etnis (kasus sampit, ambon, dll), disintregrasi bangsa (kasus Timor Timur, OPM, GAM, dll), aksi tawuran di jalan-jalan (hasil pendidikan sekuler?), aborsi, pemerkosaan, pencurian, pembunuhan, dll. Apakah ini yg anda inginkan? Bagi yg berakal sehat jelas tidak menginginkannya…

Ketiga, dgn kenyataan ini, maka saya berkesimpulan, “ternyata, aktivis demokrasi itu hidup di dalam konsisten untuk inkonsisten.” Mereka membuat aturan-aturan tapi jangan harap mereka melaksanakannya. Mereka mengatakan hari ini A, esok jangan harap mereka mengatakannya lagi. Mereka mengatakan akan melaksanakan ekonomi kerakyatan & mandiri, jangan harap setelah mereka menjadi pemimpin bangsa hal itu dilaksanakannya. Apakah ini yg anda inginkan? Seperti yg saya katakan sebelumnya “Problemnya adalah adanya perbedaan antara realitas (das sein) dan yg seharusnya (das sollen).” Problemnya yg sekarang adalah yg seharusnya (das sollen) saja sudah bermasalah apalagi implementasinya.

Jika anda berargumen, “… cita-cita mengejar 'bayang-bayang keadilan' mungkin akan terasa lebih adil jika TIDAK menyamaratakan bahwa anda (atau sekelompok orang, atau sebuah organisasi) adalah pemegang 'keadilan Tuhan'… “ pernyataan anda itu sudah basi! Yg sekarang harus dicari adalah solusi, bukan pernyataan yg kalau pun orang mikir, sekelompok orang atau sebuah organisasi itu pun pasti mencari solusi mengatasi krisis multidimensi ini, bukan berdiam diri saja sembari mengkritik.

Walhasil, SOLUSI APA yg bisa anda tawarkan untuk menyelamatkan bangsa kita? Kebanyakan aktivis demokrasi hanya bisa mencari kelemahan (selalu membantah dan terus membantah) syariah tanpa memberikan solusi konkrit!

democrazy is crazy!!


Demokrasi bagi presiden adalah jalan panjang menuju penguasaan atas negara. Demokrasi bagi dewan legislatif adalah jalan panjang menuju terciptanya tatanan peraturan yg kondusif bagi mereka. Demokrasi bagi para menteri presiden adalah tempat mengabdi sekaligus lahan subur mengalirnya pundi-pundi kekayaan bagi diri mereka sendiri. Demokrasi bagi pengusaha & konglomerat adalah hubungan simbiosis mutualisme (saling menguntungkan) dgn pemerintah, yg lain tidak. Demokrasi bagi rakyat miskin adalah alat sistematis utk mengurangi pasokan jatah makanan pokok bagi diri mereka sendiri. Demokrasi bagi buruh miskin adalah proses pembodohan sekaligus pemiskinan terselubung dlm upaya meraih keuntungan sepihak.

Demokrasi bagi kami adalah barang sampah yg tdk layak di daur ulang bgmn pun bentuknya. Demokrasi bagi kami adalah sebentuk komunitas orang2 bodoh yg tidak memiliki otak dalam berpikir. Demokrasi bagi kami adalah sistem manipulasi sekaligus pembusukan kelas atas thdp kelas bawah & hanya mementingkan kepentingan pribadi. Demokrasi menciptakan manusia2 beriman berubah menjadi gila kekuasaan (walaupun dalih agama dibawa di ranah demokrasi, padahal salah alamat!) & gila harta. Demokrasi menciptakan orang seperti Michael Jackson si negro merasa risih thdp warna kulitnya yg gelap. Demokrasi menciptakan org2 selalu mengejar2 popularitas, mengejar bayang2 semu di depannya, mengejar fatamorgana yg tdk pernah berakhir hingga akhir kiamat pun! Selamat datang kontroversi!!