saya hanyalah manusia biasa, yg banyak dipenuhi oleh salah dan khilaf, oleh karena itu jikalau ada postingan saya yg kurang berkenan di hati saudara pembaca sekalian, mohon dimaafkan lahir bathin, karena kebenaran hanya berasal dari Allah, dan kesalahana sepenuhnya ada diri saya...

Rabu, 25 November 2009

forum di www.politikana.com (1)

junaid; coba mas baca kalimat mas sendiri dulu, dan merenung, cita-cita mengejar 'bayang-bayang keadilan' mungkin akan terasa lebih adil jika TIDAK menyamaratakan bahwa anda (atau sekelompok orang, atau sebuah organisasi) adalah pemegang 'keadilan Tuhan', dibaca lagi ya kalimat anda mas, sambil menyebut nama Tuhan dalam hati

setelah saya membaca, merenung dan mengamati tulisan saya terdahulu, saya tidak mendapatkan adanya “penyamarataan” keadilan spt yg anda maksud, yg saya dapatkan hanya keluh kesah saya tentang mencari di mana letak keadilan di dalam demokrasi? (berikut kutipan tulisan saya, “mereka berbicara HAM, sedang HAT (Hak Asasi Tuhan) tidak pernah mereka tunaikan, mereka berbicara emansipasi wanita, emansipasi spt apa? (Wanita menggantikan pria bekerja & pria menggantikan wanita hamil?), mereka berbicara “kita harus menegakkan keadilan dan kedamaian”, sedang keadilan & kedamaian thdp pemeluk agama lain di abaikan (kasus ahmadiyah)….. gak usah jauh-jauh, ambil contoh kasus FPI yg menyerang AKKBB beberapa tahun lalu, mereka dituduh subversif (pemecah belah) karena melakukan kekerasan di muka umum bahkan dituduh teroris (preman berjubah --label yg diberikan oleh islam liberal), namun apa jadinya jika itu terjadi ketika para suporter sepakbola saling tawuran di jalan? Toh sama-sama menggunakan kekerasan toh…? Apakah itu berlaku juga bagi suporter bola? Saya hanya bisa terheran-heran menyaksikan stigma itu terjadi.
Ketidak adilan inilah yg saya rasakan, andaikan Bush dituduh teroris pun saya dukung, justru itu tidak terjadi, dunia nampaknya diam atas kekejamannya membantai 1 juta warga Irak! Ketika Imam Samudera hanya tinggal diam menunggu waktu hukuman eksekusi tiba, justru Bush di sambut dgn mulia oleh SBY walaupun harus menelan dana milyaran rupiah. Dimana letak keadilan?
Jika keadilan ada di demokrasi, mengapa rakyat miskin tidak pernah merasakan pendidikan tinggi?
Jika keadilan ada di demokrasi, mengapa Freeport seolah dibiarkan merampok berton-ton emas di papua?
Jika keadilan ada di demokrasi, mengapa wacana syariah selalu menjadi sasaran ‘empuk’ yg sudah out of date bahkan tak layak lagi mengelola negara?
Jika saudara ndaru konsisten dgn sikap pragmatisnya (realitas), saran saya adalah, jgn ragu untuk mengatakan juga bahwa demokrasi out of date, demokrasi juga gagal dlm usahanya mensejahterakan rakyat diseluruh dunia… demokrasi gagal memberikan keadilan dan kedamaian kepada semua pemeluk agama.
Itu menurut saya lebih bijak daripada harus terus membelalakan mata thdp syariah sedang ketika demokrasi nyata di depan mata sudah semakin rusak anda menutup mata…”) coba deh dilihat lagi…

Mengenai ‘pemegang “keadilan Tuhan”’, terlebih dulu harus dibedakan mana suara yg keluar dari hawa nafsu & mana suara yg keluar dari aturan yg ‘seharusnya’, diluar jalan sana banyak bertebaran suara-suara pihak yg merasa ‘mendaku’, merasa golongannya paling benar dan merasa apa yg disampaikannya pun tidak ada yg salah, apakah ini wajar? Ya, ini memang wajar, mereka merasa memiliki konsep & argumentasi sendiri-sendiri, dan selama sumbernya (ide yg menjadi konsep berfikir/ide-ologi) tidak sama maka jangan harap argumentasi akan sama, minimal mencapai kata sepakat utk tidak sepakat, kenapa? Karena sama-sama mempertahankan ide yg menjadi tolok ukurnya. Tapi --sekali lagi-- manakah yg keluar dari hawa nafsu dan mana yg keluar dari aturan yg ‘seharusnya (das sollen)’.

Disini saya tidak akan mendaku dan --mudah-mudahan-- tidak akan menulis apa pun selain aturan yg ‘seharusnya (das sollen)’. Jadi, kpd saudara ndaru bisa melihat mana yg keluar dari tulisan saya ‘murni’ dgn tulisan yg keluar dari aturan yg ‘seharusnya (das sollen)’. (mudahan gak bosen neh…)

Di alam demokrasi yg –katanya-- suara rakyat adalah suara tuhan (vox populi vox dei) merupakan sebuah proses/konsepsi final yg tidak dpt diganggu gugat bagi negeri kita Indonesia. Sebagai penganut demokrasi yg ‘taat’, Pemilu (proses prosedural) merupakan metode yg harus diambil guna menjalankan roda pemerintahan (konsekuensi logis demokrasi). Pasalnya pemilu sudah menjadi menu wajib yg harus digelar tiap 5 tahun sekali jika tidak maka roda pemerintahan tidak akan pernah berputar. Pemilu adalah memilih orang yg akan masuk di gedung DPR RI/DPRD dan memilih Presiden utk memimpin Indonesia dalam 5 tahun ke depan nantinya. DPR RI bertindak sebagai legislator dan Presiden bertindak sebagai Eksekutor. Sebagai lembaga pembuat UU dan UUD, DPR RI/DPRD merupakan tempat dimana perwakilan suara-suara rakyat berada. DPR RI/DPRD juga bisa dikatakan merupakan tempat bertumpunya harapan & cita-cita rakyat untuk memperbaiki nasibnya (spt yg kita saksikan sebagaimana dinamika seputar Pemilu 2009) 5 tahun ke depan, DPR RI/DPRD pula menjadi tempat dimana seluruh aturan dan perundang-undangan dibuat dan di sahkan (UU, UUD dll). Dengan regulasi-regulasi UU yg lahir dari rahim, DPR RI/DPRD pun melaksanakannya dgn penuh amanat. Seperti yg kita dapat baca UUD 1945 di pasal 1 (2) “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Pasal 2 (1) “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.”

Jika di alam demokrasi yg menjadi hak kedaulatan adalah rakyat, maka di dalam islam yg menjadi hak kedaulatan adalah syariah. Sesungguhnya hak menetapkan hukum itu adalah pada Allah, Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik. (TQS. Al An’am [6] :57)‘’. Tapi faktanya, apa yg disuarakan sebagai kedaulatan rakyat pada pasal di atas itu pun tidak pernah menjadi kenyataan, rakyat masih ‘bersabar’ ketika pemerintah (presiden dgn persetujuan DPR) menaikkan harga BBM walaupun rakyat tidak menginginkannya. Rakyat harus gigit jari ketika regulasi UU Penanaman Modal (yg dibuat DPR) yg berbau ekonomi neoliberal dgn ‘paksa’ menjarah harta kekayaan rakyat utk membayar hutang negara. Baru-baru ini SBY menandatangani bantuan (utang) ADB (Asian Development Bank) di Bali guna mengatasi krisis ekonomi, apakah rakyat pernah mengizinkannya? (bagaimana hendak melunasi hutang bila SBY membuat hutang baru lagi?)

Itu hanya satu pasal yg bermasalah di dalam UUD 1945, belum seluruh pasal yg kalau dibiarkan, alamat hancurlah negeri indonesia. Menentukan hukum merupakan hal pokok dan mutlak utk ditentukan. Ia tidak bisa sembarang dan tidak bisa mengambil aturan yg berasal dari akhlak rusak lagi merusak. Apakah demokrasi rusak, pertama, demokrasi lahir dari kehendak rakyat dgn begitu rakyatlah yg menjadi penentu kebijakan melalui perwakilan mereka. Andai kata rakyat yg menjadi objeknya sedang mengalami dekadensi moral dan aktivitas sosial yg akut, apakah UU yg lahir dpt diharapkan melahirkan aturan yg baik & berakhlak mulia? Sungguh sombong memang manusia, baru memiliki otak yg tidak seberapa sudah bisa membuat aturan bagi dirinya sendiri? Apakah ini yg anda inginkan?

Berkaitan aturan yg seharusnya (das sollen), ini pun tidak berjalan sebagai mana mestinya, rakyat telah dikhianati, pemerintah telah membuat kebohongan publik, pemerintah dgn jargonnya ‘suara rakyat adalah suara tuhan’ sangat bertolak belakang dgn kenyataan (das sein). Maka dari itu saya menulis “problemnya adalah perbedaan antara realitas (das sein) dengan yg seharusnya (das sollen).” Publik pun mengetahui mana yg konsisten dgn yg seharusnya (das sollen) dan mana yg mencla mencle (inkonsisten), maka wajar, Osama Bin Laden hingga hari ini masih memegang teguh prinsipnya, para mutjahid-mutjahid yg masih setia dgn prinsipnya, mengenai PKS? Ah, itulah politik praktis, yg lawan bisa menjadi kawan dan yg dulunya kawan bisa menjadi lawan, inilah alam demokrasi yg penuh tipu muslihat, ideology pun digadaikan hanya demi meraup beberapa kursi di DPR RI/DRPD saja, apakah ini yg anda inginkan?

Kedua, bagi yg berakal sehat, problematika hidup berdemokrasi sudah selayaknya out of date, demokrasi gagal mengurusi perikehidupan manusia, kata Amien Rais, “demokrasi merupakan sistem manipulatif, dia bisa berubah menjadi rasis bahkan fasis.” Inilah konsekuensi hidup berdemokrasi, pembantaian etnis (kasus sampit, ambon, dll), disintregrasi bangsa (kasus Timor Timur, OPM, GAM, dll), aksi tawuran di jalan-jalan (hasil pendidikan sekuler?), aborsi, pemerkosaan, pencurian, pembunuhan, dll. Apakah ini yg anda inginkan? Bagi yg berakal sehat jelas tidak menginginkannya…

Ketiga, dgn kenyataan ini, maka saya berkesimpulan, “ternyata, aktivis demokrasi itu hidup di dalam konsisten untuk inkonsisten.” Mereka membuat aturan-aturan tapi jangan harap mereka melaksanakannya. Mereka mengatakan hari ini A, esok jangan harap mereka mengatakannya lagi. Mereka mengatakan akan melaksanakan ekonomi kerakyatan & mandiri, jangan harap setelah mereka menjadi pemimpin bangsa hal itu dilaksanakannya. Apakah ini yg anda inginkan? Seperti yg saya katakan sebelumnya “Problemnya adalah adanya perbedaan antara realitas (das sein) dan yg seharusnya (das sollen).” Problemnya yg sekarang adalah yg seharusnya (das sollen) saja sudah bermasalah apalagi implementasinya.

Jika anda berargumen, “… cita-cita mengejar 'bayang-bayang keadilan' mungkin akan terasa lebih adil jika TIDAK menyamaratakan bahwa anda (atau sekelompok orang, atau sebuah organisasi) adalah pemegang 'keadilan Tuhan'… “ pernyataan anda itu sudah basi! Yg sekarang harus dicari adalah solusi, bukan pernyataan yg kalau pun orang mikir, sekelompok orang atau sebuah organisasi itu pun pasti mencari solusi mengatasi krisis multidimensi ini, bukan berdiam diri saja sembari mengkritik.

Walhasil, SOLUSI APA yg bisa anda tawarkan untuk menyelamatkan bangsa kita? Kebanyakan aktivis demokrasi hanya bisa mencari kelemahan (selalu membantah dan terus membantah) syariah tanpa memberikan solusi konkrit!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar