saya hanyalah manusia biasa, yg banyak dipenuhi oleh salah dan khilaf, oleh karena itu jikalau ada postingan saya yg kurang berkenan di hati saudara pembaca sekalian, mohon dimaafkan lahir bathin, karena kebenaran hanya berasal dari Allah, dan kesalahana sepenuhnya ada diri saya...

Sabtu, 19 Maret 2011

perbincangan tentang tuhan

Siang itu, cuaca cukup bersahabat. Tidak begitu panas, tapi juga tidak begitu dingin dan berangin.
Aku dan dua orang sahabat sedang duduk sambil menikmati makan siang di kantin milik Universitas.
Kedua sahabatku ini bukanlah orang pribumi. Yang seorang (sebut saja si V) berasal dari Vietnam, dan yang seorang lagi (sebut saja si M) berasal dari Maroko.
Awalnya kami berbincang masalah masalah ringan seputar pelajaran, dosen, sampai masalah cari pacar.
Sampai pada suatu titik, aku melakukan suatu kesalahan fatal dengan bertanya pada si V;
"Boleh ku tahu agamamu apa V? Tanyaku sambil masih mengunyah mie goreng panas.
"Aku protestan, tapi tidak percaya kalau tuhan itu ada!" Jawabnya singkat disertai senyum.
Jujur, ini bukanlah pertama kalinya aku mendengar kalau seorang adalah atheis. Tapi rupanya pernyataan si V adalah berita baru bagi si M.
"Mengapa kamu tidak percaya tuhan?" Si M bertanya langsung.
"Mengapa kamu percaya Tuhan?" Si V balik bertanya.
"Karena saya beragama, dan salah satu keharusan seorang yang beragama adalah percaya pada tuhan!"
Si V meletakkan peralatan makan yang digunakannya seraya memandangi si M masih disertai senyum tipis ramah khas- miliknya.
"Kalau begitu saya ralat jawaban saya tadi" Katanya padaku "Saya bukan seorang protestan. Saya atheis, tapi kalian bisa menganggap saya protestan kalau kalian suka"
Kami diam beberapa jurus. Aku dan si V melanjutkan acara makan siang kami, sedang si M masih sedikit berfikir.
"Apa yang menyebabkan kamu memilih menjadi atheis?" Si M bertanya tiba tiba.
"Tidak ada alasan khusus, saya hanya tidak bisa percaya pada sesuatu yang tidak konkret. Tuhan misalnya" jawabnya.
"Tuhan itu ada dan kamu hanya harus percaya bahwa dia itu ada!" Si M berkata. Nada suaranya terdengar bersahabat, tapi aku merasa ada sesuatu pada kata katanya barusan.
"Apa yang membuatmu percaya kalau Dia itu ada?" si V bertanya balik.
"Ada sesuatu yang tidak perlu kau lihat untuk dapat kau percayai kawan!" Si M berkata "Tuhan itu seperti cinta. Tidak dapat kau lihat, tapi dapat kaurasakan dan aku yakin kau tahu bahwa cinta itu ada!"
Si V lagi lagi tersenyum mendengar kata kata si M.
"Cinta itu adalah suatu proses pada otak manusia yang sayangnya aku tak begitu mengerti tentangnya!" Ia mengelap bibirnya dengan tisue "Sedang Tuhan adalah suatu hal yang manusia ciptakan untuk memenuhi kebutuhan mereka akan pengetahuan yang tidak dapat mereka ketahui"
"Aku tidak mengerti maksudmu" Si M mengerutkan kaning saat bertanya demikian.
"masudku, banyak sekali hal hal yang tidak bisa manusia buktikan dengan akal, Hantu misalnya" Si V menenggak sedikit minumannya "dan untuk itu mereka butuh sesuatu untuk menjawab masalah itu. Tuhan-lah jawabannya"

Aku terpana mendengar kata kata si V barusan. Bukan karena kekuatan dari tiap suku kata atau keyakinannya pada kekuatan kata katanya, tapi lebih daripada itu. Aku berfikir bahwa "MUNGKIN" ia ada benarnya juga.
Sebenarnya aku tidak ingin mendiskusikan masalah kepercayaan secara terang terangan seperti ini, tapi lambat laun, aku jadi tertarik juga mendengar mereka berdebat.
"Maksudmu, tuhan itu hasil karya manusia?" Akhirnya aku membuka mulutku "-yang manusia gunakan untuk menjawab pertanyaan yang tidak terjawab?"
"ya, itu maksudku" Si V tersenyum padaku.
"manusia selalu mencoba untuk mencari jawaban yang pasti dari setiap permasalahan yang mereka hadapi" Gumamku pada kedua sahabatku " berarti manusia adalah mahkluk yang konkret karena memikirkan jawaban yang tak pasti dari suatu permasalahan yang tak pasti pula!"
"Hm...aku tidak begitu mengerti apa yang baru saja kau katakan kawan, tapi sepertinya masuk akal" Kata si V.
"Berarti tuhan adalah sesuatu yang konkret, karena ia adalah jawaban paling konkret dari sesuatu yang tidak konkret" kataku berapi api
"Maksudmu apa?" Si M bertanya.
"Maksudku, Jawaban yang paling konkret untuk sesuatu yang tidak terjawab adalah sesuatu yang tidak terjawab pula!" Kataku " karena itu, tuhan bukanlah sesuatu yang tidak konkret, malah sebaliknya karena ia adalah jawaban dari sesuatu yang tak terjawab!"
Mereka berdua menatapku dengan pandangan bertanya.
"Aku tak begitu mengerti maksudmu kawan, tapi tadi itu terdengar cukup masuk akal" Si M berkomentar.
"kurasa kita memang butuh jawaban tidak jelas untuk pertanyaan tak jelas macam itu kan?" Si V mengacak acak rambutku.
Kami mencoba mengganti tema pembicaraan.
Buatku, jawaban yang baru saja kuutarakan pada kedua sahabatku tadi memberiku suatu pertanyaan lagi.
Tapi kurasa hari ini sudah cukup kami membahas satu pertanyaan tanpa jawaban. Aku tak ingin menambahnya jadi dua pertanyaan tak terjawab.

Senin, 14 Maret 2011

membaca pikiran tuhan

Atheis : Pada suatu saat, tuhan-tuhan digunakan sebagai penjelasan bagi segala bentuk fenomena fisik semacam angina, hujan, dan gerak planet. Begitu sains mengalami kemajuan, maka agen-agen supranatural ditemukan tak berguna lagi sebagai penjelasan untuk kejadian-kejadian alamiah. Mengapa anda menegaskan keikutsertaan Tuhan untuk menjelaskan dentuman besar?

Theis : Sains yang anda miliki tak dapat menjelaskan segala sesuatu. Dunia penuh dengan misteri. Umpamanya, ahli-ahli biologi yang paling optimistis sekalipun mengakui bahwa mereka dibingungkan oleh asal-usul kehidupan.

Atheis : Saya sepakat bahwa sains belum menjelaskan segala sesuatu, tetapi itu tidak berarti ia tidak dapat. Para penganut theisme senantiasa tergoda untuk memanfaatkan proses apapun yang sains tak dapat menjelaskannya pada waktu itu dan mengklaim bahwa tuhan masih diperlukan untuk menjelaskannya. Lalu, begitu sains mengalami kemajuan, tuhan pun ditekan keluar. Anda harus mengambil pelajaran bahwa "Tuhan pengisi celah" ( god of the gaps) bukanlah hipotesis yang dapat dipercaya. Begitu waktu berlanjut, kian lama kian sedikit celah-celah yang tersisa untuk didiami-Nya. Secara pribadi, saya tidak melihat ada persoalan dalam sains untuk menjelaskan seluruh fenomena alamiah, termasuk asal-usul kehidupan. Saya mengakui bahwa asal-usul alam semesta merupakan sebiji kacang yang terlalu keas untuk dipecahkan. Tetapi jika, sebagaimana ta,paknya, kita saat ini telah mencapai tahap dimana satu-satunya celah yang tertinggal adalah dentuman besar (big bang). Maka mengikutsertakan konsep tentang wujud supranatural yang telah dipecat dari segala yang lain, dalam kapasitas "selokan pamungkas" semacam ini, menjadi sangat tidak memuaskan.

Theis : Saya tidak mengerti mengapa. Sekalipun anda menolak ide bahwa Tuhan dapat bertindak langsung dalam dunia fisik, sekali ia telah diciptakan, persoalan tentang asal usul terakhir dunia itu berada dalam kategori yang sama sekali berbeda dari persoalan menjelaskan fenomena-fenomena alamiah segera sesudah dunia eksis.

Atheis : Tetapi anda tidak memiliki alasan lain untuk mempercayai eksistensi tuhan, maka sekedar menyatakan "Tuhan menciptakan alam semesta" menjadi sepenuhnya ad hoc. Ia sama sekali bukan penjelasan. Sebenarnya, statement tersebut secara esensial hampa makna, karena anda sekedar mendefinisikan Tuhan sebagai agen yang menciptakan alam semesta. Pemahaman saya tidak berkembang lebih jauh dengan perlengkapan ini. Satu misteri (asal usul alam semesta) dijelaskan hanya dari sisi pandang yang lain (Tuhan). Sebagai seorang ilmuwan saya tertarik kepada pisau cukur Occam, yang kemudian mendiktekan bahwa hipotesis Tuhan ditolak sebagai sebuah komplikasi yang tidak diperlukan. Betapa pun juga, saya terdorong untuk bertanya, apa yang menciptakan Tuhan?

Theis : Tuhan tidak memerlukan pencipta. Dia adalah satu wujud niscaya - dia mesti eksis. Tidak ada pilihan dalam masalah ini.

Atheis : Tetapi orang mungkin juga menegaskan bahwa alam semesta tidak membutuhkan pencipta. Logika apapun untuk menjustifikasi eksistensi niscaya tuhan dapat sama-sama baik, dan dengan simplisitas yang mengandung manfaat, diterapkan pada alam semesta.

Theis : Tentu saja ilmuwan sering mengikuti penalaran yang sama seperti yang saya miliki. Mengapa sebuah benda jatuh? Karena gaya berat bekerja pada benda itu. Mengapa gaya berat bekerja padanya? Karena ada medan gravitasi. Mengapa? Karena ruang-waktu melengkung. Dan seterusnya. Anda sedang menggantikan satu deskripsi dengan deskripsi lain, yang lebih mendalam, yang tujuannya sekedar untuk menjelaskan sesuatu yang anda mulai, yaitu benda-benda yang jatuh. Mengapa anda kemudian keberatan ketika saya melibatkan Tuhan sebagai penjelasan yang lebih mendalam dan lebih memuaskan tentang alam semesta?

Atheis : Ah, tetapi itu berbeda! Sebuah teori ilmiah harus berarti lebih dari sekedar fakta-fakta yang sedang diupayakan untuk dijelaskan. Teori-teori yang baik memberikan sebuah gambaran yang menyederhanakan tentang alam dengan membangun pertautan-pertautan antara fenomena-fenomena yang terputus sampai sekarang ini. Teori gravitasi Newton, umpamanya, membuktikan sebuah pertautan antara gelombang lautan dan gerak bulan. Di samping itu, teori-teori yang baik menyarankan pengujian-pengujian observasional, semacam memprediksi adanya fenomena-fenomena baru. Mereka juga menyediakan gambaran-gambaran mekanistik terinci tentang bagaimana persisnya proses-proses perhatian fisik terjadi dari sisi pandang konsep-konsep dalam teori itu. Dalam kasus gravitasi, ini melalui serangkaian persamaan yang mempertautkan kekuatan medan gravitasi dengan hakikat sumber-sumber pengendapan. Teori ini memberi anda mekanisme yang cermat tentang bagaimana benda-benda bekerja. Sebaliknya, satu Tuhan yang diikutsertakan hanya untuk menjelaskan big bang gagal menurut kriteria secara keseluruhan. Jauh dari menyederhanakan pandangan kita tentang dunia, Sang Pencipta itu sendiri memperkenalkan sisi tambahan yang menyulitkan. Kedua, tidak ada cara dengan mana kita dapat menguji hipotesis secara eksperimental. Hanya ada satu tempat dimana Tuhan semacam itu termanifestasikan, yaitu Big Bang, itu pun berakhir dan telah matang. Akhirnya perwujudan bulat "Tuhan menciptakan alam semesta" gagal menyediakan penjelasan riil apapun kecuali jika ia disertai sebuah mekanisme terinci. Umpamanya, orang ingin mengetahui perlengkapan-perlengkapan apa untuk menunjukkan Tuhan ini, dan bagaimana persisnya Dia bergerak di sekitar penciptaan alam semesta, mengapa alam semesta memiliki bentuk seperti adanya, dan seterusnya. Singkatnya, kecuali jika anda dapat menyediakan bukti dengan cara tertentu yang lain bahwa Tuhan semacam itu ada, atau selain itu dapat memberikan sebuah gambaran terinci tentang bagaimana Dia membuat alam semesta yang orang atheis semacam saya sekalipun akan menghargainya lebih mendalam, lebih sederhana, dan lebih memuaskan, saya tidak melihat alasan untuk mempercayai wujud semacam itu.

Theis : Meskipun begitu, posisi anda sendiri sangat tidak memuaskan, karena anda mengakui bahwa alasan untuk big bang terletak di luar lingkup sains. Anda terpaksa menerima asal-usul alam semesta sebagai sebuah fakta kasar, tanpa level penjelasan yang lebih dalam.

Atheis : Saya agak lebih menerima eksistensi alam semesta sebagai sebuah fakta kasar ketimbang menerima tuhan sebagai sebuah fakta kasar. Bagaimanapun juga, harus ada satu alam semesta bagi kita, untuk berada di sini guna berargumentasi tentang benda-benda ini!

(dikutip dari buku Membaca Pikiran Tuhan, karya Paul Davies, halaman 74-79)

ngakak ember...

saya mau ngakak rasanya, kenapa? hahaha... setelah kejadian gempa bumi 8,9 sr yg menyebabkan tsunami menyapu kota besar setelah tokyo (kota miyagi dll) itu, ternyata masih saja ada penggemar miyabi yg menanyakan kabarnya.

betapa tidak saya ngakak, saat rakyat indonesia yg --katanya-- merasakan beban BBM yg kacau pengelolaannya itu oleh pemerintah, ternyata alam bawah sadar penggemar miyabi masih tidak bisa hilang dari ingatan.

coba bandingkan dgn kasus Ust. Abu Bakar Ba'asyir yg diseret dgn tuduhan dugaan terorisme, tidak ada satupun headline berita yg menanyakan kabar beliau, sekedar "say hello..." atau bagaimana umur setua itu masih saja di keroyok oleh hakim-hakim yg tidak tau malu!!

okelah, kalau dianggap saya berlebihan membandingkan kedua pihak di atas itu. tetapi seenggaknya rasa senasib sepenanggungan sebagai orang yg sama2 tinggal di tanah air indonesia agaknya lebih mendahulukan warga negara sendiri, dibanding warga negara lain --yg imbas perbuatan justru membuat sengsara remaja di indonesia.

hahaha... tunggu sebentar, saya mau ngakak lagi....

ehem, baiklah, sekedar informasi saja, Ust ABB menurut informasi yg ada sidang hari diwarnai oleh walk out oleh Ust ABB beserta tim pengacaranya, karena menolak kehadiran saksi secara teleconference, terang aja mana ada yg bisa di katakan valid bila kesaksiannya seperti itu.

apalagi bila itu memberatkan Ust ABB, wajar bila pendukung Ust ABB berteriak lantang "teleconference bohong!!" apa pun itu, kesaksian secara teleconference memang tidak di benarkan bila itu untuk memberatkan terdakwa.

inilah runyamnya sistem ala borjuis yg tidak berpihak kpd rakyat bawah yg termarjinalkan. utk sekedar membela orang yg masih "diduga" saja susahnya minta ampun, apalagi bila di dalamnya ada kepentingan yg memberatkan.

inilah negeriku, negeri kaum terlaknat yg tidak pernah memperhatikan para Ustadz yg salih, yg tidak pernah memperhatikan rakyat jelata yg tinggal di gerobak, yg tidak pernah memperhatikan aspirasi umat islam yg sedang di tindas oleh penjajah --yg katanya-- sahabat itu. []

Jumat, 11 Maret 2011

earthquake & tsunami

copas from komunitas ateis indonesia
2004 earthquake & tsunami
>religious people
>burqa, burqa everywhere
>mediocre technology
...>220,000 death toll (it's over 9000!)

2011 earthquake & tsunami
>non-religious people
>porn, porn everywhere
>beyond-awesome technology
>less than 100 death toll so far

Shit should tell you about something!
- D.A.
• Caelist •
----------------------------------------------------------------------------------
data di atas tidak ada yg istimewa, mgkn komunitas ateis indonesia hendak memberikan fakta bahwa ternyata manusia yg gemar alkohol, sex party, dgn tingkat kemajuan teknologi di atas negara lain mengalami musibah dgn korban yg sangat sedikit (jepang kurang dari 100 jiwa) di banding aceh (220ribu jiwa) dgn julukannya serambi mekkah.
menurut pendapat saya, tidak ada yg istimewa dari data di atas. ada atau tidak ada musibah sekali pun, manusia tetaplah ada yg teis dan ada yg ateis, sekali pun --mungkin-- Allah cinta dan murka kepada dua pihak itu.
dan ada musibah menunjukkan sebenarnya, Allah hendak memberikan kasih sayangnya --sekali pun itu musibah semacam gempa dan tsunami-- karena tidak ada yg tidak baik bagi muslim, walau pun seorang muslim (teis) mendapat musibah maka itu baik bagi dirinya jika dihadapi dgn sabar dan tawakal, dan bila muslim (teis) mendapat kebahagiaan di dlm hidupnya maka itu pun baik bagi dirinya jika di hadapi dgn syukur dan tawadhu thdp keadaan.
lalu, bagaimana dgn ateis? kecenderungan manusia (yg tdk mengenal islam) lebih kepada yg enak dan menyenangkan bagi dirinya, maka jika mendapatkan musibah --semacam gempa & tsunami-- itu dianggap sebagai kiamat atau bisa jadi hidupnya sedang sial pd hari itu.
alhasil, ada atau tidak ada musibah, hidup seorang teis tetaplah apa adanya, tapi tidak juga mengalir seperti air. akan tetapi ke-tawakal-an & ikhtiar hidupnya selalu dijaga hingga apa pun yg di hadapinya akan dapat dilalui dgn hanya bergantung kepada Allah Swt saja, tidak yg lain. 
ya Allah.. ya Rabb, segala puja dan puji hanyalah milik-Mu saja. []

Selasa, 08 Maret 2011

penonton yang tidak seru!

bukan karena pemain yg tidak cakap menggiring bola ke jala gawang, bukan itu, tetapi karena penonton yg tidak seru, penonton yg egois, mereka tidak percaya bahwa sang pemain sanggup menggiring bola masuk ke kandang gawang.

kadangkala kita menyaksikan, persepsi orang bisa jadi mempengaruhi penilaian kita terhadap sesuatu. bagaimana mungkin ketika kita yg memiliki urusan selalu saja menggantungkan sikap terhadap persepsi orang lain yg belum tentu tidak mengerti keadaan sesungguhnya.

akan tetapi, patut direnungkan, bukan hanya persepsi orang lain saja yg membentuk kita terhadap lingkungan yg kita hadapi, tetapi persepsi itu seringkali membuat kita tidak berdaya di ambil apabila tidak ada faktor persepsi orang lain tadi.

harap maklum, bukan saya hendak memprovokasi anda utk mengikuti persepsi saya yg bisa jadi tidak sama dengan anda, tapi cobalah seandainya tidak ada pendapat-pendapat umum disekitar anda yg dapat menguatkan atau bahkan memberikan alternatif lain disamping pilihan-pilihan yg tidak masuk akal --menurut kita-- yg akhirnya menyebabkan rasa penyesalan.

biasanya, mahasiswa semester akhir yg hendak lulus terkadang bimbang, antara mengikuti persepsi orang lain yg katanya bekerja di bank itu nikmat bisa menapaki karier yg menjanjikan, atau mengikuti kawan menggeluti bisnis MLM yg katanya bisa membebaskan kamu dari rutinitas pekerjaan dan terbelit oleh uang yg bahasa gaulnya bebas finansial.

atau mewujudkan cita-cita waktu ingus kamu naik turun ala bunge jumping yg warnanya kehijauan itu, menjadi dokter, menjadi abdi negara ala tentara di medan perang dgn ransel dan sepatu laras lengkap dgn sangkur di sampingnya.

ya, kadangkala kita mendengar keputusasaan kawan kita lainnya yg katanya hanya mengikuti kemana air mengalir, ya kalau mengalirnya ke ember yg penuh dengan emas, coba ngalir ke comberan yg penuh dgn isi perut di sana sini.

tapi sekali lagi, kita dihadapkan oleh pilihan yg seringkali membuat kita bimbang, maka, jauhkan keraguanmu itu, jadilah sebagaimana yg kamu inginkan, jadilah abdi Tuhan yg mengabdi kepadaNya seratus persen, insyaAllah kamu menemukan diri kamu tidak sepenuhnya terkendali oleh persepsi orang lain.

kamu akan menemukan dirimu di wilayah tenang, dimana airnya mengalir tenang dan tidak curam. disitulah dirimu akan beraktualisasi mengeluarkan segenap kemampuan dan keahlian yg kamu miliki. yaitu menjadi abdi Tuhan yg bersinergi dgn sekitar.

jadi, acuhkanlah penonton yg selalu saja membuat diri kamu terlupakan oleh tujuan utama dari manusia awal mula di ciptakan, yakni menjadi abdi Tuhan, bukan yg lain. karena memang, penonton kadang kala tidak seru!! []

Jumat, 04 Maret 2011

Untuk HAM, Menghujat Islam! (1)


SAYA tidak mengira bahwa artikel “Ahmadiyah Dibela, Islam Dihujat" di www.hidayatullah.com, 21 Perbruari 2011, mendapat tanggalan serius dari Saudara Saipul Mujani, lewat tulisannya Ahmadi Juga Manusia” di Koran Tempo, 24 Pebruari 2011.

Dalam tulisannya tersebut, ada satu poin penting yang perlu dicatat, yaitu: Saipul mengakui bahwa Ahmadiyah “sesat”. Satu pengakuan yang gentle, lebih maju, dan biasanya jarang ini dilakukan seorang Muslim-Pluralis-Relativis di Indonesia.

Namun demikian, ada satu hal penting yang harus diluruskan dari tulisan Mujani di atas, yaitu: masalah HAM. Lewat pintu HAM ini dia mencoba mengungkapkan “keberatannya” atas kekerasan – jika ini valid dan benar terjadi – atas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Pandeglang beberapa waktu silam.

Untuk itu, dalam masalah ini, penulis perlu memberi tanggapan. Agar tidak memberatkan, tulisan dibagi menjadi dua. Bisa dibaca di tulisan PERTAMA dan KEDUA.  Berikut tanggapan saya:

Pertama, seputar ketakutan dan kekhawatiran Saipul Mujani mengenai Ahmadiyah. Hal ini dapat dipahahmi lewat pengalihan wacana yang digulirkannya. Di mana dia sangat “tidak setuju” dengan aksi pembunuhan yang menimpa JAI. Padahal, siapapun akan sepakat dengan pandangan Mujani ini. Siapapun orang, dari agama apapun, pasti tak menyetujui pembunuhan tanpa alasan. Selain bukan pendapat “baru”, juga merupakan satu hal yang mendasar dalam Islam. Karena Islam “mengharamkan” membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah – untuk dibunuh – kecuali dengan cara yang baik (la taqtulu al-nafsa’l-lati harrama Allahu illa bi’l-haqq, Qs. 17: 33).

Bukan hanya itu, Allah pun menjelaskan bagaimana berharganya “jiwa manusia” itu – terlepas apa agama, bangsa, etnis, suku, maupun warna kulitnya. Dalam hal ini, Allah menyatakan dengan sangat tegas:

“Oleh karena itu, kami tegaskan kepada Bani Israel bahwa ‘siapa saja yang membunuh satu jiwa’, seolah-olah telah membunuh manusia seluruhnya. Dan, siapa saja yang ‘memberi hidup’ kepada seorang jiwa manusia, seakan-akan telah memberi hidup kepada seluruh manusia.” (Qs. 17: 32). Bahkan dalam Islam – seperti dalam buku-buku Ushul al-Fiqh – salah satu yang menjadi dasar al-kulliyyat al-khams dalam Maqashid al-Syari`ah adalah: hifzh al-nafs (menjaga/memelihara jiwa).  Intinya, pandangan Mujani ini bukan hal baru dalam Islam.

Namun yang menjadi problem dalam pandangan Mujani adalah: dia tidak menelisik lebih jauh dan mendalam tentang preseden terjadinya pembunuhan terhadap Ahmadiyah. Untuk itu, perlu dijawab beberapa pertanyaan ini: Apakah benar JAI menjadi sasaran serangan orang-orang Islam di Cikeusik, Pandeglang, Banten? Atau kah biang keladi dari kerusuhan tersebut justru JAI sendiri? Ini yang tidak terjawab dalam tulisan Saipul Mujani.

Padahal, faktanya, Ahmadiyah lah yang memulai ‘bermain api’ dalam kejadian di Banten itu.

Oleh karena itu, pembunuhan terhadap anggota JAI tidak bisa dinisbatkan kepada kaum Muslimin secara sembrono. Karena logikanya bisa dibalik begini: “Bagaimana sekiranya dalam insiden Cikeusik itu yang terbunuh adalah dari kalangan umat Islam?’ Apa kata media? Apa kata HAM-Barat? Apa kata para pembela Ahmadiyah? Pertanyaan-pertanyaan ini sejatinya harus dijawab dengan hikmah, jujur dan adil oleh siapapun yang sungguh-sungguh mencari kebenaran, termasuk pada Mujani.

Kedua, seputar penghargaan terhadap manusia. Menurut Mujani, ini relatif baru, baik dalam sejarah umat Islam maupun Barat. Seolah-olah konsep penghargaan terhadap manusia ini tidak inheren dalam ajaran Islam. Karena dia menyelisik lewat sejarah umat Islam, yang menurutnya tidak lepas dari aksi berdarah-darah. Apakah aksi berdarah-darah dalam sejarah umat manusia berhubungan dengan keyakinin (agama) atau politik? Ini yang tidak ditelaah lebih jauh oleh Mujani dalam tulisannya. Padahal, semua aksi pembunuhan yang ada dalam Islam tidak bisa dikaitkan dengan agama Islam (al-din al-islami), melainkan oleh para penguasa akibat tidak mengaitkan politik dengan agama. Sehingga, ruh manusiawi dari politik itu hilang. Dalam ayat yang penulis kemukakan di atas sangat jelas sikap Islam Bahkan, Allah tidak pernah membeda-bedakan agama, etnik, bangsa, dll, dalam memuliakan manusia. (Qs. 17: 70).

Ketiga, seputar perbedaan aqidah. Berkaitan dengan ini, Mujani menulis sebagai berikut:


“Tidak jadi persoalan bagi saya kalau Qosim berkeyakinan bahwa akidah atau paham Islamnya paling benar dan yang selain itu sesat, sejauh keyakinan itu tidak dipaksakan kepada orang lain lewat negara sedemikian rupa, sehingga paham yang selainnya harus dimusnahkan dari negeri ini seperti yang dialami Ahmadiyah yang tak boleh mendakwahkan keyakinannya. Seperti halnya paham Mu'tazilah tentang barunya al-Quran, dan sebaliknya paham Asy'ariah tentang qadim-nya al-Quran, tidak menjadi masalah kalau saja Mu'tazilah tidak memaksakan pahamnya lewat kekuasaan khalifah Al-Makmun--sehingga muncul kebijakan negara yang mengkafirkan dan melarang mereka yang menolak paham tersebut. Dan sebaliknya, ketika khalifah Mutawakil berkuasa dan menganut paham Asy'ariah, paham Mu'tazilah juga dilarang.”

Masalahnya bukan menganggap Islam kita atau orang lain paling benar atau tidak. Tapi masalahnya adalah: apa benar Ahmadiyah itu ajarannya sesuai dengan Islam atau tidak? Jika tidak, berarti dia di luar Islam.TITIK.


Apakah ada ajaran bahwa yang berbeda harus dimusnahkan? saya kira ini masalah yang harus diselesaikan. Bukankah umat Islam hanya menuntut satu dari dua kemungkinan yang bisa diambil oleh JAI: mereka menjadi agama baru – dan itu bukan Islam – atau dibubarkan – jika masih menganggap agama mereka Islam. Karena selama JAI menganggap agamanya “Islam”, selama itu pula umat Islam tidak akan pernah ridha dengan penodaan ini. Di situ pasti akan terjadi gesekan.

Masalah Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah dan al-Mu`tazilah mengenai khalq al-Qur’an, saya sudah membahasnya panjang lebar dalam tulisan saya terdahulu – Saudara Saipul Mujani bisa menelaah kembali. Intinya: argumentasi apapun yang menyatakan bahwa masalah khalq al-Qur’an masalah aqidah biasa, adalah “keliru”. Karena dasarnya bukan dari Islam, melainkan pengaruh Yahudi dan Kristen. Bagaimana mungkin unsur asing (dakhil) dalam aqidah agama lain bisa mengacak-ngacak keyakinan kita sebagai Muslim? Apakah ini tidak keblinger?


Selain itu, argumentasi kaum al-Mu`tazilah pun dalam masalah khalq al-Qur’an tidak-lah kuat, bahkan cenderung keluar dari teks al-Qur’an yang qat’i ketika menjelaskan bahwa al-Qur’an itu “makhluq”, bukan “qadim”. (Lebih detil, lihat Dr. `Awwad ibn `Abd Allah al-Mu`tiq, al-Mu`tazilah wa Ushuluhum al-Khamsah wa Mawqif Ahl al-Sunnah Minha (Riyad: Maktabah al-Rasyid, 1421 H/2001 M, hlm. 116-126).

Untuk HAM, Menghujat Islam! (2)



 

Keempat, pandangan Mujani seputar agama dan politik. Mujani, menulis, “Saya memang kurang menegaskan bahwa perbedaan paham akidah dalam sejarah itu kemudian menjadi bencana, saling bunuh, muncul peperangan, ketika perbedaan paham itu melekat dengan kekuasaan. Dan kita tidak boleh mengulang persekutuan tidak suci antara agama dan politik itu. Sumber kekerasan atas nama agama itu terjadi ketika ulama dan penguasa berselingkuh.”

Pandangan Mujani di atas menegaskan posisinya sebagai Muslim-Sekular. Di mana dia menolak penyatuan antara “agama dan politik”. Karena dari perselingkuhan – menurut bahasanya – antara ulama dan penguasa itu lah penyebab lahirnya “kekerasan atas nama agama”. Pandangan ini sejatinya amat simplistis, tidak analitis, dan terkesan dipaksakan.

Islam jelas berbeda dengan Barat-Kristen yang dalam doktrin nya mengatakan: “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah!” (Markus 12: 17).
Jadi, masalah agama dan kekuasaan dalam Kristen memang sejak awal problematik. Tidak demikian halnya dalam Islam. Ulama dalam Islam – yang benar-benar ulama – bisa menjadi corong kritik umat, bukan penjilat.

Hal ini terbukti dalam sejarah para ulama Muslim bermartabat, semisal: Imam al-Syafi`I, Imam Ahmad ibn Hanbal, Imam Abu Hamid al-Ghazali, Ibn Taimiyah, Ibn Rusyd, dsb. Jadi, ulama seJAIi adalah: yang tidak dekat dengan kekuasaan, bukan fuqaha’ al-sulthan, yang berfatwa sesuai ‘pesanan’ dan ‘order’ penguasa. Ini yang bikin celaka umat manusia.

Kelima, intinya adalah HAM-Barat.
Dalam tulisannya “Ahmadi Juga Manusia”, muara maksud Mujani adalah: Ahmadiyah boleh hidup di Indonesia, karena dia punya hak untuk meyakini kebenaran akidahnya dan ajaran agamanya. Memang, kaum liberal-sekular – di mana pun – selalu merusak konsep agama dengan dalih dan dalil HAM. Dengan HAM ini mereka bisa membela Ahmadiyah mati-matian. Kasus kekerasan terhadap JAI di Pandeglang, Banten, ditarik pada konteks “pelanggaran HAM berat”. Namun mereka menutup mata apa yang dilakukan oleh JAI, di mana oleh kaum Muslim dianggap telah merusak aqidah mereka yang sahih. Pelanggaran seperi ini, tidak pernah dianggap melanggar HAM oleh para pembela dan pengusungnya, termasuk Saipul Mujani.

Sebenarnya, umat Islam tidak punya masalah dan tidak akan mempermasalahkan Ahmadiyah hidup di Indonesia atau di mana pun. Tapi dengan syarat: keluar dari Islam dan menjadi agama baru. Biar mereka sejajar dengan agama-agama lain yang ada, seperti: Hindu, Buddha, Kong Hu Chu, Kristen, dlsb. Ini adalah tawaran paling rasional dan mudah dilakukan.

Memang, agak ‘memilukan’ dan cukup ‘memalukan’ jika ada yang menyatakakan bahwa kekerasan terhadap Ahmadiyah melanggar HAM sembari menghunjat Islam. Padahal, penodaan agama yang dilakukan oleh JAI terhadap aqidah Islam lebih dari melanggar HAM. Aqidah bagi umat Islam adalah harga mati: tidak boleh diamandemen sedikitpun. Karena kebenaran aqidah adalah inti dari hidup dan kehidupan umat Islam. Fa`tabiru ya ulil albab!
Penulis adalah guru Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah, Medan-Sumatera Utara. Sekarang tengah menyelesaikan studi di Pascasarjana Institut Studi Islam Darussalam (ISID), Gontor-Jawa Timur

karena kita semua manusia

oleh karena kita manusia, sudah sepantasnya bila kita mengistirahatkan raga ini untuk sejenak. tidak pantas rasanya jika harus membuang energi jauh dari kepantasan kita menyandang beban berat yg akan dikerjakan.

tidak pantas rasanya jika harus bekerja seharian, tidak mengenal waktu dan tanpa batasnya itu. karena jasad ini bukanlah terbuat dari besi yg tahan dari hawa dingin dan udara panas, jasad ini diciptakan utk diistrirahatkan sementara waktu.

setelah itu, barulah bergegas bergerak. alam pun tidak diciptakan dalam semalam, akan tetap memerlukan proses jutaan bahkan milyaran tahun lamanya.

oleh karena itu, jika alam saja memerlukan waktu utk tumbuh dan berkembang, dari yg awalnya panas membara berubah menjadi sejuk seperti sekarang ini di mana kita dapat menyaksikan, hembusan angin sepoi-sepoi di kala duduk di tepi pantai yg indah.

menyusuri taman nan hijau asri, menyemburkan semerbak bau wangi khas. itulah dunia, tanpa kita sandang pun akan begitu adanya.

oleh sebab itu, beristirahatlah bila engkau telah lelah bergerak, beristirahatlah bila engkau telah menguras fikiranmu utk dunia. karena kita diciptakan di dunia utk beristirahat dengan tenang nantinya. []

KEBODOHON, KEMISKINAN & KESENJANGAN SOSIAL

Yg hrs disalahkan : KEBODOHON, KEMISKINAN & KESENJANGAN SOSIAL. Bila ke-3 masalah sosial itu masih ada mk toleransi antar umat tak akan pernah terwujud. Jd ini bukan pd agama dan pengikutnya tapi "SETAN"nya adlh masalah sosial tsb. Buktinya apa? Mudah aja, apakah anda merasa hidup makin susah ato makin mudah skrng ini?
-------------------------------------------------------------------

kebodohan, kemiskinan & kesenjangan sosial memang satu paket. tapi menjadikan ke-3 masalah sosial sbg kambing hitamnya seperti kurang adil. bagaimana bila kebodohan, kemiskinan & kenjangan sosial di dalam masyarakat sudah tidak ada lagi, setiap orang memiliki harta yg cukup utk mencukupi kebutuhan hidupnya, setiap orang memiliki intelektualitas dan penemuan fantastis di bidang yg digelutinya, setiap orang merasakan keamanan, ketentraman dan keharmonisan selalu terjaga di dalam masyarakat.

akan tetapi tidak memiliki moral, kita bisa melihat negara adidaya Amerika yg katanya memiliki / menguasai 80 persen kebutuhan dunia, dan memiliki ilmuwan-ilmuwan yg tidak perlu di tanyakan lagi keilmuwannya. maka, kesenjangan sosial bisa di manipolitisir oleh media massa dgn menampilkan keharmonisan antar tetangga yg terjaga,toleransi antar agama yg terjaga, bahkan para pejabat2 yg gemar freesex luput dari kamera awak media.

mengapa kita hanya fokus pada reaksi, dan tidak mencari akar penyebab dari reaksi. menurut saya, itulah hal yg terbodoh dari yg terbodoh yg pernah ada. seperti keledai yg di colok hidungnya hingga rela saja di tarik ke sana ke mari.

faktanya, bukan karena seorang ibu yg menjual bayinya hanya gara ekonomi sulit melilit ini di jerat hukuman penjara, bukan karena si tukang becak memperkosa anak tetangga yg telah menjadi upahnya saban hari utk mengantarkannya ke sekolah. tapi berilah sedikit ruang, mengapa seorang ibu tega menjual bayinya dan seorang tukang becak manut sama nafsunya memperkosa anak usia tanggung.

dunia jungkir balik, tidak ada yg tidak mungkin di dunia ini, semakin rawan penyakit masyarakat, semakin itu itu pula keanehan-keanehan akan terus muncul pada fenomena dunia ini. ambilah penyakit AIDS, mengapa baru muncul pada abad 20 ini saja. padahal perjalanan usia manusia terbilang cukup lama. jangankan problem penyakit aneh yg muncul, kelakukan-kelakuan manusia dewasa ini sungguh di luar nalar manusia.

itulah bila dunia tidak seimbang, dunia hanya memperturutkan nafsu bejatnya utk menguasai yg lemah dan menindak yg tidak paham hukum. dunia tampaknya berpihak kpd yg kuat, sedang yg lemah di tinggalkan tanpa pelindung begitu saja.

ah, mudahan ricauan tulisan di atas itu, hanya ungkapan dari seorang yg sedang tidak terganggu belajarnya, tingkat keekonomiannya sangat baik, serta tidak terganggu hubungan sosialnya. mudahan saja. []

Rabu, 02 Maret 2011

fakta ateis ?

Komunitas Ateis Indonesia says :

Fakta bahwa ateis tidak percaya pada yang sesuatu yang tak kasat mata, maha kuasa dan menciptakan segalanya di alam semesta (karena suatu alasan), bukan berarti bahwa ateis berpikir manusia tidak lain hanyalah debu di alam semesta, bukan berarti dengan mudahnya membunuh diri sendiri.

Fakta bahwa ateis tidak percaya pada malaikat yang mengawasi manusia dan memberikan manusia keinginannya, bukan berarti bahwa hidup ini tidak berarti dan dengan mudah membunuh sesama munusia

Fakta bahwa ateis tidak percaya pada mukjizat bukan berarti ateis manusia bebal, hanya saja tidak percaya bahwa hal itu terjadi karena intervensi oleh roh-roh.

Fakta bahwa ateis tidak percaya perintah ilahi yang diperlukan untuk nilai-nilai moral, itu tidak berarti bahwa ateis tidak percaya pada benar dan salah

Jangan samakan ateis dengan pembunuh manusia yang mengatasnamakan tuhan
• Caelist •

====================

tetapi mereka masih percaya bahwa kabel listrik itu memiliki daya listrik walau tak kasat mata.

tetapi mereka yakin bahwa panadol, bodrex bisa menyembuhkan ketika mereka sakit walau pun mereka yakin juga bahwa obat itu tidak tampak oleh mata mereka --oleh karena masuk ke dalam tubuh.

bahkan ketika petir menggelegar di atas kepalanya sekali pun, mereka yakin bahwa ada yg lebih besar dan menguasai dunia ini melebih jangkauan akal mereka sendiri yg tidak bisa di sangkal begitu saja tanpa keraguan.

bahwa mereka yakin, pasti jasad ini suatu saat akan mati, dan kematian itu bukan hanya mati membusuk menjadi makanan ulat dan belatung di dalam tanah, akan tetapi suatu saat akan bangkit kembali.

alhasil, tidak ada yg menyangkal akan keberadaan yg maha kuasa, yg menguasai manusia langit dan bumi ini, sekali pun mereka berusaha dgn olah kata bahasa intelektual dengan seluruh keyakinan yg dimilikinya.

jangan samakan teis dgn orang yg menyangkal dan tidak mengakui akan keberadaan yg tidak kasat mata. []

Selasa, 01 Maret 2011

Solusi Problem Ahmadiyah

Protes Bubarkan Ahmadiyah [foto:antara]

"Saya tidak percaya bahwa Mirza Ghulam Ahmad seorang nabi dan belum percaya pula bahwa ia seorang mujaddid [pembaharu]", tulis Ir. Soekarno dalam bukunya, Di Bawah Bendera Revolusi, jilid 1, cetakan ke-2, Gunung Agung Jakarta, 1963, hlm. 345. Mantan Presiden RI pertama itu bukan pertama dan bukan pula satu-satunya yang berpendapat demikian. Jauh sebelumnya, filsuf dan pujangga terkenal Sir Muhammad Iqbal ketika ditanya oleh Jawaharlal Nehru, Perdana Menteri India waktu itu, perihal Ahmadiyah dengan tegas menjawab bahwa wahyu kenabian sudah final dan siapapun yang mengaku dirinya nabi penerima wahyu setelah Muhammad saw adalah pengkhianat kepada Islam: "No revelation the denial of which entails heresy is possible after Muhammad. He who claims such a revelation is a traitor to Islam" (Islam and Ahmadism, cetakanDa'wah Academy Islamabad, 1990hlm. 8).

Iqbal menangkap banyak kemiripan antara gerakanAhmadiyah di India dengan Babiyah di Persia (Iran), yang pendirinya juga mengklaim dapat wahyu sebagai nabi. Menurut Iqbal, tokoh-tokoh kedua aliran sesat ini merupakan alat politik 'belahbambu' kolonialis Inggris -yang waktu itu masih bercokol di India- dan wayang imperialis Russia –yang sempat menjajah Asia Tengah dan sebagian Persia. Akidah mereka adalah 'kepasrahan pada penguasa' (political servility), jelas Iqbal (hlm. 13).
Jika pemerintah Russia mengijinkan Babiyah membuka markas mereka di Ishqabad, Turkmenistan, maka pemerintah Inggris merestui Ahmadiyah mendirikan pusat misi mereka di Woking, wilayah tenggara England. Bag iIqbal, doktrin-doktrin Ahmadiyah hanya akan mengembalikan orang kepada kebodohan. Inti dari Ahmadisme atau Qadianisme –demikian Iqbal lebih suka menyebutnya- adalah rekayasa mencipta sebuah umat baru bagi nabi India (sebagai tandingan nabi Arabia): "to carve out, from the Ummat of the Arabian Prophet, a new ummat for the Indian prophet."(hlm. 2).
Seorang ulama India yang paling disegani pada zamannya, Syed Abul Hasan Ali an-Nadwi telah meneliti secara intensif dan objektif riwayat hidup Mirza Ghulam Ahmad, bagaimana MGA berubah dari seorang santri sederhana menjadi pembela agama (1880) lalumengklaim dirinya imam mahdi alias masihmaw'ud (1891) dan akhirnya mengaku jadi nabi (1901). Kesimpulannya, gerakan Ahmadiyah ini hanya menambah beban pekerjaan-rumah umat Islam, memecah-belah mereka, dan membikin masalah umat kian rumit (Lihat: Qadianism: A Critical Study, cetakan Lucknow 1980, hlm. 155).
Ajaran sesat Ahmadiyah dibawa masuk ke Indonesia sekitar tahun 1925 oleh beberapa pemuda asal Sumatera yang pernah dididik di Qadian, India selama beberapa tahun.Demi menyebarkan pahamnya, misionaris Ahmadiyah telah menerbitkan majalah "Sinar Islam" (sic!), Studi Islam dan Fathi Islam. Keresahan yang ditimbulkan oleh gerakan penyesatan umat ini sempat menyeret mereka beberapa kali ke dalam debat terbuka pada 1933 di Bandung (Lihat: Fawzy S. Thaha, AhmadiyahdalamPersoalan, cetakan Singapura, 1982). Meski telah dinyatakan sesat dan kafir (murtad) oleh tokoh-tokoh Islam pada Muktamar ke-5 Nahdlatul Ulama (NU) tahun 1930 di Pekalongan dan musyawarah Ulama Sumatera Timur tahun 1935 serta oleh Lajnah Radd as-Syubuhat Madrasah Indonesia Islamiyah Mekkah yang dipimpin oleh Syekh Janan Muhammad Tayyib asal Minangkabau, kasus Ahmadiyah kembali mencuat pada 1974 setelah parlemen Pakistan dengan tegas menyatakan penganut Ahmadiyah bukan orang Islam (not Muslim) di mata hokum dan undang-undang negara.
Padatahun 1980 MajelisUlama Indonesia (MUI) yang waktu itu dipimpin Buya Hamka telah pun menetapkan bahwa aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat lagi menyesatkan, dan orang Islam yang menganutnya adalah murtad alias keluar dari Islam (No.05/Kep/Munas/II/MUI/1980). Ketetapan tersebut ditegaskan kembali pada bulan Juli 2005 dalam fatwa resmi MUI yang ditandatangani oleh Prof. Dr. H. Umar Shihab dan Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin. Kemudian DirjenBimas Islam Departemen Agama melalui surat edarannya tahun 1984 telah menyeru seluruh umat Islam agar mewaspadai gerakan Ahmadiyah.
Terakhir, 16 April 2008 lalu Bakorpakem (Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) menyatakan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sebagai kelompok sesat dan oleh karenanya merekomendasikan perlunya diberi peringatan keras lewat suatu keputusan bersama Menteri Agama, JaksaAgung, dan Menteri Dalam Negeri (sesuai dengan UU No 1/PNPS/1965) agar Ahmadiyah menghentikan segala aktivitasnya. Menurut Kepala Badan Litbang dan Diklat Depag, Atho Mudzhar, yang juga Ketua Tim Pemantau, selama tiga bulan Bakorpakem memantau 55 komunitas Ahmadiyah di 33 kabupaten. Sebanyak 35 anggota tim pemantau bertemu 277 warga Ahmadiyah. Ternyata, ajaran Ahmadiyah masih menyimpang. Di seluruh cabang, Mirza Ghulam Ahmad (MGA) tetap dipercayai sebagai nabi setelah Nabi Muhammad saw. Selain itu, penganut Ahmadiyah meyakini kitab Tadzkirah sebagai kumpulan wahyu kepada MGA.
Para penganut dan penyokong Ahmadiyah kerap berkelit dengan tiga dalih mengelirukan. Pertama, dalih bahwa orang Ahmadiyah itu sama dengan orang Islam karena syahadat mereka sama. Padahal, yang esensial bukanlah kesamaan, akan tetapi perbedaan. Orang Ahmadiyah itu berbeda dengan orang Islam bukan karena syahadat atau cara ibadahnya, tetapi karena akidahnya yang meyakini kenabian Mirza Ghulam Ahmad. Sebagaimana disimpulkan olehYohanan Friedman, peneliti dari Hebrew University of Jerusalem: "The core of Ahmadi[yah] thought is its prophetology" (Lihat Prophecy Continous: Aspects of Ahmadi Religious Thought and Its Medieval Background, terbitan University of California Press Berkeley 1989, hlm. 131 dan 181). Dengan begitu, Ahmadiyah tidak sama dengan Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama atau Persatuan Islam yang tokoh-tokohnya sejak KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy'ari, dan A. Hassan tidak satupun pernah mengaku dirinya nabi.
Kedua, dalih bahwa sebagai warga negara penganut Ahmadiyah dijamin kebebasannya oleh konstitusi, dan melarang Ahmadiyah sama dengan melanggar hak asasi manusia (HAM) dan Undang-Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia 1945. Di sini terselip kealpaan dan ketidakmengertian. Alpa dan tidak paham bahwa dalam 'menikmati' kebebasannya setiap warganegara wajib tunduk kepada batasan undang-undang demi terjaminnya penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan demi memenuhi tuntutan keadilan sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Artinya, penyalahgunaan kebebasan (abuse of freedom) ataupun tindakan merusak tata susila, agama, dan lain sebagainya walau atas nama HAM sekalipun tidak bisa dibenarkan. Apa yang diperbuat MGA dengan Ahmadiyahnya ibarat membangun rumah baru di dalam rumah orang lain. Yang dipersoalkan bukanlah hak dan kebebasannya mendirikan rumah, akan tetapi lokasi (di dalam rumah orang lain) dan konsekuensinya (merusak rumah yang sedia ada). Dengan mengakui Mirza Gulam Ahmad sebagai nabi, warga Ahmadiyah telah melakukan penodaan, penghinaan dan perusakan terhadap agama Islam, dimana tidak ada nabi dan rasul lagi pasca wafatnya Muhammad Rasulullah saw.
Lebih dari itu, propaganda Ahmadiyah terbukti menimbulkan keresahan dan perpecahan tidak hanya di dunia Islam, seperti temuan Dr Tony P.Chi dalam disertasinya tentang misi mereka di Amerika (1973), hlm. 134-5: "Ahmadiyya preaching and propagation have instigated unrest and dissension in the Muslim World." Oleh karena itu, solusinya ialah melarang Ahmadiyah atau mengeluarkannya dari 'rumah Islam'. Hanya dengan jalan itu Ahmadisme dengan nabinya (MGA) bisa bebas dan menjadi agama baru seperti halnya ajaran Mormon di Utah, Amerika.  
Ketiga, dalih bahwa kaum Muslim harus mengedepankan kasih sayang daripada kekerasan dalam menyikapi Ahmadiyah. Saran ini lebih tepat disampaikan kepada Pemerintah Amerika dan Israel agar menunjukkan kasih-sayang dan menghentikan kekerasan (violence)terhadap kaum Muslim di Irak dan Palestina. "Abu Bakr as-Shiddiq ra adalah orang yang paling penyayang di kalangan umatku (arhamu ummati)," sabda Rasulullah saw. Namun manakala muncul sekelompok orang yang durhaka kepada Allah dan Rasulullah, beliau tidak segan-segan bertindak atas mereka. "Muhammad utusan Allah dan orang-orang beriman bersamanya bersikap tegas terhadap orang kafir tetapi berkasih-sayang kepada sesama," firman Allah dalam al-Qur'an (48:29).
Perkara Ahmadiyah bukan soal kebebasan beragama. Islam menjamin kebebasan setiap individu untuk memeluk –bukan merusak- agama apapun, sesuai dengan firman Allah: 'Tidak ada paksaan dalam urusan agama' (al-Baqarah 256) serta 'Bagimu agamamu dan bagiku agamaku' (al-Kāfirūn 6). Ayat-ayat ini ditujukan kepada agama lain di luar Islam, bukan terhadap agama dalam agama. Oleh karena itu, Rasulullah saw sebagai kepala negara bersikap tegas kepada para nabi palsu semacam Musaylamah dan Tulayhah: bertobat atau diperangi (Lihat: Imam al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, 13:109).Nah, Mirza Ghulam Ahmad dan pengikutnya telah durhaka kepada Allah dan RasulNya serta melukai Umat Islam. Jika statusnya Muslim, maka sudah semestinya tunduk pada ketetapan hukum Islam yang berlaku. Namun jika statusnya non-Muslim, maka terpulang kepada negara apakah akan mengakui dan melindungi keberadaannya sebagai sebuah agama baru –selain Hindu, Buddha, Islam, Katholik dan Protestan– ataukah sebaliknya.

Inilah Demokrasi, Apakah Anda mau Meninggalkannya?

Kepada mereka yang masih beranggapan bahwa perbedaan pendapat tentang demokrasi adalah perbedaan pendapat dalam ranah wasa'il dan furu'iyyah (cabang agama), tidak menyentuh ranah ushul (pokok agama) dan i'tiqad (keyakinan)….
Kepada para da'i  tambal sulam, koleksi dan penggabungan (manhaj dan ideologi)….
Kepada mereka yang masih tidak mengetahui hakekat demokrasi….
Kepada mereka yang mencampuradukkan –secara dusta– demokrasi dengan syura dan Islam….
Kepada mereka yang memandang bahwa demokrasi adalah solusi terbaik untuk menjawab problematika Islam dan kaum muslimin…
Kepada mereka yang mempropagandakan dan menyerukan demokrasi, kemudian setelah itu mengaku dirinya seorang muslim…
Kepada mereka semua kami katakan, demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Maka tidak boleh ada kepemimpinan yang lebih tinggi dari kedudukan rakyat, dan tidak ada kehendak yang boleh mengatasinya lagi, meskipun itu kehendak Allah. Bahkan dalam pandangan demokrasi dan kaum demokrat, kehendak Allah dianggap sepi dan tidak ada nilainya sama sekali.
Demokrasi adalah suatu sistem yang menjadikan sumber perundang-undangan, penghalalan dan pengharaman sesuatu adalah rakyat, bukan Allah. Hal itu dilakukan dengan cara mengadakan pemilihan umum yang berfungsi untuk memilih wakil-wakil mereka di parleman (lembaga legislatif).
Hal ini berarti bahwa yang dipertuhan, yang disembah dan yang ditaati –dalam hal perundang-undangan– adalah manusia, bukan Allah. Ini adalah tindakan yang menyimpang, bahkan membatalkan prinsip Islam dan tauhid. Di antara dalil yang menunjukkan bahwa sikap demikian merusakkan tauhid adalah,
Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. dia Telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. (Yusuf:40)
dan dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan (al-Kahfi:26)
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? (asy-Syura:21)
Dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.(al-An'am:121)
Oleh karena kalian telah menyembah mereka, dari aspek ketaatan kalian kepada mereka dalam hal menghalalkan yang diharamkan Allah dan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah, maka kalian telah berbuat syirik dengan menyembah mereka. Karena syirik itu, sebagaimana disebutkan di dalam al-Qur'an dan sunnah, adalah mengarahan suatu bentuk ibadah kepada selain Allah.
Demikian juga firman Allah
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah (at-Taubah:31)
Mereka dianggap menjadi arbab (tuhan-tuhan) selain dari Allah, karena mereka telah mengaku berhak membuat tasyri', menghalakan dan mengharamkan sesuatu, dan menetapkan undang-undang.
Demokrasi berarti mengembalikan segala bentuk pertengkaran dan perselisihan, antara hakim dan yang dihukumi kepada rakyat, tidak kepada Allah dan rasul-Nya. Ini adalah penyelewengan dari firman Allah,
Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, Maka putusannya (terserah) kepada Allah. (asy-Syura:10)
Bagi para penganut faham demokrasi akhir ayat ini diganti dengan kalimat, maka putusannya (hukumnya) terserah kepada rakyat, dan bukan diserahkan kepada selain rakyat. Firman Allah,
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. (an-Nisa':59)
Allah menetapkan, bahwa di antara konsekuensi iman adalah mengembalikan persoalan yang diperselisihkan kepada Allah dan Rasul-Nya, yakni dengan mengacu kepada al-Qur'an dan as-Sunnah
Demokrasi adalah, sebuah sistem yang berprinsip pada kebebasan berkeyakinan dan beragama. Seseorang –dalam pandangan demokrasi– boleh berkeyakinan apa saja yang ia maui, bebas memilih agama apa saja yang  ia inginkan. Ia bebas menentukan apa yang ia inginkan, dan seandainya ia menginginkan untuk keluar dari Islam berganti agama lain, atau menjadi seorang atheis, maka tiada masalah dan ia tidak boleh dipermasalahkan.
Adapun hukum Islam berlawanan dengan hal itu. Hukum Islam tunduk kepada ketentuan yang telah disabdakan Rasulullah saw.
Barangsiapa mengganti agamanya maka bunuhlah ia
Menurut hadis tersebut, orang yang keluar dari Islam harus dibunuh, bukan dibiarkan saja. Demikian juga di dalam sabda Rasulullah saw
Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka mengatakan laa ilaha illallah, mendirikan shalat, menunaikan zakat… (HR Bukhari dan Muslim)
Aku diutus di akhir masa, dengan membawa pedang sehingga Allah semata disembah dan tidak disekutukan.
Dan telah maklum bahwa Islam memberikan tiga alternatif untuk ahli kitab, yaitu: masuk Islam, membayar jizyah dengan sikap tunduk, atau perang. Adapun kepada para penyembah berhala, seperti kaum musyrik Arab dan lain-lainnya, maka bagi mereka ada dua lternatif yang bisa dipilih, yaitu masuk islam atau diperangi.
Demikian juga ketika Isa as turun –sebagaimana diinformasikan di dalam as-sunnah– maka ia akan mematahkan salib, membunuh babi, menjatuhkan jizyah, dan tidak menerima ajaran para orang-orang yang menyimpang –termasuk ahlul kitab– selain Islam, atau berperang.
Berdasarkan hakekat nas-nas di atas, dan juga nash syara' lainnya yang mempunyai hubungan dengan masalah ini, kita bisa mendudukkan firman Allah
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); (al-Baqarah:256)
Demokrasi adalah sistem yang berprinsip pada kebebasan berpendapat dan bertindak, apapun bentuk pendapat dan tindakannya, meskipun mencaci maki Allah dan Rasul-Nya serta merusak agama, karena demokrasi tidak mengenal sesuatu yang suci sehingga haram mengkritiknya atau membahasnya panjang lebar. Dan apapun bentuk pengingkaran terhadap kebebasan berarti pengingkaran terhadap sistem demokrasi. Dan itu berarti menghancurkan kebebasan yang suci, dalam pandangan demokrasi dan kaum demokrat.
Inilah hakekat kekufuran terhadap Allah, karena di dalam Islam tidak ada kebebasan untuk mengungkapkan kata-kata kufur dan syirik, tidak ada kebebasan untuk hal yang merusak dan tidak membawa maslahat, tidak ada kebebasan untuk hal yang menghancurkan dan tidak membangun, serta tidak ada kebebasan untuk memecah belah tidak membangun persatuan. Firman Allah
Allah tidak menyukai Ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. (an-Nisa';148)
Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?" Tidak usah kamu minta maaf, Karena kamu kafir sesudah beriman. (at-Taubah:65-66)
Ayat-ayat ini diturunkan berkenaan dengan sekelompok kaum munafik, ditengah perjalanan menuju medan perang Tabuk, mengatakan tentang para shahabat Rasul, "Kami tidak penah melihat orang yang lebih rakus, lebih dusta kata-katanya dan lebih pengecut ketika pertempuran seperti para qurra' ini". Dengan kata-kata itu mereka ditetapkan sebagai orang kafir, setelah sebelumnya dianggap sebagai orang mukmin.
Dan di dalam hadis shahih dinyatakan bahwa Rasulullah saw bersabda,
Sesungguhnya seorang lelaki berkata-kata dengan kata-kata yang dianggapnya tidak apa-apa…70 .. di neraka
Dari Sufyan bin Abdullah ra, ia berkata.
Aku bertanya, Wahai Rasulullah, "Hal apakah yang paling engkau takutkan dari diriku?" Beliau memegang mulut beliau sendiri seraya berkata, "Ini" (at-Tirmidzi dan Ibnu Majah)   
Barangsiapa yang dijaga oleh Allah apayang ada di antara kedua bibirnya dan di antara kedua kakinya, maka ia akanm asuk ke dalam sorga
Adakah orang yang telungkup di neraka pada wajahnya kecuali orang yang menjaga lisannya
Lalu di manakah demokrasi meletakkan adab-adab mulia yang diajarkan oleh Islam yang hanif ini?
Demokrasi adalah sistem sekular dengan segala cabangnya, di mana ia dibangun di atas pemisahan agama dari kehidupan dan kenegaraan. Allah dalam pandangan demokrasi hanya diposisikan di pojok surau dan masjid saja, adapun wilayah-wilayah selain itu, baik dalam wilayah politik, ekonomi, sosial dan lain-lain maka wilayah itu bukan milik agama, wilayah itu semua adalah milik rakyat. Bahkan rakyat berhak menentukan suatu kebijaksanaan untuk dimasukkan ke dalam masjid, meskipun hal itu sebenarnya mengandung kemadlaratan
Lalu mereka Berkata sesuai dengan persangkaan mereka: "Ini untuk Allah dan Ini untuk berhala-berhala kami". Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, Maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka[508]. amat buruklah ketetapan mereka itu. (al-An'am:136)
Mereka mengatakan: "Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)", serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan. (an-Nisa':150-151)
Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. (an-Nisa':151)
Itulah hukum untuk semua bentuk demokrasi sekularisme yang memisahkan antara agama dengan negara dan politik, serta semua urusan hidup manusia, meskipun lisannya menyatakan bahwa dirinya adalah muslim dan mukmin.
Demokrasi adaah sistem yang berpijak pada prinsip kebebasan individual, maka seseorang –menurut ajaran demokrasi– berhak melakukan apa saja yang diinginkannya, termasuk melakukan tindakan yang mungkar, keji maupun yang merusak, tanpa boleh diawasi.
Bila kaum Ibahiyah (permisivisme) sepanjang sejarah dianggap sebagai kelompok-kelompok kafir zindik, lalu apa hukum demokrasi jika bukan itu juga..??
Demokrasi adalah sistem yang menjadikan pilihan rakyat sebagai orang yang berhak memimpin suatu bangsa, meskipun yang dipilih itu adalah orang kafir, zindik ataupun murtad dari agama Allah.
Hal ini bertentangan dengan firman Allah
dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (an-Nisa':141)
Hal itu juga bertentangan dengan ijma' umat Islam, bahwa orang kafir tidak boleh memimpin kaum muslimin, dan negara kaum muslimin.
Demokrasi adalah sistem yang berdiri di atas landasan persamaan semua manusia dalam hak dan kewajiban, dengan menutup mata dari aqidah dan agama yang diikutinya, dan juga menutup mata dari biografi moralnya, sehingga orang yang paling kufur, paling jahat dan paling bodoh disamakan dengan orang yang paling taqwa, paling shalih dan paling pandai dalam menetapkan persoalan yang sangat penting dan urgen, yaitu menyangkut siapa yang berhak memerintah negeri dan masyarakat….
Hal ini bertentangan dengan firman Allah
Maka apakah patut kami menjadikan orng-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)? Atau Adakah kamu (berbuat demikian): bagaimanakah kamu mengambil keputusan? (al-Qalam:35-36)
Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasik? mereka tidak sama. (as-Sajdah;18)
"Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" (az-Zumar:9)
Dalam pandangan agama Allah mereka tidak sama, tetapi dalam pandangan agama demokrasi mereka sama saja.
Demokrasi didirikan di atas prinsip kebebasan membentuk berserikat dan organisasi, baik berupa organisasi politik (partai) maupun organisasi non politik. Dalam demokrasi bebas berserikat tanpa mempedulikan fikrah dan manhaj yang menadi dasar (asas) organisasi itu. Dengan begitu, setiap kumpulan dan setiap organisasi bebas sebebas-bebasnya untuk menyebarkan kekufuran, kebatilan dan pemikiran yang merusak di seluruh penjuru negeri.
Hal ini dalam pandangan syara' adalah penerimaan dengan suka rela akan keabsahan dan kebebasan melakukan tindakan kekufuran, kesyirikan, kemurtadan dan kerusakan. Sikap ini bertentangan dengan kewajiban untuk memerangi kekufuran dan kemungkaran, sebagai bentuk dari nahi munkar sebagaimana firman Allah
Di dalam hadis, yang shahih dari Rasulullah saw, beliau bersabda    
Barangsiapa di antara kalian melihat kemunkaran maka hendaklah mengubah dengan tangannya, jika tidak bisa hendaklah ia mengubah dengan lisannya, jika tidak bisa hendaklah mengubah dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman (HR Muslim)
Hadis tersebut menyebutkan bahwa mengingkari dan mengubah kemungkaran adalah kewajiban, meskipun hanya dengan hati ketika tidak mampu lagi melakukan pengingkaran terhadap kemunkaran dengan tangan dan lisan. Adapun berinteraksi dengan kemunkaran sehingga muncul keridloan terhadap kemungkaran tersebut, maka ini merupakan bentuk kekufuran yang nyata. Inilah yang ditunjukkan oleh hadis berikut ini
"Maka siapa yang berjihad (bersungguh-sungguh untuk mengubah kemungkaran) mereka dengan tangannya maka ia mukmin, dan siapa yang berjihad dengan lisannya maka ia mukmin, dan yang berjihad dengan hatinya maka ia mukmin. Dan di balik itu semua tidak ada iman meskipun sebesar biji sawi"
Maksudnya, diluar pengingkaran dengan hati itu tidak lain adalah keridlaan. Ridla terhadap kekufuran menyebabkan hilangnya iman dari pemeluknya
Demikian juga sabda Rasulullah saw dalam hadis yang menceritakan tentang penumpang perahu yang melobangi dinding perahu karena enggan naik ke atas untuk mengambil air. Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan lainnya itu dikatakan  
Jika penumpang kapal lainnya membiarkan tindakan mereka dan apa yang mereka kehendaki itu maka mereka semua akan tenggelam, tetapi jika mereka mengambil tindakan terhadap mereka (yang melobangi perahu) maka mereka akan selamat dan semuanya akan selamat
Inilah perumpamaan demokrasi, ia mengatakan dengan sejelas-jelasnya, "Tinggalkanlah partai-partai yang dengan kebebasannya akan menenggelamkan kapal. Sebab tenggelamnya kapal akan menenggelamkan seluruh penumpangnya, dan segala harta yang ada di dalamnya".
Tetapi jika hanya meninggalkan partai-partai yang bathil tanpa mengingkari dan memerangi kebathilannya atau kita hanya mengingkari kemungkaran tanpa berusaha mencegah kemunkaran yang akan menyebabkan hancurnya masyarakat, yang didalamnya terdapat kaum muslimin, apakah salah kalau dikatakan bahwa kita telah mengakui keabsahannya dan kebebasannya untuk melakukan apa saja yang dikehendaki dan diinginkan.
Sikap itu –pengakuan akan keabsahan suatu partai yang bathil– juga akan menyebabkan terpecah-belahnya ummat dan melemahkan kekuatannya, merusakkan kesetiaan mereka kepada kebenaran karena bergabung dengan partai syetan yang menyimpang dari kebenaran, dan meninggalkan ajaran yang diturunkan oleh Allah karena mengikuti seruan penguasa.
Hal ini bertentangan dengan firman Allah;       
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai (Ali Imran:103)
Dan juga bertentangan dengan sabda Rasulullah saw
Hendaklah kalian berada di dalam jama'ah dan jauhilah firqah. Sesungguhnya syetan bersama dengan orang yang sendirian dan terhadap orang yang berdua ia menjauh, barangsiapa yang menginginkan sorga yang terbaik maka hendaklah setia terhadap jama'ah (HR Ahmad dan Tirmidzi)
Demokrasi ditegakkan di atas prinsip menetapkan sesuatu berdasarkan pada sikap dan pandangan mayoritas, apapun pola dan bentuk sikap mayoritas itu, apakah ia sesuai dengan al-haq atau tidak. Al-Haq menurut pandangan demokrasi dan kaum demokrat adalah segala sesuatu yang disepakati oleh mayoritas, meskipun mereka bersepakat terhadap sesuatu yang dalam pandangan Islam dianggap kebathilan dan kekufuran.
Di dalam Islam, al-haq yang mutlak itu harus dipegang sekuat tenaga, meskipun mayoritas manusia memusuhimu, yaitu al-haq yang disebutkan di dalam al-Qur'an dan sunnah. Al-Haq adalah ajaran yang sesuai dengan al-Qur'an dan Sunnah, meskipun tidak disetujui oleh mayoritas manusia, sedangkan a-bathil adalah ajaran yang dinyatakan batil oleh al-Qur'an dan sunnah, meskipun mayoritas manusia memandangnya sebagai kebaikan. Sebab keputusan tertinggi itu hanyalah hak Allah semata, bukan di tangan manusia, bukan pula di tangan suara mayoritas
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah) (al-An'am:116)
Dan di dalam hadis shahih disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda;
Sesungguhnya di antara para nabi ada yang tidak diimani oleh umatnya kecuali hanya seorang saja (HR Muslim)
Jika dilihat dengan kaca mata demokrasi yang berprinsip suara mayoritas, di manakah posisi nabi dan pengikutnya ini?
Abdullah bin Mas'ud bertanya kepada Amr bin Maimun, "Jumhur jama'ah adalah orang yang memisahkan diri dari al-Jama'ah, sedangkan al-Jama'ah adalah golongan yang sesuai dengan kebenaran (al-haq) meskipun hanya dirimu seorang"
Ibnu al-Qayyim di dalam kitab A'lamul Muwaqqi'in mengatakan, "ketahuilah bahwa ijma', hujjah, sawad al-A'dham (suara mayoritas) adalah orang berilmu yang berada di atas al-haq, meskipun hanya seorang sementara semua penduduk bumi ini menyelisihinya.
Demokrasi dibangun di atas prinsip pemilihan dan pemberian suara, sehingga segala sesuatu meskipun sangat tinggi kemuliaannya, ataupun hanya sedikit mulia harus diletakkan di bawah mekanisme ambil suara dan pemilihan. Meskipun yang dipilih adalah sesuatu yang bersifat syar'I (bagian dari syati'ah.
Sikap ini tentu bertentangan dengan prinsip tunduk, patuh, dan menyerahkan diri sepenuh hati serta ridla sehingga menghilangkan sikap berpaling dari Allah, ataupun lancang kepada Allah dan Rasul-Nya. Sikap itulah yang seharusnya dilakukan oleh seorang hamba kepada Tuhannya. Agama seorang hamba tidak akan lurus, dan imannya tidak akan benar tanpa adanya sikap tunduk dan patuh kepada Allah sepeti itu
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara nabi, dan janganlah kamu Berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari. (al-Hujurat:1-2)
Kalau hanya meninggikan suara di atas suara nabi saw saja bisa sampai menghapuskan pahala amal perbnuatan, padahal amal tidak akan terhapus kecuali dengan kekufuran dan kesyirikan. Lalu bagaimanakah dengan orang yang lebih mengutamakan dan meninggikan hukum buatannya di atas hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah. Tak diragukan lagi, tindakan ini jauh lebih kufur dan lebih besar kemurtadannya, serta lebih menghapuskan amalnya
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka (al-Ahzab:36)
Tetapi demokrasi akan mengatakan, "Ya, harus diadakan pemilihan dulu, meskipun nantinya harus meninggalkan hukum Allah"
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (an-Nisa:65)
Demokrasi berdiri di atas teori bahwa pemilik harta secara hakiki adalah manusia, dan selanjutnya ia bisa mengusakan untuk mendapatkan harta dengan berbagai car yang ia maui. Ia bebas pula membelanjakan hartanya untuk kepentingan apa saja yang ia maui, meskipun cara yang dipilihnya adalah cara yang diharamkan dan terlarang di dalam agama Islam. Inilah yang disebut dengan sistem kapitalisme liberal  
Sikap ini berbeda secara diametral dengan ajaran Islam, dimana mengajarkan bahwa pemilik hakiki harta adalah Allah swt. Dan bahwasannya manusia diminta untuk menjadi khalifah saja terhadap harta kekayaan itu, maka ia bertanggung jawab terhadap harta itu di hadapan Allah; bagaimana ia mendapatkan dan untuk apa dibelanjakan…
Manusia dalam Islam tidak diperbolehkan mencari harta dengan cara haram dan yang tidak sesuai dengan syara' seperti riba, suap, dan lain-lain…… Demikian juga ia tidak diizinkan untuk membelanjakan harta untuk hal-hal yang haram dan hal-hal yang tidak sesuai dengan tuntunan syara'. Manusia dalam ajaran Islam tidak memiliki dirinya sendiri, sehingga ia bebas melakukan apa saja yang ia inginkan tyanpa mempedulikan petunjuk Islam. Karena itulah melakukan hal-hal yang membahayakan diri dan juga bunuh diri termasuk dosa besar yang terbesar, oleh Allah akan diberikan balasan adzab yang pedih. Pandangan seperti ini bisa kita dapatkan dalam firman Allah
Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. (Ali Imran:26)
Sesungguhnya Allah Telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh.  (at-Taubah:111)
Jiwa adalah milik Allah, maka Allah membeli apa yang Dia miliki sendiri –jual beli khusus untuk orang mukmin– untuk menggambarkan pemberian kemuliaan, kebaikan dan keutamaan kepada mereka, sekaligus untuk mendorong mereka supaya berjihad dan mencari kesyahidan
Nabi saw apabila hendak mengirim seseorang menuju medan jihad, beliau berpesan,
Sesungguhnya kepunyaan Allah lah apa yang Dia mabil dan kepunyaan-Nya juga yang Dia berikan (HR Bukhari dan Abu Dawud)
Selanjutnya, seseorang tidak memiliki sesuatu yang ditunjukkan untuk bisa diambil karena sesungguhnya dia bukanlah pemiliknya, dia hanya mendapatkan titipan saja, sedang pemiliknya adalah Allah swt.
Secara ringkas, inilah demokrasi!!
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dengan penuh keyakinan, tanpa ada keraguan sedikit pun kami katakan, bahwa demokrasi dalam pandangan hukum Allah adalah termasuk kekufuran yang nyata, jelas dan tidak ada yang samar, apalagi gelap, kecuali bagi orang yang buta matanya dan buta mata hatinya. Adapun orang yang meyakininya, menyerukannya, menerima dan meridlainya, atau beranggapan –dasar dan prinsip yang mendasari bangunan demokrasi– sebagai kebaikan yang tidak terlarang oleh syara', maka ia adalah orang yang telah kafir dan murtad dari agama Allah, meskipun namanya adalah nama Islam, dan mengaku dirinya termasuk muslim dan mukmin. Islam dan sikap seperti ini tidak akan pernah bersatu di dalam agama Allah selamanya.
Adapun orang yang mengatakan tentang demokrasi karena ketidakmengertiannya terhadap arti dan asasnya, maka kita akan menahan diri dari mengkafirkan dirinya, tetapi tetap akan mengatakan kekufuran kata-katanya itu, sehingga bisa ditegakkan hujjah syar'iyyah yang menjelaskan kekufuran demokrasi kepadanya, dan letak pertentangannya dengan din Islam. Sebab demokrasi termasuk ke dalam suatu terminologi dan faham yang dibuat dan problematik bagi kebanyakan orang. Dengan itulah bagi orang yang tidak mengerti bisa dimaafkan, sampai ditegakkan hujjah kepadnaya, agar ketidakmengertiannya itu menjadi sirna.
Demikian juga kepada mereka yang, menyebut-nyabut istilah demokrasi tetapi dengan makna dan dasar yang berbeda dengan apa yang telah kami sebutkan di atas, seperti orang yang meminjam istilah tetapi yang dimaksudkan adalah permusyawarahan, atau yang dimaksudkan adalah kebebasan berpendapat dan bertindak dalam hal yang membangun, atau melepaskan ikatan pengekang yang menghalangi manusia dari membiasakan diri dengan hak-hak syar'i dan hak-hak asasi mereka, dan bentuk-bentuk penggunaan istilah demokrasi dengan maksud yang berbeda dengan hakekat demokrasi lain, maka ia tidak boleh dikafirkan. Inilah sikap adil seimbang, yang sesuai dengan kaidah-kaidah dan pokok-pokok agama.
Adapun hukum Islam berkenaan dengan kegiatan di lembaga legislatif, maka kami katakan, "Sesungguhnya kegiatan legislasi (kegiatan di lembaga legislatif) –adalah kegiatan yang telah menyeleweng dari aqidah dan syari'ah yang tak mungkin untuk ditebus— hal itu termasuk kekufuran yang sangat jelas. Maka tidak boleh ada hukum atau pendapat yang lain, selain hukum kufur.
Adapun bagi anggota legislatif maka mereka adalah orang yang meniti jalan kedhaliman. Tentang mereka itu kami katakan, "Orang yang ikut menjadi aggota parlemen karena dilatarbelakangi oleh pemahaman yang rancu (syubhat), ta'wil, dan kesalahfahaman maka mereka tidak kita kafirkan –meskipun tetap kita katakan bahwa aktifitas yang mereka lakukan adalah aktifitas kufur. Kita akan tetap berpendapat demikian sampai ditegakkan hujjah syar'iyyah, sehingga hilanglah kesalahfahaman, ketidaktahuan dan kerancuan pemahaman mereka.
Adapun orang menjadi anggota legislatif apabila dilatarbelakangi oleh sikap yang menyimpang dari syari'ah atau bahkan tidak mempedulikan syari'ah, maka mereka itu adalah orang kafir, karena tidak ada mawani' (penghalang) takfir pada dirinya,sementara syarat-syarat takfir telah ada di dalam dirinya. Allahu a'lam
Inilah demokrasi, inilah hukumnya, hukum orang yang menyerukannya dan yang mengikutinya, apakah kau bersedia untuk meninggalkannya, apakah kau mau meninggalkannya?

Allahumma inni qod ballaghtu, fasyhad
Ya Allah, Sesungguhnya aku telah menyampaikan, maka saksikanlah

11-2-1999
Abdul Mun'm Musthofa Halimah, Abu Bashir,