saya hanyalah manusia biasa, yg banyak dipenuhi oleh salah dan khilaf, oleh karena itu jikalau ada postingan saya yg kurang berkenan di hati saudara pembaca sekalian, mohon dimaafkan lahir bathin, karena kebenaran hanya berasal dari Allah, dan kesalahana sepenuhnya ada diri saya...

Minggu, 11 Juli 2010

DEMOKRASI: SEBUAH KEBEBASAN YANG KEBABLASAN

Sebagai anak kandung ideologi kapitalisme, ide demokrasi meniscayakan sebuah kebebasan yang dikuasai penuh oleh elit politik, elit partai atau elit yang memiliki duit (modal/capital). Masih satu keluarga dengan sekulerisme, demokrasi pun meniadakan campur tangan agama terhadap pengurusan demokrasi itu sendiri (Negara). Lantas apa sebenarnya demokrasi? Dengan logika antitesis, lawan kata demokrasi adalah totaliter. Jika tidak demokratis, pasti totaliter. Totaliter sendiri memiliki kesan buruk, kejam, bengis, sehingga negara-negara komunis sekalipus tidak ketinggalan ikut memakai istilah demokrasi, walaupun diembel-embeli sebagai "Demokrasi Sosialis (sosdem)" atau "Demokrasi Kerakyatan". Dalam kaitannya dengan masalah ini, UNESCO pada tahun 1949 menyatakan: "…mungkin untuk pertama kali dalam sejarah, demokrasi dinyatakan sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua sistem organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan oleh pendukung-pendukung yang berpengaruh…" 

Sejak memudarnya kejayaan Imperium Romawi (abad ke-3 M), gereja Kristen mulai masuk ke arena kekuasaan politik. Kaisar Konstantin, penguasa Romawi yang pertamakali memeluk agama Kristen, menggabungkan kekuasaan negara dengan urusan gereja sehingga pihak gereja memiliki peranan besar dalam pengambilan keputusan politik. Kerajaan-kerajaan lokal mulai muncul di Eropa sejak tahun 476 M. Seperti halnya Romawi, gereja turut menjadi penentu dalam sepak-terjang penguasa kerajaan. Para bangsawan dan politikus--yang umumnya dari keluarga kaya--menjadi boneka yang dikendalikan penuh oleh gereja. Tetapi karena ajaran Kristen tidak mengatur urusan kenegaraan, gereja membuat berbagai fatwa menurut kemauan mereka sendiri dan hal itu diklaim sebagai wewenang yang diterimanya dari Tuhan. Tidak heran jika sosok kerajaan-kerajaan Eropa saat itu lebih mirip dengan Imperium Romawi Kuno yang paganistis dan belum mengenal agama.

Gereja memiliki supremasi yang sangat tinggi hampir dalam setiap urusan. Para pemuka gereja diyakini sebagai satu-satunya pihak yang berhak berkomunikasi langsung dengan Tuhan, dan hasil "komunikasi" itu diajukan kepada penguasa kerajaan untuk ditetapkan sebagai keputusan politik. Eropa memiliki sejarah yang cukup berdarah mengenai hal ini : ribuan wanita dibunuh ketika gereja mencap perempuan sebagai tukang sihir , kaum ilmuwan yang tidak setuju dengan pendapat gereja harus rela dipenjara atau bahkan dibunuh (seperti yang menimpa Galileo Galilei dan Nicolaus Copernicus), perampasan tanah milik rakyat untuk dibagi-bagikan kepada penguasa dan pemuka gereja, sampai orang yang hendak matipun tak luput dari pemerasan oleh gereja. Pendapatan terbesar gereja berasal dari penjualan Kunci Surga (Keys to Heaven), yaitu menjual surat pertobatan kepada orang-orang yang hendak meninggal. Dengan membayar sejumlah uang, gereja meyakinkan orang tersebut bahwa dosa-dosanya telah diampuni dan boleh memasuki surga.

Kelaliman gereja (yang difasilitasi oleh penguasa), kekalahan telak pasukan salib dari tentara Khilafah Islamiyyah, dan kegeraman para pemikir Eropa kepada gereja, menumbuhkan benih-benih pemberontakan pada abad ke-14. Hal ini juga disebabkan oleh gencarnya penerjemahan buku-buku berbahasa Arab ke dalam bahasa Latin Eropa sejak abad ke-10 yang berpusat di Andalusia (Spanyol). Kegemilangan peradaban Islam telah memberi inspirasi kepada para pemikir Eropa untuk mendobrak kejumudan yang meliputi seluruh daratan Eropa saat itu, yang dikenal sebagai Dark Ages (Masa Kegelapan).

Pada tahun 1618 meletus perang sipil di seluruh daratan Eropa antara pendukung dan penentang supremasi gereja. Perang itu berlangsung selama 30 tahun dan menghabiskan sepertiga penduduk Eropa serta meruntuhkan sebagian besar kerajaan yang bercokol di Eropa. Perang terlama terjadi antara Perancis dan Spanyol sampai tahun 1659. Akibatnya, para pemikir terpecah menjadi 2 kelompok: 

1. yang mempelajari filsafat Yunani, disebut Naturalis, dan meyakini bahwa akal manusia mampu menyelesaikan semua persoalan;

2. yang berpihak pada gereja, disebut Realisme, dan meyakini ajaran gereja sebagai kebenaran.

Di Itali, dua kelompok ini dikenal sebagai Gulf dan Ghibelline, dan mereka saling berperang memperebutkan kekuasaan. Pertentangan panjang itu akhirnya dimenangkan oleh kelompok naturalis yang mendasarkan pemikirannya pada penyingkiran peran agama (Kristen) dari kehidupan negara, atau dikenal dengan sekularisme. 

Sekularisme benar-benar menggembirakan hati para filosof dan politikus. Tidak ada lagi gereja yang memenjarakan kebebasan berpikir mereka. Politik dan segala urusan duniawi telah menjadi sangat bebas nilai. Tidak ada satupun yang membatasi. Tidak nilai agama. Tidak pula nilai moral. Salahsatu lambang betapa liarnya dunia politik sekuler adalah buku karya Niccolo Machiavelli yang berjudul The Discourses on the First Ten Books of Livy dan The Prince. Salahsatu pilar pemikiran politiknya adalah: "….politik adalah sesuatu yang sekuler. Politik adalah pertarungan antar manusia untuk mencari kekuasaan. Semua orang pada dasarnya sama, brutal, dan egoisme politik harus mengikuti aturan universal yang sama untuk semua orang. Penguasa yang sukses harus belajar dari sejarah, harus mengamati para pesaingnya, dan mampu memanfaatkan kelemahan mereka."

Sekularisme tetap dianut hingga masa kini. Menteri Luar Negeri AS, Madeleine Albright, pada tanggal 23 Oktober 1997 di depan sivitas akademika Columbus School of Law, The Catholic University, Washington D.C. menyatakan: "Di AS, kita meyakini pemisahan gereja dan negara. Konstitusi kita merefleksikan ketakutan atas penggunaan agama sebagai alat penyiksaan, yang pada abad ke-17 dan 18 menyebabkan banyak orang melarikan diri ke daratan Amerika…" 

Sekularisme merupakan akar demokrasi. Dalam sistem politik yang sekularistik, dimana agama hanya menjadi "inspirasi moral dan alat penyembuhan" , kehendak akal manusia menjadi penentu semua keputusan. Dan inilah ciri yang utama dari demokrasi, yaitu menyerahkan keputusan politik kepada kehendak masyarakat (the will of the people), sesuai dengan pertimbangan akal manusia. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar