saya hanyalah manusia biasa, yg banyak dipenuhi oleh salah dan khilaf, oleh karena itu jikalau ada postingan saya yg kurang berkenan di hati saudara pembaca sekalian, mohon dimaafkan lahir bathin, karena kebenaran hanya berasal dari Allah, dan kesalahana sepenuhnya ada diri saya...

Rabu, 05 Februari 2020

Krisis Kepedulian dan Krisis Ideologitas (tulisan lama)

"Hal yang terburuk adalah, jika semuanya berlanjut seperti yang sudah-sudah, situasi akan menjadi lebih buruk." Demikian pernyataan Ketua Delegasi Kuba Jose Ramon Machado Ventura pada pertemuan pangan dunia yang diselenggarakan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) di Roma, 4 Juni 2008 lalu. Komentar Ventura tersebut memang sangatlah beralasan, bagaimana tidak, menanggapi kondisi krisis pangan dunia yang saat ini sangatlah menyedihkan, dihadapkan pula dengan kondisi 1,2 milyar penduduk dunia yang hidup di bawah garis kemiskinan memang sangat ironis.


Sebelumnya (4/4) Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pernah menyurati Presiden Bank Dunia Robert B. Zoellick dan organisasi pangan dunia Food and Agriculture Organization (FAO) PBB untuk mengambil langkah-langkah serius terkait krisis keuangan (ekonomi) global yang dipicu oleh naiknya harga minyak dunia dan harga pangan yang berdampak pada ekonomi nasional. “Dunia harus meningkatkan produksi pangan, meningkatkan suplai karena konsumsi pangan dengan penduduk 6,3 miliar akan cenderung meningkat”, kata Presiden Yudhoyono saat menyampaikan sambutan dalam Musyawarah Besar II Kosgoro 1957 di Jakarta Convention Center, Kamis (3/4) malam.

Krisis pangan, ekonomi dan lain sebagainya kini tengah di depan mata, Amerika Serikat melalui Bank Dunia dan IMF (International Monetary Fund) yang kapitalis tulen itu melalui resepnya hingga kini masih “membajak” di dunia ketiga --negara berkembang dan miskin dunia. Alih-alih memberikan perbaikan ekonomi, justru Bank Dunia dan IMF menganggap kondisi seperti inilah proyek subur yang dapat meningkatkan pendapatan. Dalam kata-kata Henry Kissinger --mantan Menlu AS, "Dengan mengontrol minyak, Anda akan mengontrol negara. Dengan mengontrol pangan, Anda akan mengontrol rakyat." Telah menjadi bukti bagaimana keinginan AS mengontrol dunia, khususnya dunia ketiga.

Namun bukan dunia ketiga saja yang mengalami kondisi krisis, Amerika yang katanya negara kampiun kapitalis, negara super power pun tidak luput dari krisis ekonomi. Berulang kali berawal Black Thursday (1929) ditandai jatuhnya harga saham sebesar 13 persen, skandal tabungan dan pinjaman di AS (1985), Black Monday (1987) lagi-lagi harga saham anjlok lebih tajam sebesar 22 persen, suku bunga merosot (Agustus-September 1992), Investasi jangka panjang bangkrut Juli-Oktober 1998, krisis Dotcom 2000-2003, serangan menara kembar New York 11 September 2001 menyebabkan kerugian luar biasa di pasar saham London, Indeks FTSE anjlok 5,7 persen, Credit Boom 2003-2007, dan yang terakhir subprime bangkrut Januari 2008; industri properti di AS yang menuju jurang kerugian, menimbulkan kekhawatiran dampak itu dapat memicu inflasi di AS. Jor-jornya perbankan memberikan kredit kepada nasabah yang belum ketahuan jejak rekam serta berpendapatan rendah atau dikenal subprime mortgage, menjadi hantu bagi pasar modal AS. Hal ini menegaskan bahwa perekonomian Amerika Serikat yang berbasis kapitalis sangat rapuh dan labil. Anehnya, negara tersebut menjadi kiblat kebangkitan perekonomian dunia.

Seapik apapun pengelolaan yang dilakukan pemerintah dalam mengelola negara, tetap saja era globalisasi yang terkenal ganas dan tidak mengenal kondisi perekonomian suatu negara --lemah atau kuat-- tetap akan mendapat imbas dari roda globalisasi tersebut. Asia, yang dikenal sebagai kawasan pertumbuhan global dengan manajemen ekonomi relatif lebih baik, tak luput dari masalah itu. Di tengah globalisasi tersebut, membuat kaum korporasi kian menggila karena mendapatkan angin segar dalam berusaha. Karena, tidak saja keaktivitasan mereka di anggap legal --UU PMA, UU SDA dll-- oleh pemerintah, justru seakan-akan pemerintah lebih mendahulukan kepentingan kaum korporasi ketimbang rakyat yang notabene pemilih sekaligus pemberi mandat kepada mereka. Jelas, kepedulian terhadap kondisi sekarang ini sangatlah jarang ditemukan. Pemerintah yang dalam hal ini merupakan pengayom dan penentu kebijakan rakyat, tidak saja memiliki tanggung jawab kepada rakyat yang memilihnya bahkan --pemerintah/penguasa-- saat ini telah menjelma menjadi fasilitator, regulator dan seluruh tetek bengeknya terhadap seluruh kebijakannya yang pro korporasi, ironis memang.

Slogan yang mengajak agar menyelamatkan bangsa --save our nation-- hanyalah sekedar lipstik pemerah bibir belaka. Mereka yang nasionalis --pemegang kebijakan-- justru menjerumuskan bangsa ke lubang paling dalam. Krisis demi krisis yang telah/tengah terjadi seakan tidak membuka mata dan menahan hasrat keuntungan sesaat tersebut, yang terjadi justru anak bangsa yang menanggung + 1.300 trilyun rupiah hutang Bank Dunia dan IMF, sedang mereka --pembuat kebijakan-- seperti berlepas tangan terhadap kemelut bangsa ini dengan mengambil kebijakan-kebijakan yang sangat pro Bank Dunia dan IMF. Jelas, krisis kepedulian --terhadap bangsa sendiri-- ini merupakan dampak dari krisis ideologitas yang mereka miliki, inilah buah kapitalis dimana keuntungan berlipat-lipat diletakkan di atas segala-galanya. Arah kebijakan yang tidak memihak dan masih jauh dari sikap/rasa nasionalis --katanya-- sangatlah tidak sesuai di sandang.

Lalu bagaimana? Yang pertama-tama dilakukan adalah, tetapkan dulu ideologi bangsa, lalu jadikanlah ideologi tersebut sebagai metode dalam menjalankan roda pemerintahan di Indonesia, kemudian terapkan aturan tersebut di tengah-tengah rakyat sehingga rakyat dapat merasakan ideologi yang di emban oleh pemerintah tersebut sebagai konsekuensi negara yang bermartabat dan berkepribadian bangsa. Maka akan datang kemandirian itu dengan sendirinya. Setelah komunisme runtuh lalu kapitalisme bangkit menjadi ideologi dunia, dan --sekarang-- kapitalisme tengah diambang kebangkrutan, maka kemanakah seharusnya kita berpaling kalau tidak kepada Islam? []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar