saya hanyalah manusia biasa, yg banyak dipenuhi oleh salah dan khilaf, oleh karena itu jikalau ada postingan saya yg kurang berkenan di hati saudara pembaca sekalian, mohon dimaafkan lahir bathin, karena kebenaran hanya berasal dari Allah, dan kesalahana sepenuhnya ada diri saya...

Rabu, 30 Desember 2009

seperti di atas pisau

2.233,067 Meter

Jembatan yang terbuat dari besi itu tampak tua dimakan usia. Sedang, orang-orang yang berjalan di atasnya lebih dulu mangkat dari peraduan meninggalkan dunia. Ya, sudah setengah abad jembatan yang catnya kubas itu menemani warga sekitar. Sore itu, aku pulang laksana burung mudik berburu rezeki menyusuri trotoar yang di hotmix apik. Para pedandan ala harajuku itu hilir mudik baru pulang dari pekerjaannya sebagai sales promotion girl di sebuah perusahaan swasta telepon seluler.


Kaki-kakinya yang centil kadang bagai balerina menghindari tanah becek akibat rembesan air si tukang mekanik bengkel plus cuci motor yang rumahnya sudah aut-autan. Dibalik itu, berdiri kokoh bank berdinding putih mulus yang di depannya terpampang pilar-pilar menjulang seperti bangunan Coloseum-nya Romawi dulu tempat para Gladiator beradu nyawa.


Seorang tukang parkir tengah sibuk mendahulukan mobil yang hendak keluar dari pelataran gedung megah. Kulitnya gelap seperti terpanggang oleh sengatan mentari. Di tengah kejadian itu semua, kakiku terhenti menyaksikan arak-arakan mobil pick up, dibelakangnya berjejalan orang-orang yang memakai kupiah putih dan hitam. Sedang di atasnya berkibar bendera hijau bertuliskan arab innalillahi wa innailaihi roji'un… ya, sore itu malaikat izrail turun menjemput ruh seorang manusia. Tapi, tunggu! Sepertinya aku kenal yang duduk dibelakang itu… itu kan Wisnu? Ya benar itu Wisnu, tetangga dua buah rumah dari rumahku…


Berarti yang meninggal itu? Aku berusaha merogoh saku celana untuk mengeluarkan handphone yang keliman kainnya mulai mbrojol tidak karuan, sejurus keypad itu mulai kumain-mainkan dengan lincah mencari nomor Wisnu yang berderet di dalam phonebook, lalu type message dan mengetik…


"Nu, naik pick up mau kemana..?"


Aku tak berharap dia membalasnya (jika berita duka itu datang dari salah satu keluarganya, kalaupun di balas maka syukur Alhamdulillah berarti bukan salah satu keluarganya yang meninggal --aku juga tak berharap kedua hal itu), dan pesan pun aku kirim. Belum lama raga ini melayang melengang meninggalkan gedung bank yang menjadi pencakar langit itu, saku celana ini bergetar menggelitik selangkanganku. Ya, and send message, aku membuka ingin mengetahui dari mana sms itu berasal, seperti yang aku harap, Wisnu membalas sms-ku…


"Abah meninggal, udah lunas!!"


Ya Allah, Paman Sobri..? Innalillahi wa innailaihi roji'un, seraya hatiku berdoa, "Ya Allah mudahkanlah urusannya di alam kubur, lapangkanlah jalannya menuju jalan-Mu, ringankahlah hizabnya, Amien…" Sore itu kacamata kuda seakan tumbuh dari kedua telingaku menutupi sebelah kanan dan kiri dan membuat pandanganku tidak dapat lagi menoleh ke kanan dan ke kiri. Mata hati ini seperti berbisik mengatakan bahwa ini lebih baik jika seandainya kamu mengetahui. Ya Allah, bagaimana ini? Memang benar hamba seorang yang fakir, maka tunjukilah jalan-Mu yang lurus.


Di dalam perjalanan pulang, sinar matahari tampak terbelah oleh tiang listrik yang tingginya 8 meter menimbulkan bias sinar merah horizontal yang langsung dihantarkan oleh debu-debu yang dikibas lalu lalang mobil dan kendaraan.


524,7 Meter


Siang hari ini membuat tenggorokanku kering kerontang. Sinarnya hampir membuat ubun-ubunku seperti di tusuk jarum. Jam menunjukkan pukul 1 siang, mataku nanar mencari taksi untuk bergegas menuju kampus.


"Taksi..!!!"


Mobil L300 itu berhenti tepat di depanku. Di dalamnya penuh sesak oleh penumpang dengan tampang kusut masai. Wajar, karena L300 keluaran tahun 1985 memang berbahan bakar solar, maka jangan heran baunya menyebar semerbak yang jika orang tidak tahan dengan aroma yang bercampur mesin itu maka isi perut bisa keluar dibuatnya.


3.266,57 Meter


Benda besi yang aku tunggangi ini pun berhenti di pertigaan jalan.


"Coy, naik colt lagi?"


"Biasa, cari suasana baru coy!"


"Suasana baru, apa mata baru?"


"Mata? Matahari kale.."


"Bukan matahari lagi, tapi matakaki!"


"Hah, matakaki? Whats the meaning?"


"The meaning is cendol..! hahaha…"


Tano memang suka ngebanyol, dia memang anak yang periang di satu angkatanku. Orangnya gaul dan tidak pernah mengeluh jika itu berhubungan dengan urusan duit, walau aku tahu dia memang hidup di bawah rata-rata.


"Coy, Abahnya Wisnu kemarin meninggal udah denger gak?"


"Wisnu..? anak bapak Sobri itu?"


"Yap! sekomplek denganku."


"Innalillahi wa innailaihi roji'un.."


0.000,45 Meter


Nisan kayu meranti bertuliskan Sobri Bin Amin masih segar dikelopak mata. Umurnya baru 2 hari. Tanahnya masih gambur tak lupa bunga sedap malam dan melati serta campuran bunga-bunga yang aku tidak tahu namanya itu masih berhamburan di sana sini. Menimbulkan aroma khas makam bercampur dengan tanah di kuahi oleh percikan air segar.


Tanaman kamboja seperti sengaja di tancapkan tepat di atas gundukan tanah ahli kubur itu. Sedang suara gagak sayup-sayup terdengar lirih bersahut-sahutan dari kejauhan. Ah! Mitos!! Pikirku. Mengapa orang-orang begitu percaya jika gagak hinggap di suatu dahan di atas rumah maka sang penghuni rumah bakal sakaratul maut dalam waktu dekat. Mitos!! Aku tak percaya yang demikian itu. Sungguh terlalu! Tega nian yang membuatnya. Pikirku.


Selang beberapa saat dari balik gerbang makam ini tampak pelayat memanggul keranda jenazah di atasnya. Ah, ada yang meninggal lagi rupanya… mbah Sodron penggali kubur yang rambut hampir memutih itu mendekatiku.


"Siapa mbah?" tanyaku


"Korban kecelakaan…"


"Ooo…"


Herannya, mengapa pelayat yang datang hanya beberapa orang, itu pun petugas dinas rumah sakit juga petugas pembawa mobil jenazah. Jumlahnya pun hanya 3 orang di tambah 4 orang petugas pemanggul keranda.


"Mana keluarganya?" tanyaku lagi dengan mbah Sodron.


"Katanya korban tabrak lari…" mbah Sodron menjelaskan.


"Wah, dapet orderan neh…" candaku dengan beliau.


"Hehe.. itulah jeleknya penggali kubur, doa mengharap kematian!"


"Huehehe…, wah berarti mbah temennya izroil neh.." sambungku lagi


"Hmm.. izroil? Siapa ya, mbah gak kenal…" selidik mbah sodron kemudian.


"Malaikat pencabut nyawa!"


"Ooallah!… hahaha…"


Tawanya beliau seperti drakula! Giginya tinggal dua.


2, 700 Meter


Mataku tampak berkunang-kunang, tidak seperti biasanya. Setiap senja, selalu saja mata ini tampak berbayang-bayang bila melihat ke depan. Semakin mataku ku usap, semakin itu pula baying-bayang yang entah darimana datangnya selalu saja menutupi kelopak mata.


…………….. ………………… ………………… 0,000 Meter


Di bawah timbunan dan dinginnya tanah hitam…



***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar