
“…mengusung ide-ide liberalisme, sekularisme dan pluralisme demi mewujudkan masyarakat sejahtera, berkeadilan dan berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan. BLOG ini menerima tulisan berupa opini, hasil wawancara, esei, foto, dan berita.
Semua tulisan yang masuk akan dimuat sepanjang tidak bertentangan dengan NURANI & AKAL SEHAT…”
Fakta membuktikan definisi keadilan jika menggunakan logika liberalisme sangat tidak masuk akal. Apakah kebebasan yg dimaksudkan adalah ketika suatu kebebasan harus memiliki peluang yg sama dgn kebebasan yg lain? Lantas dimana letak keadilan? Dlm logika liberalisme, keadilan baru terwujud ketika kebebasan dapat diraih --minimal dijangkau-- oleh setiap individu yg menginginkan kebebasan seperti apa yg diinginkannya, jika individu lain menginginkan kebebasannya juga maka ia harus berusaha meraih kebebasannya tersebut, walaupun harus mengorbankan kebebasan yg dimiliki orang lain.
Lantas dgn logika liberalisme, kedua makhluk di tempat antah berantah di bawah ini berdebat:
“Ya, logika anda dgn landasan liberalisme memang masuk akal, tapi rumah tangga itu orientasinya bukan hanya ekonomi, tapi sangat luas. Ambil saja contoh kecil, siapa yg menyediakan sarapan pagi ketika istri sedang disibukkan dgn PR dari pekerjaannya?”
“Weleh-weleh udah pinter bahasa inggris rupanya? Wokeyhh, ambilkan umpama istri sempat menyiapkan sarapannya utk suami, apakah ia (istri) masih sempat mengurusi pekerjaan rumah tangga lainnya, cuci baju, mengurus anak, dll?”
“Itu artis boss, yg kita bicarakan disini adalah skala kecil, skala elit (ekonomi sulit) karena tuntutan ekonomi itu tadi.”
“Waduh! Koq jawabannya gitu sih. Masa, setiap ibu rumah tangga saling Bantu membantu rumah tangga orang lain? Ya gak logis lah, tetangga cebokin anak tetangga yg lain, sedang istrinya sendiri mengurus keperluan sarapan suami orang lain? Hahaha…”
“Ah, gaya kamu kaya aktivis liberal aja..”
“Gak connect tuh, dimana singkatan menalarnya? Katanya liberal, lingkungan bebas menalar… seharusnya pake “li be…ral” bukan “li be…lar””
“Oke deh, sa’ karep mu dewe’, back to the our topic broth..!”
“Kalo berbicara rendah hati sih siapa pun bisa, tapi yg ini adalah pembagian tugas yg seharusnya dikerjakan oleh tangan yg tepat, agar posisinya jelas… urusan rumah tangga siapa, urusan mencari nafkah itu siapa… lantas hasilnya --usaha-- diserahkan kepada yg empunya Sang Maha Pemberi Rezeki. Kalo seluruh posisi lapangan pekerjaan di isi oleh wanita --khususnya pekerjaan lapangan & kantor yg mengharuskan meninggalkan rumah-- yg seharusnya diisi oleh para pria maka akan menciptakan kerusakan tatanan perikehidupan yg sesungguhnya.”
“Justru itu, semakin lama kalo semakin dibiarkan, akan menimbulkan kerusakan. Coba sekarang kamu lihat di Negara yg mendorong para wanitanya utk bekerja ke luar rumah dgn meninggalkan kewajibannya mengurus rumah tangga, sebagian mereka harus hidup dihantui kecemasan akan keluarganya, perceraian, anak yg susah di atur dan lain sebagainya.”
“Loh, saya kan gak ngomong di Indonesia, saya Cuma mengisahkan Negara yg memiliki konsep paradigma seperti itu tadi, lagian itu kan fakta, fakta yg memang setiap orang sudah maklum. Bahwa, kehidupan serba materialistis dan hedonis memang ujung-ujungnya Cuma merusak manusia sendiri.”
“Oke..!”
Kebebasan adalah sebuah kehendak, kemauan, keinginan untuk memilih sesuatu atau tidak memilih. Di dalam Islam, kebebasan di atur oleh standar-standar yg jelas, supaya kebebasan tersebut memiliki konsekuensi yg juga jelas, logis dan bisa dipertanggung jawabkan thdp manusia, alam, makhluk ghaib (jin) dan khususnya kepada Allah Pencipta Semesta Alam, agar manusia memiliki rambu-rambu atau rem yg bisa mengendalikan kebebasannya. Ini berarti kebebasan di dalam Islam telah dibatasi oleh norma-norma tertentu yg bersandar kepada Al Quran dan Al Hadits.
Paradigma seperti ini jelas keliru & bertolak belakang alias gak nyambung dgn slogannya mewujudkan masyarakat sejahtera berkeadilan dan berpihak pd nilai-nilai kemanusiaan. Dimana satu sisi sifat keadilan menginginkan perbaikan disegala lini harus rontok hanya karena kebebasan yg kebablasan ingin diikutsertakannya. Jelas ini kontra produktif dalam mewujudkan masyarakat sejahtera berkeadilan apalagi di dalam naungan kebebasan --bebas nilai.
Saling mengenal, saling belajar, berekreasi, surfing di bibir laut, membaca di perpustakaan, berpetualang menaklukkan gunung, hiking, dll itu semua adalah proses interaksi manusia thdp manusia & alam. Artinya, pluralitas menghendaki keniscayaan perbedaan itu terjadi, baik perbedaan thdp manusia, thdp makhluk lain (hewan, jin dll) juga perbedaan thdp alam. Kesimpulannya adalah tidak ada satu pun di dunia ini diciptakan sama oleh Allah Yang Maha Pencipta, segalanya serba berbeda, tidak ada yg sama antara wajah kamu dgn wajah saya, walaupun kembar siam pun ada perbedaan kepribadian. Bisa saja kembar siam --identik-- yg satu memiliki keyakinan akan Islam dan saudara kembarnya memiliki keyakinan di luar Islam.
Logika kaum liberalis menggambarkan pluralisme sebagai dewa penyelamat keberagaman perbedaan di tengah-tengah masyarakat, khususnya ttg masalah perbedaan agama. Pluralisme meniscayakan adanya semua agama dipandang benar, semua agama tidak ada jalan yg salah, bahwa agama apa pun selama mengajarkan hidiup lurus dan menjurus satu tujuan --menuhankan Tuhan-- maka itu sah dan tidak boleh dipertentangkan.
“Hei, bagaimana ini? Jika semua agama dipandang benar, maka tidak ada yg salah di antara semua agama di dunia ini?”
“Bukan itu maksud saya, jika semua agama di pandang benar, seharusnya suatu agama di pandang benar harus ada yg salah! Lalu, mana yg salah jika semua agama benar? Islam benar, Kristen benar, Budha benar, Hindu benar, Yahudi benar, Shinto yg sejatinya agama manusia di anggap benar dan semua kepercayaan-kepercayaan & aliran-aliran yg berkembang di antara masyarakat itu benar, lalu mana yg salah?”
“Aduuuhh… maksud saya bukan itu! Parameter sesuatu itu dikatakan benar harus ada salah satu yg salah. Jika gelas yg saya pegang ini panas harus ada gelas yg dingin, jika kamu mengerjakan alogaritma matematika rumusnya salah maka harus ada rumus yg benar, jika ada jalan yg salah maka harus melalui jalan yg benar, jadi antara salah dan benar keduanya harus beriringan sejalan dan tidak bisa dipisahkan, begitu pula dgn masalah agama, jika agama yg satu mengajarkan yg salah maka harus ada agama yg membenarkannya, jika kepercayaan atau paham yg di ajarkan oleh seseorang itu salah maka harus ada paham atau kepercayaan yg bersumber dari sumber yg benar!”
“Benar, tapi tidak semudah itu, sebagian kita atau masyarakat kita, sudah tercemari oleh pendapat-pendapat yg justru merugikan penganutnya sendiri…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar