saya hanyalah manusia biasa, yg banyak dipenuhi oleh salah dan khilaf, oleh karena itu jikalau ada postingan saya yg kurang berkenan di hati saudara pembaca sekalian, mohon dimaafkan lahir bathin, karena kebenaran hanya berasal dari Allah, dan kesalahana sepenuhnya ada diri saya...

Kamis, 07 Mei 2009

kontra produktif (1)


“…mengusung ide-ide liberalisme, sekularisme dan pluralisme demi mewujudkan masyarakat sejahtera, berkeadilan dan berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan. BLOG ini menerima tulisan berupa opini, hasil wawancara, esei, foto, dan berita. 

Semua tulisan yang masuk akan dimuat sepanjang tidak bertentangan dengan NURANI & AKAL SEHAT…”

Tulisan di atas selain lucu juga membingungkan saya. Ya, tulisan di atas saya dapat dari blog salah satu LSM yg mengusung ide liberalisme, sekularisme dan pluralisme. Kenapa lucu, karena antara kata keadilan dengan kata liberalisme ibarat bumi dengan langit, laut dgn minyak atau seperti pungguk yg merindukan bulan, huehehe…, kedua-duanya tidak pernah bertemu bahkan gak mungkin dipertemukan, lalu bagaimana LSM tersebut dgn percaya diri mengusung liberalisme dilain sisi ingin mewujudkan masyarakat yg berkeadilan? Padahal keadilan dgn liberalisme sangatlah bertolak belakang.

Fakta membuktikan definisi keadilan jika menggunakan logika liberalisme sangat tidak masuk akal. Apakah kebebasan yg dimaksudkan adalah ketika suatu kebebasan harus memiliki peluang yg sama dgn kebebasan yg lain? Lantas dimana letak keadilan? Dlm logika liberalisme, keadilan baru terwujud ketika kebebasan dapat diraih --minimal dijangkau-- oleh setiap individu yg menginginkan kebebasan seperti apa yg diinginkannya, jika individu lain menginginkan kebebasannya juga maka ia harus berusaha meraih kebebasannya tersebut, walaupun harus mengorbankan kebebasan yg dimiliki orang lain.

Contoh dalam kehidupan dewasa ini yg katanya harus berfikir global bertindak lokal (sama seperti baligho caleg yg saya lihat di jalan-jalan) modernis gitu loh, ketika seorang istri menginginkan kebebasan utk bisa bekerja di luar rumah dengan atau tanpa izin suami --kesetaraan gender/tuntutan ekonomi, sedang suami yg seharusnya memiliki wewenang tersebut pun ikut ‘berlomba’ mencari nafkah, tanpa membatasi istri dlm bekerja --karena paradigma kebebasan. Praktis suami tidak bisa memonitor lagi aktivitas istri dlm berinteraksi begitu pula suami. Hal ini yg menyebabkan renggangnya kehidupan suami istri, apalagi ketika sudah memiliki anak.

Lantas dgn logika liberalisme, kedua makhluk di tempat antah berantah di bawah ini berdebat:

“Sah-sah saja seorang istri bekerja di luar rumah, toh ada izin dari suami. Dgn begitu tuntutan ekonomi di dalam keluarga lebih terjamin & tidak pernah kekurangan”.

“Ya, logika anda dgn landasan liberalisme memang masuk akal, tapi rumah tangga itu orientasinya bukan hanya ekonomi, tapi sangat luas. Ambil saja contoh kecil, siapa yg menyediakan sarapan pagi ketika istri sedang disibukkan dgn PR dari pekerjaannya?”

“Ahh.. kecil! Sempat gak sempat harus dibalas, eh sempat ga sempat harus menyediakan dong! Posisi istri memang tidak pernah tergantikan, walaupun begitu seorang suami bukan berarti berdiam diri saja menunggu istri menyiapkan sarapannya sendiri. Dia kan (suami) bisa saja menyiapkan sarapannya sendiri tanpa harus bergantung kpd istri,the right man on the right job or the right man on the right place! You know?!”

“Weleh-weleh udah pinter bahasa inggris rupanya? Wokeyhh, ambilkan umpama istri sempat menyiapkan sarapannya utk suami, apakah ia (istri) masih sempat mengurusi pekerjaan rumah tangga lainnya, cuci baju, mengurus anak, dll?”

“Kecil bung! Utk itulah seorang pembantu diperlukan dalam proses pengurusan rumah tangga, artis-artis wanita Indonesia juga begitu…”

“Itu artis boss, yg kita bicarakan disini adalah skala kecil, skala elit (ekonomi sulit) karena tuntutan ekonomi itu tadi.”

“Hemmm, ya saling membantu lah..”

“Waduh! Koq jawabannya gitu sih. Masa, setiap ibu rumah tangga saling Bantu membantu rumah tangga orang lain? Ya gak logis lah, tetangga cebokin anak tetangga yg lain, sedang istrinya sendiri mengurus keperluan sarapan suami orang lain? Hahaha…”

“Bukan begitu bung! Kamsud saya, antara suami & istri saling membantu, pengertian & toleran, gitu loch..”

“Ah, gaya kamu kaya aktivis liberal aja..”

“Loh! Kan kita aktivis liberal boss! alias lingkungan bebas menalar!! Jadi posisi saya disini adalah bebas menalar apa pun sepanjang nalar (akal) saya masih bisa berjalan.”

“Gak connect tuh, dimana singkatan menalarnya? Katanya liberal, lingkungan bebas menalar… seharusnya pake “li be…ral” bukan “li be…lar””

“Kan liberal itu suka-suka otak gue menalar (bebas mikir pake akal), mau pake li..be..ral kek atau li..be..lar gak masalah yg penting liberal, hidup liberal…!!!”

“Oke deh, sa’ karep mu dewe’, back to the our topic broth..!”

“Mmm.. yg tadi ya? jadi ya’ itu tadi, suami harus toleran & bisa rendah hati membantu istri menyelesaikan pekerjaan rumah tangganya.”

“Kalo berbicara rendah hati sih siapa pun bisa, tapi yg ini adalah pembagian tugas yg seharusnya dikerjakan oleh tangan yg tepat, agar posisinya jelas… urusan rumah tangga siapa, urusan mencari nafkah itu siapa… lantas hasilnya --usaha-- diserahkan kepada yg empunya Sang Maha Pemberi Rezeki. Kalo seluruh posisi lapangan pekerjaan di isi oleh wanita --khususnya pekerjaan lapangan & kantor yg mengharuskan meninggalkan rumah-- yg seharusnya diisi oleh para pria maka akan menciptakan kerusakan tatanan perikehidupan yg sesungguhnya.”

“Tapi sekarangkan belum ada kerusakan apa pun, jangan terlalu khawatir deh…”

“Justru itu, semakin lama kalo semakin dibiarkan, akan menimbulkan kerusakan. Coba sekarang kamu lihat di Negara yg mendorong para wanitanya utk bekerja ke luar rumah dgn meninggalkan kewajibannya mengurus rumah tangga, sebagian mereka harus hidup dihantui kecemasan akan keluarganya, perceraian, anak yg susah di atur dan lain sebagainya.”

“Bung, Anda sepertinya hanya ingin memperbesar masalah, itu tidak berlaku di Indonesia, Indonesia memiliki nilai-nilai ketimuran, nilai-nilai yg dijunjung tinggi oleh setiap orang yg memiliki budaya rasa malu, gak mungkin kehidupan yg seperti Anda katakan itu mampir di Indonesia.”

“Loh, saya kan gak ngomong di Indonesia, saya Cuma mengisahkan Negara yg memiliki konsep paradigma seperti itu tadi, lagian itu kan fakta, fakta yg memang setiap orang sudah maklum. Bahwa, kehidupan serba materialistis dan hedonis memang ujung-ujungnya Cuma merusak manusia sendiri.”

“Waduh, jangan ngomong yg susah dicerna, otak saya masih tumpul nih, Cuma bisa mencerna yg mudah-mudah…”

“Oke..!”

Hal ini juga bisa berakibat --yg paling ekstrem-- lahan pertanian semakin sempit, lahan pekerjaan semakin sedikit & berimbas pd hajat hidup orang banyak pun semakin dipersulit. Kenapa? Inilah logika kaum liberalisme --yg memperalat keadilan-- menurut kehendak hawa nafsunya sendiri. Sebab, bagaimana pun juga kebebasan haruslah memiliki standar yg jelas, kebebasan bukanlah kebablasan seperti orang gila yg bebas semaunya sendiri tanpa berpakaian atau seperti kamu yg bebas berekspresi tanpa aturan.

Kebebasan adalah sebuah kehendak, kemauan, keinginan untuk memilih sesuatu atau tidak memilih. Di dalam Islam, kebebasan di atur oleh standar-standar yg jelas, supaya kebebasan tersebut memiliki konsekuensi yg juga jelas, logis dan bisa dipertanggung jawabkan thdp manusia, alam, makhluk ghaib (jin) dan khususnya kepada Allah Pencipta Semesta Alam, agar manusia memiliki rambu-rambu atau rem yg bisa mengendalikan kebebasannya. Ini berarti kebebasan di dalam Islam telah dibatasi oleh norma-norma tertentu yg bersandar kepada Al Quran dan Al Hadits.

Ada pula kebebasan di luar dari kedua hukum wahyu tersebut, yaitu ijtihad dan ijma sahabat --seseorang atau kolektif-- yg memiliki kapasitas kelayakan dan dianggap boleh --pantas-- menghukumi sesuatu yg tidak di atur di dlm Al Quran & Hadits yg tentunya harus bersandar pula kepada kedua hukum yg telah digariskan tersebut. Berbeda halnya dgn paradigma yg digunakan oleh kaum yg menganggap dirinya liberal minded, kebebasan di salah artikan bahkan digunakan sebagai falsafah/tujuan (way of life) di dalam kehidupan, dampaknya adalah aturan-aturan yg bersumber dari kaidah hukum wahyu yg seharusnya mengatur akhirnya mandul dan kehilangan relevansi.

Paradigma seperti ini jelas keliru & bertolak belakang alias gak nyambung dgn slogannya mewujudkan masyarakat sejahtera berkeadilan dan berpihak pd nilai-nilai kemanusiaan. Dimana satu sisi sifat keadilan menginginkan perbaikan disegala lini harus rontok hanya karena kebebasan yg kebablasan ingin diikutsertakannya. Jelas ini kontra produktif dalam mewujudkan masyarakat sejahtera berkeadilan apalagi di dalam naungan kebebasan --bebas nilai.

Kalangan liberalis pun sering memanipulasi kata pluralitas dan pluralisme. Disadari atau tidak ini bisa menimbulkan fitnah bahkan perpecahan. Perpecahan itu bersumber pada ketidakmengertian utk membedakan mana yg pluralitas dan mana yg pluralisme. Setiap manusia tanpa diperintah oleh orang lain, pasti memiliki sikap menghargai perbedaan, itu fitrah & tidak bisa dihilangkan walaupun tidak tampak di perilaku lahiriahnya. Sikap menghargai perbedaan (pluralitas) muncul tatkala manusia berinteraksi dgn manusia yg lain & mengambil pelajaran dari manusia lain tersebut. 

Saling mengenal, saling belajar, berekreasi, surfing di bibir laut, membaca di perpustakaan, berpetualang menaklukkan gunung, hiking, dll itu semua adalah proses interaksi manusia thdp manusia & alam. Artinya, pluralitas menghendaki keniscayaan perbedaan itu terjadi, baik perbedaan thdp manusia, thdp makhluk lain (hewan, jin dll) juga perbedaan thdp alam. Kesimpulannya adalah tidak ada satu pun di dunia ini diciptakan sama oleh Allah Yang Maha Pencipta, segalanya serba berbeda, tidak ada yg sama antara wajah kamu dgn wajah saya, walaupun kembar siam pun ada perbedaan kepribadian. Bisa saja kembar siam --identik-- yg satu memiliki keyakinan akan Islam dan saudara kembarnya memiliki keyakinan di luar Islam.

Maka dari itu saya katakan, perbedaan itu lumrah & tidak dapat dihilangkan sepanjang bumi berputar. Adapun tentang pluralisme, kosakata ini terdiri atas dua kata, pluralis dan isme, di dalam sebuah masyarakat pluralitas lumrah terjadi, lain halnya dgn pluralisme. Pluralisme seperti racun dalam masyarakat, seperti bom waktu yg kapan pun bisa meledak mengotak-kotakkan masyarakat yg tadinya menghargai perbedaan (pluralitas) berpecah sehingga timbul perselisihan hanya karena disuntikannya paham pluralisme. 

Logika kaum liberalis menggambarkan pluralisme sebagai dewa penyelamat keberagaman perbedaan di tengah-tengah masyarakat, khususnya ttg masalah perbedaan agama. Pluralisme meniscayakan adanya semua agama dipandang benar, semua agama tidak ada jalan yg salah, bahwa agama apa pun selama mengajarkan hidiup lurus dan menjurus satu tujuan --menuhankan Tuhan-- maka itu sah dan tidak boleh dipertentangkan.

Simak perdebatan kedua makhluk edisi kedua di bawah ini:

“Hei, bagaimana ini? Jika semua agama dipandang benar, maka tidak ada yg salah di antara semua agama di dunia ini?”

“Benar! Dan itulah hebatnya pluralisme, masyarakat bebas memilih atau tidak sepanjang mereka punya nurani dan akal sehat…”

“Bukan itu maksud saya, jika semua agama di pandang benar, seharusnya suatu agama di pandang benar harus ada yg salah! Lalu, mana yg salah jika semua agama benar? Islam benar, Kristen benar, Budha benar, Hindu benar, Yahudi benar, Shinto yg sejatinya agama manusia di anggap benar dan semua kepercayaan-kepercayaan & aliran-aliran yg berkembang di antara masyarakat itu benar, lalu mana yg salah?”

“Yang salah Anda! Mengapa harus menyalahkan salah satu agama!”

“Aduuuhh… maksud saya bukan itu! Parameter sesuatu itu dikatakan benar harus ada salah satu yg salah. Jika gelas yg saya pegang ini panas harus ada gelas yg dingin, jika kamu mengerjakan alogaritma matematika rumusnya salah maka harus ada rumus yg benar, jika ada jalan yg salah maka harus melalui jalan yg benar, jadi antara salah dan benar keduanya harus beriringan sejalan dan tidak bisa dipisahkan, begitu pula dgn masalah agama, jika agama yg satu mengajarkan yg salah maka harus ada agama yg membenarkannya, jika kepercayaan atau paham yg di ajarkan oleh seseorang itu salah maka harus ada paham atau kepercayaan yg bersumber dari sumber yg benar!”

“Ah, terlalu pusing aku memikirkannya, yg pasti tidak ada agama yg salah! Coba bayangkan, jika ada agama yg salah, mengapa penganutnya masih saja mengikuti bahkan seolah bersikap fanatik terhadap agamanya sendiri? Jika kamu mengatakan ada agama yg benar, seharusnya agama yg benar tersebut memberikan kebenaran atas kesalahan dari agama yg salah itu.”

“Benar, tapi tidak semudah itu, sebagian kita atau masyarakat kita, sudah tercemari oleh pendapat-pendapat yg justru merugikan penganutnya sendiri…”

“Contohnya..” .... bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar