Jumat, 12 Februari 2010
mengawetkan pikiran
you needed me
***
peduli setan!!!
Saya tak butuh demokrasi
Saya tak butuh monarki
Saya tak butuh otokrasi atau yang lainnya
Yang saya butuhkan,
bisa makan kenyang tak kelaparan. Bisa senggama tanpa masalah. Bisa sembahyang tanpa todongan dan senapan dikokang. Bisa bicara tanpa takut dibungkam. Bisa bangga berdiri di atas kaki sendiri.
Peduli setan dengan demokrasi, monarki, otokrasi, aristokrasi atau apapun bentuknya, kalo saya kelaparan, saya dimandulkan, saya diteror, saya diintimidasi, saya dikangkangi.
Percayalah, saya bukan tipe manusia sewenang-wenang yang mudah merampas hak orang lain demi hak saya…
Saya hanya ingin hidup wajar dalam damai…
tulisan di atas saya comot dari http://aghofur.com/peduli-setan.htmlSelasa, 09 Februari 2010
jika bisa lambat, mengapa harus cepat?

okelah, don't be panic.. sejurus kemudian sampailah di giliran saya menepikan kendaraan.
"selamat pagi pak?"
"pagi pak.."
"tolong lengkapi kaca spionnya ya.. bisa surat2 nya.."
ah, SIM mati udah 6 bulan, dalam hati saya membatin.
"loh, SIM nya udah mati nih?"
"iya pak, saya ga ingat.."
"kalau gitu sekarang bapak ikut sidang"
skenario polisi lantas seperti biasa,
"waduh, tapi saya udah terlambat ke banjarmasin, saya harus bolak balik banjarbaru
banjarmasin.."
"rumahnya dimana di banjar?"
"di kayu tangi pak, banjarbarunya di trikora.."
"ya udah kalo gitu kendaraannya di tinggal dulu.."
"saya harus kerja pak, ini udah telat.."
"ya, tapi SIM nya udah mati ini, bapak harus kami tilang, seandainya bisa diperpanjang kan ga gini urusannya.."
"wah, kalo untuk beberapa menit ngurus SIM sih bisa pak, tapi bapak tahu sendiri, institusi bapak kan selama ini memang gitu, berjam-jam... saya ga ada waktu untuk berjam-jam..."
"ya, udah kalo gitu ini kebijakan saya aja, tolong ntar SIM nya di perpanjang, saya ga tanggung jawab kalo ketangkep lagi di banjarmasin.."
"trus ga jadi di tilang?"
"ya, ini kebijakan saya sendiri sama kawan2 disini.."
"wah, makasih pak ya... bapak tugas dimana?"
"saya di liang anggang sinih.." sambil menunjukkan tag name di dadanya, WAJAR.
"sekali lagi makasih ya pak..."
"ni ada apa?" kawan polisi satunya nyeletuk dari belakang.
"ga masalah pak, lengkap pak.." polisi pertama menimpali.
akhirnya saya bisa lolos dengan aman dan yg pasti tanpa pungli (pungutan liar). dalam pikiran terlintas, ternyata anggota polisi memang mengakui bila kesatuannya dlm urus mengurus SIM memang terbilang lamban.
Kamis, 04 Februari 2010
manusia

siang itu semburat cahaya matahari bagai pedang menusuk mataku. seperti biasa, pulang dari kantor langsung ngebut di seputaran jalan pangeran samudera. penjaga polisi sedang celingak celinguk memerhatikan lalu lalang motor dan kendaraan yg ngibrit menerobos lampu merah. ah, hari2 yg sama seperti biasa, kepergianku dari kantor menyisakan tumpukan tugas yg harus selesai besok.
ruang2 advertising yg dipajang baligho menambah "ramai" jalan sepanjang lambung mangkurat. ada iklan handphone, kampanye motor, kampanye kampus sampai kampanye pilkada. sementara itu, ada saja para gepeng yg mondar mandir memepetkan tubuhnya di cashing mobil. belel-belel bajunya memang seperti orang yg tidak pernah mandi.
kilau-kilau air yg turun dari langit menambah hari itu bagai gerimis tak di undang. tiap2 kendaraan melaju dengan kencang karena memang tidak menyangka hari itu bakal akan hujan. mendung pun tak tampak terlihat dari awannya. saya pun bergegas menepikan kendaraan di trotoar yg bersebelahan dengan ATM utk memakai jaket hujan utk bergegas pulang.
sama saja, orang2 sepertinya mencari perlindungan menghindari "peluru" yg dijatuhkan dari langit. para gepeng yg sejak tadi berhamburan ketika lampu merah menyala pun menarik diri dari peruntungannya.
perubahan waktu memang membuat manusia salah tingkah, mendung saja yg tak pernah berarti hujan nyatanya memang tak pernah hujan. seseorang menangis pun tak berarti dirinya sedang bersedih, bahkan tertawa pun bisa menandakan dirinya sedang terluka bahkan bersedih --saking depresinya.
itulah manusia, jauh di lubuk hatinya kadang tak pernah terpancar benar oleh sikap dan kelakukannya. kadang menangis dan sedetik kemudian dapat tertawa lagi. tapi, sedalam apa pun isi hatinya itu tetap saja diketahui oleh sang pencipta "hati". yakinlah!!
ngalur ngidul

"tunggu deh, 2 atau 3 hari lagi, mungkin langsung ditelepon dari kantor.." jelasnya
"oke..." sambungku dalam sms handphone..
hari yg gelap itu, mataku bagai cerah, bagaimana tidak, setelah menunggu dgn harap2 cemas, ternyata lamaran itu di respon, ya.. saya bukanlah orang yg suka melihat penderitaan orang lain, seandainya kelakukan saya seperti itu, maka nganggur adalah kata yg tepat buat keseharian saya. sedangkan saya harus melunasi hutang yg jumlah lumayan bisa beli motor vega.. hahaha...
kawan, jangan meremehkan saya, bagaimana pun juga saya masih harus belajar mengatur waktu, memanajemen keuangan, mengatur pola makan (soalnya makan saya gak teratur, kadang makan kadang enggak.. hahaha), tapi setidaknya saya masih hidup dan berupaya terus bergerak (walau kepala pening dan kaki keram2).
setidaknya dari pekerjaan baru yg saya dapat, saya bisa melanjutkan hidup ini, melanjutkan kisah kehidupan yg entah sampai mana berakhir, dan setidaknya dgn pekerjaan ini pun saya telah membuktikan (sebagai seorang kepala keluarga) kelanjutan hidup orang2 yg saya tanggung tidak lekas pupus harapannya terhadap saya, dan itu pun saya ulang2 dalam ingatan, di dalam doa dan di dalam seluruh kesempatan yg saya bisa utk selalu mengharap kepada si empunya jagad raya.. bahwa nyawa di dalam raga ini harus selalu disambung dan selalu diberikan stimulus semangat agar ketika jatuh dari keterpurukan maka ia akan selalu bangkit dan bangkit terus, jika saya harus jatuh 10 kali, maka saya harus bangkit 11 kali...
Rabu, 03 Februari 2010
krisis kepedulian dan krisis ideologitas
"Hal yang terburuk adalah, jika semuanya berlanjut seperti yang sudah-sudah, situasi akan menjadi lebih buruk." Demikian pernyataan Ketua Delegasi Kuba Jose Ramon Machado Ventura pada pertemuan pangan dunia yang diselenggarakan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) di Roma, 4 Juni 2008 lalu. Komentar Ventura tersebut memang sangatlah beralasan, bagaimana tidak, menanggapi kondisi krisis pangan dunia yang saat ini sangatlah menyedihkan, dihadapkan pula dengan kondisi 1,2 milyar penduduk dunia yang hidup di bawah garis kemiskinan memang sangat ironis.
Sebelumnya (4/4) Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pernah menyurati Presiden Bank Dunia Robert B. Zoellick dan organisasi pangan dunia Food and Agriculture Organization (FAO) PBB untuk mengambil langkah-langkah serius terkait krisis keuangan (ekonomi) global yang dipicu oleh naiknya harga minyak dunia dan harga pangan yang berdampak pada ekonomi nasional. “Dunia harus meningkatkan produksi pangan, meningkatkan suplai karena konsumsi pangan dengan penduduk 6,3 miliar akan cenderung meningkat”, kata Presiden Yudhoyono saat menyampaikan sambutan dalam Musyawarah Besar II Kosgoro 1957 di Jakarta Convention Center, Kamis (3/4) malam.
Krisis pangan, ekonomi dan lain sebagainya kini tengah di depan mata, Amerika Serikat melalui Bank Dunia dan IMF (International Monetary Fund) yang kapitalis tulen itu melalui resepnya hingga kini masih “membajak” di dunia ketiga --negara berkembang dan miskin dunia. Alih-alih memberikan perbaikan ekonomi, justru Bank Dunia dan IMF menganggap kondisi seperti inilah proyek subur yang dapat meningkatkan pendapatan. Dalam kata-kata Henry Kissinger --mantan Menlu AS, "Dengan mengontrol minyak, Anda akan mengontrol negara. Dengan mengontrol pangan, Anda akan mengontrol rakyat." Telah menjadi bukti bagaimana keinginan AS mengontrol dunia, khususnya dunia ketiga.
Namun bukan dunia ketiga saja yang mengalami kondisi krisis, Amerika yang katanya negara kampiun kapitalis, negara super power pun tidak luput dari krisis ekonomi. Berulang kali berawal Black Thursday (1929) ditandai jatuhnya harga saham sebesar 13 persen, skandal tabungan dan pinjaman di AS (1985), Black Monday (1987) lagi-lagi harga saham anjlok lebih tajam sebesar 22 persen, suku bunga merosot (Agustus-September 1992), Investasi jangka panjang bangkrut Juli-Oktober 1998, krisis Dotcom 2000-2003, serangan menara kembar New York 11 September 2001 menyebabkan kerugian luar biasa di pasar saham London, Indeks FTSE anjlok 5,7 persen, Credit Boom 2003-2007, dan yang terakhir subprime bangkrut Januari 2008; industri properti di AS yang menuju jurang kerugian, menimbulkan kekhawatiran dampak itu dapat memicu inflasi di AS. Jor-jornya perbankan memberikan kredit kepada nasabah yang belum ketahuan jejak rekam serta berpendapatan rendah atau dikenal subprime mortgage, menjadi hantu bagi pasar modal AS. Hal ini menegaskan bahwa perekonomian Amerika Serikat yang berbasis kapitalis sangat rapuh dan labil. Anehnya, negara tersebut menjadi kiblat kebangkitan perekonomian dunia.
Seapik apapun pengelolaan yang dilakukan pemerintah dalam mengelola negara, tetap saja era globalisasi yang terkenal ganas dan tidak mengenal kondisi perekonomian suatu negara --lemah atau kuat-- tetap akan mendapat imbas dari roda globalisasi tersebut. Asia, yang dikenal sebagai kawasan pertumbuhan global dengan manajemen ekonomi relatif lebih baik, tak luput dari masalah itu. Di tengah globalisasi tersebut, membuat kaum korporasi kian menggila karena mendapatkan angin segar dalam berusaha. Karena, tidak saja keaktivitasan mereka di anggap legal --UU PMA, UU SDA dll-- oleh pemerintah, justru seakan-akan pemerintah lebih mendahulukan kepentingan kaum korporasi ketimbang rakyat yang notabene pemilih sekaligus pemberi mandat kepada mereka. Jelas, kepedulian terhadap kondisi sekarang ini sangatlah jarang ditemukan. Pemerintah yang dalam hal ini merupakan pengayom dan penentu kebijakan rakyat, tidak saja memiliki tanggung jawab kepada rakyat yang memilihnya bahkan --pemerintah/penguasa-- saat ini telah menjelma menjadi fasilitator, regulator dan seluruh tetek bengeknya terhadap seluruh kebijakannya yang pro korporasi, ironis memang.
Slogan yang mengajak agar menyelamatkan bangsa --save our nation-- hanyalah sekedar lipstik pemerah bibir belaka. Mereka yang nasionalis --pemegang kebijakan-- justru menjerumuskan bangsa ke lubang paling dalam. Krisis demi krisis yang telah/tengah terjadi seakan tidak membuka mata dan menahan hasrat keuntungan sesaat tersebut, yang terjadi justru anak bangsa yang menanggung + 1.300 trilyun rupiah hutang Bank Dunia dan IMF, sedang mereka --pembuat kebijakan-- seperti berlepas tangan terhadap kemelut bangsa ini dengan mengambil kebijakan-kebijakan yang sangat pro Bank Dunia dan IMF. Jelas, krisis kepedulian --terhadap bangsa sendiri-- ini merupakan dampak dari krisis ideologitas yang mereka miliki, inilah buah kapitalis dimana keuntungan berlipat-lipat diletakkan di atas segala-galanya. Arah kebijakan yang tidak memihak dan masih jauh dari sikap/rasa nasionalis --katanya-- sangatlah tidak sesuai di sandang.